Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Pembentukan Badan Industri Mineral (BIM) digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk menjawab paradoks sumber daya alam Indonesia: kaya cadangan mineral, tapi miskin nilai tambah.
Selama ini, ekspor mineral Indonesia lebih banyak dalam bentuk mentah atau setengah jadi. Kebijakan UU Minerba memang sudah mewajibkan pengolahan sebelum ekspor, tetapi hasilnya baru sebatas produk intermediate. Padahal, keuntungan terbesar justru dinikmati negara lain yang menguasai rantai hilir seperti manufaktur, inovasi, dan teknologi.
China bisa jadi contoh. Dengan cadangan mineral strategis, Negeri Tirai Bambu menjadikannya senjata ekonomi dan geopolitik lewat dominasi global, investasi riset jumbo (2,4% PDB), hingga ekspansi investasi tambang ke Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara.
Indonesia sebenarnya punya modal besar: cadangan nikel, bauksit, tembaga, timah, thorium, hingga logam tanah jarang. Apalagi momentum transisi energi membuat kebutuhan mineral makin tinggi. Tapi ada tantangan serius: tumpang tindih regulasi, hilirisasi yang setengah jalan, ancaman rente oligarki, lemahnya riset domestik, dan minimnya aspek keberlanjutan.
Hindari Jadi ‘Smelter Authority’
BIM dituntut tidak berhenti sekadar mengatur smelter. Ada lima langkah penting yang perlu dipegang agar tidak jatuh jadi “badan rente”:
- Integrasi Hulu-Hilir: dorong sampai produk akhir bernilai tinggi seperti baterai EV, super alloy, dan semikonduktor.
- Ekosistem Riset & Teknologi: bentuk lembaga riset nasional berbasis triple helix, naikkan anggaran R&D ke 1% PDB dalam lima tahun.
- Strategi Global & Diplomasi Mineral: bentuk Sovereign Mineral Fund, bangun aliansi mineral di ASEAN hingga BRICS+, dan pastikan nilai tambah tetap di Indonesia.
- Keberlanjutan & Keadilan Sosial: terapkan standar ESG wajib, dana rehabilitasi tambang, dan community development.
- Good Governance: semua izin transparan, ada dewan pengawas independen, dan publikasi laporan tahunan nilai tambah mineral.
Kedaulatan, Bukan Rente
BIM seharusnya jadi instrumen kedaulatan SDA Indonesia, bukan sekadar otoritas perizinan. Fokusnya harus pada integrasi hulu-hilir, riset, diplomasi mineral, tata kelola berkelanjutan, dan keadilan sosial.
Tanpa itu, BIM berisiko terjebak dalam praktik rente yang hanya mempercepat habisnya sumber daya alam tanpa meninggalkan warisan industri dan kesejahteraan jangka panjang.
Baca juga: Ilusi Akhir Neo-Lib Fiskal
* Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)