Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Awal September 2025 menjadi saksi bagaimana ribuan mahasiswa kembali menguasai jalanan di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya. Spanduk besar bertuliskan “Tuntutan 17+8” berkibar di tengah kerumunan. Bagi sebagian orang, daftar ini tampak sebagai sekumpulan tuntutan teknis yang biasa muncul dalam aksi mahasiswa. Namun, jika kita membaca dengan kacamata sosiologi politik, 17+8 tidak sekadar daftar keinginan. Ia adalah artikulasi dari ketidakpuasan mendalam terhadap arah perjalanan bangsa.
Aksi ini mengingatkan kita bahwa protes politik jarang lahir dalam ruang hampa. Ia selalu terkait dengan dinamika sosial yang lebih luas. Pertanyaannya: mengapa tuntutan ini muncul sekarang? Apa yang sesungguhnya sedang dipertaruhkan? Dan apakah fenomena ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia belum menemukan bentuk substansialnya?
Ketimpangan Ekonomi sebagai Akar Masalah
Sejak lama, para ahli sosiologi menekankan bahwa ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama ketegangan sosial. Karl Marx, misalnya, menegaskan bahwa konflik antara kelas pemilik modal dan kelas pekerja akan terus mewarnai perjalanan sejarah manusia. Pandangan ini menemukan relevansinya dalam konteks Indonesia hari ini, di mana jurang sosial-ekonomi masih nyata dan terukur melalui data resmi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio Gini Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar 0,381, lalu menurun tipis menjadi 0,375 pada Maret 2025. Angka ini menandakan tingkat ketimpangan sedang cenderung tinggi. Namun, jika diperinci, perbedaannya cukup tajam antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, perkotaan mencatat rasio Gini 0,402, sementara perdesaan 0,308. Enam bulan kemudian, pada Maret 2025, rasio Gini perkotaan turun menjadi 0,395, sedangkan perdesaan menjadi 0,299. Data ini memperlihatkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di perkotaan tetap lebih lebar dibandingkan dengan di wilayah perdesaan.
Realitas statistik ini sejalan dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Buruh pabrik masih berjuang karena upah yang tidak sebanding dengan laju inflasi. Petani terus terdesak oleh alih fungsi lahan untuk proyek-proyek besar, sementara pekerja informal menghadapi kerentanan karena ketiadaan perlindungan sosial yang memadai. Ketimpangan struktural ini membentuk ketidakpuasan yang meluas, dan ketika saluran formal aspirasi politik tersumbat, mahasiswa seringkali tampil sebagai corong suara-suara yang tak terdengar di pusat kekuasaan.
Dengan demikian, Tuntutan 17+8 dapat dipahami bukan sekadar daftar permintaan teknis, tetapi refleksi dari frustrasi mendalam terhadap ketimpangan ekonomi yang berakar kuat dalam struktur politik dan ekonomi Indonesia. Tuntutan 17+8 adalah refleksi dari suara-suara yang tak terdengar di gedung parlemen maupun ruang kebijakan. Ia adalah ekspresi dari kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan dalam proses pengambilan kebijakan, sekaligus tantangan bagi negara untuk menanggapi krisis keadilan sosial yang semakin mendesak.
Krisis Kepercayaan terhadap Elit Politik
Selain isu ekonomi, Tuntutan 17+8 juga menyoroti reformasi DPR dan pemberantasan korupsi. Robert Putnam dalam teorinya tentang social capital menekankan pentingnya kepercayaan sosial dalam menopang demokrasi. Jika kepercayaan runtuh, legitimasi politik ikut rapuh.
Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) menunjukkan fakta mencemaskan: tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, partai politik 62%, jauh lebih rendah dibanding Presiden (82%) dan TNI (97%). Angka ini mencerminkan jurang kepercayaan antara elit politik dengan lembaga negara lain.
Berulangnya skandal korupsi memperparah kondisi ini. Kasus e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah masih membekas dalam ingatan publik. Belum lagi praktik suap yang menyeret pejabat kementerian hingga kepala daerah. Bagi masyarakat, pesan yang tersampaikan jelas: DPR dan partai politik lebih sering melayani kepentingan elit ketimbang rakyat.
Tidak heran jika salah satu tuntutan mahasiswa adalah audit independen kekayaan pejabat. Tuntutan ini bukan sekadar teknis administratif, melainkan refleksi dari kecurigaan mendalam bahwa praktik korupsi telah menjadi sistematis.
Demokrasi Prosedural yang Belum Substansial
Indonesia sering dipuji karena berhasil menjaga demokrasi prosedural. Pemilu digelar rutin, kekuasaan berpindah secara damai, dan media relatif bebas. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Larry Diamond, demokrasi tidak berhenti pada prosedur. Demokrasi substansial menuntut keadilan, akuntabilitas, dan pemerataan kesejahteraan.
Dalam kerangka ini, Tuntutan 17+8 menegaskan bahwa demokrasi Indonesia masih “berutang” pada rakyatnya. Mekanisme elektoral memang berjalan, tetapi hasilnya belum menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi mayoritas. Ketimpangan tetap tinggi, korupsi merajalela, dan akses terhadap keadilan masih terbatas.
Institusi demokrasi—DPR, partai politik, bahkan lembaga peradilan—sering dipersepsikan lemah, mudah dipengaruhi kepentingan sempit, dan gagal menjalankan peran sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu, mahasiswa menuntut reformasi kelembagaan. Ini adalah seruan untuk memperbaiki fondasi negara, bukan sekadar memperbaiki gejala di permukaan.
Partisipasi Politik yang Tersumbat
Satu pertanyaan penting muncul: mengapa mahasiswa memilih jalan demonstrasi, bukan mekanisme formal seperti audiensi atau lobi politik? Dalam teori politik, fenomena ini disebut political blockage. Ketika saluran formal partisipasi politik—seperti DPR, musyawarah publik, atau forum resmi—tidak responsif, masyarakat mencari jalur alternatif. Demonstrasi adalah bentuk partisipasi non-konvensional yang lahir dari kekecewaan terhadap kegagalan institusi formal.
Hal ini terlihat jelas dalam dinamika 2025. Mahasiswa sebenarnya sempat berdialog dengan pemerintah di Istana. Namun, ketika tuntutan tidak segera ditindaklanjuti, jalanan kembali dipilih sebagai arena politik. Dengan demikian, demonstrasi bukan sekadar “aksi jalanan,” melainkan simbol bahwa demokrasi kita sedang mengalami kebuntuan.
Sejarah Indonesia menunjukkan pola serupa. Pada 1966, mahasiswa turun ke jalan menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Pada 1998, mahasiswa kembali memainkan peran kunci dalam menjatuhkan rezim Orde Baru. Kini, pada 2025, Tuntutan 17+8 mengingatkan kita bahwa suara jalanan masih menjadi kekuatan moral yang signifikan.
Dari perspektif sosiologi politik, hal ini menegaskan bahwa ketika elit politik gagal menjadi saluran aspirasi rakyat, mahasiswa seringkali tampil sebagai agen perubahan. Mereka menjadi jembatan antara rakyat kecil dengan pusat kekuasaan.
Peringatan Keras untuk Elit Politik
Pada akhirnya, Tuntutan 17+8 adalah peringatan keras bagi elit politik Indonesia. Jika aspirasi rakyat terus diabaikan, ketidakstabilan sosial dan politik berisiko semakin besar. Sejarah dunia menunjukkan bahwa tekanan sosial yang lama diabaikan bisa berujung pada krisis politik yang mengguncang legitimasi negara.
Momen ini seharusnya dimaknai sebagai kesempatan untuk berbenah. Elit politik harus menyadari bahwa demokrasi tidak hanya diukur dari kotak suara, tetapi dari sejauh mana rakyat merasakan manfaatnya. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial harus menjadi pilar utama.
Tuntutan 17+8 bukan sekadar daftar permintaan mahasiswa. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi, krisis kepercayaan politik, dan kegagalan demokrasi substansial. Dari perspektif sosiologi politik, fenomena ini adalah tanda bahwa proyek demokratisasi Indonesia masih jauh dari selesai.
Pertanyaan yang tersisa kini sederhana, tetapi krusial: apakah elit politik akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh? Ataukah mereka akan menunggu hingga suara rakyat berubah menjadi teriakan yang lebih keras, seperti yang berulang kali terjadi dalam sejarah kita?
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute
Baca juga: Jejak Pajak dari Zaman Kolonial: Dari Paksaan ke Kesadaran