Hukum

DE JURE Desak Kejaksaan Tak Lindungi Jaksa Bermasalah dalam Kasus Fahrenheit

Channel9.id – Jakarta. Democratic Judicial Reform (DE JURE) menyoroti langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dinilai tidak tegas dalam penanganan kasus investasi robot trading Fahrenheit yang melibatkan sejumlah jaksa. Kasus ini menyeret nama Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat, Hendri Antoro, yang dicopot dari jabatannya setelah menerima uang Rp500 juta dari bawahannya, jaksa Azam Akhmad Ahsya.

Kejagung melalui juru bicaranya menyatakan bahwa Hendri tidak memiliki niat jahat saat menerima uang tersebut. Kejaksaan beralasan bahwa Hendri hanya lalai dan belum terbukti memiliki mens rea dalam perkara ini.

Direktur Eksekutif DE JURE Bhatara Ibnu Reza menilai langkah Kejaksaan menunjukkan ketidakinginan untuk menuntaskan kasus ini hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Ia menilai Kejaksaan justru berusaha memutus rantai keterlibatan dengan menghentikannya pada kasus jaksa Azam saja.

“Terkesan kuat jika kejaksaan memberikan perlindungan dan pembelaan yang tidak proporsional kepada orang yang diduga ikut terlibat menerima uang yang seharusnya dikembalikan kepada para korban tindak pidana tersebut,” kata Bhatara melalui keterangan tertulis, dikutip Rabu (15/10/2025).

Bhatara menegaskan bahwa tindakan menerima pemberian uang ratusan juta rupiah terkait tugas jabatan merupakan pelanggaran serius. Ia mengutip Pasal 4 huruf (i) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang melarang segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan resmi.

“Baik orang yang menerima sudah sepantasnya dan sepatutnya menduga bahwa pemberian uang ratusan juta rupiah tersebut adalah bentuk pelanggaran serius yang berimplikasi telah terjadinya tindak pidana,” ujarnya.

Ia juga menilai, sikap Kejagung yang terkesan melindungi jaksa penerima uang bertentangan dengan komitmen Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membersihkan korps Adhyaksa dari penyalahgunaan wewenang. Menurutnya, pembelaan berlebihan terhadap anggota yang bermasalah dapat menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

“Pembelaan dan perlindungan dengan semangat korsa oleh kejaksaan kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran akan berkonsekuensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum,” kata Bhatara.

Selain itu, DE JURE juga mengingatkan Komisi Kejaksaan RI agar menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011. Menurut Bhatara, Komisi Kejaksaan seharusnya aktif sejak awal kasus ini mencuat karena melibatkan aparatur dan pimpinan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.

“Tanpa harus menunggu adanya pengaduan korban, sudah sepantasnya Komisi Kejaksaan sebagai pengawas eksternal kejaksaan proaktif dengan terus memperingatkan kejaksaan bahwa dalam perkara ini korban harus berkali-kali menderita karena kejaksaan tidak lagi menjalankan fungsi filosofisnya yaitu mewakili korban dalam perkara tindak pidana,” tegasnya.

DE JURE mendesak Kejaksaan RI untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil tanpa membeda-bedakan pelaku. Bhatara juga meminta agar hukuman yang dijatuhkan tidak sebatas sanksi administrasi seperti pencopotan jabatan.

“Karenanya, kami mendesak Kejaksaan RI untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil, tanpa membeda-bedakan para pelaku serta memberikan hukuman yang setimpal dan bukan hanya menghukum pelanggaran administrasi berupa pencopotan jabatan dan/atau penghentian fungsi jaksa pada Kejaksaan RI,” tutup Bhatara.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  1  =