Opini

Soeharto di Antara Kontribusi dan Kontroversi

Oleh: Roland Gunawan

Channel9.id – Jakarta. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari nama Soeharto. Sejak zaman penjajahan, perlawanan terhadap penjajahan, kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan, sosoknya tak tergantikan. Sampai akhirnya ia dipercaya menjadi presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Presiden Soekarno, bapak revolusi dan sang proklamator.

Soeharto adalah tokoh yang tidak sedikit kontribusinya bagi bangsa Indonesia. Pada saat yang sama, Soeharto juga tokoh yang tak lepas dari kontroversi. Belakangan nama Soeharto kembali menjadi perbincangan terkait dengan usulan namanya menjadi salah satu Pahlawan Nasional. Pro dan kontra pun terjadi. Sebagian kalangan setuju, dan sebagian lain tidak setuju bahkan menolak. Di sini, sangat penting memberi publik pengetahuan yang seimbang antara kontribusi dan kontroversi dari sosok Soeharto.

Kontribusi

Kontribusi Soeharto dalam menghadapi dan menyelesaikan kemelut bangsa. Pertama, serangan 1 Oktober 1949 di Yogyakarta. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan Jepang menyerah lalu pergi meninggalkan Indonesia. Pada 1949, Belanda dengan membonceng sekutu datang ingin kembali menjajah Indonesia. belanda menduduki Surabaya, Yogyakarta, dan yang lain. Di Yogyakarta, Belanda mendapatkan perlawanan keras dari tentara Indonesia.

Jenderal Sudirman menunjuk Soeharto sebagai komandan perang untuk melakukan serangan terhadap pasukan Belanda yang telah menduduki Yogyakarta. Dengan strateginya yang jitu, Soeharto berhasil mengecoh pasukan Belanda.

Dalam pemahaman Belanda, tentara Indonesia atau gerilya biasanya menyerang di malam hari. Sehingga pasukan Belanda selalu siaga penuh pada malam hari. Sedangkan pada pagi hari mereka beristirahat dan agak lengang. Ternyata Soeharto memutuskan penyerangan di pagi hari. Sebuah serangan tak terduga. Serangan tentara Indonesia yang dikomandoi Soeharto berhasil memukul mundur dan mengalahkan pasukan Belanda hanya dalam waktu 6 jam.

Tak bisa dibantah bahwa Soeharto adalah sosok yang mempunyai peran penting dan menentukan dalam mengusir penjajah. Pasca perang 6 jam itu, Belanda menyerah.

Kedua, operasi Mandala merebut Irian Barat—yang kemudian diganti dengan nama Papua. Pada tahun 60-an, Irian Barat masih dijajah Belanda. Soekarno merasa kemerdekaan Indonesia masih kurang sempurna selama Irian Barat belum bisa dimerdekakan. Dari situ, Soekarno mengerahkan segala daya upaya agar Irian Barat bisa lepas dari tangan Belanda dan masuk ke dalam pangkuan Indonesia. Selain menggunakan pendekatan diplomasi internasional, meminta dukungan dari negara-negara kuat khususnya AS, juga pendekatan dengan menggunakan peperangan. Dalam pendekatan perang ini, Soekarno memberi kepercayaan kepada Soeharto untuk memimpin penyerbuan ke pasukan Belanda yang masih menduduki tanah Irian Barat.

Menurut Anhar Gonggong, sejarawan Indonesia, menyatakan bahwa Bung Karno berhasil meloby Presiden AS John F Kenedi untuk mendukung Indonesia mengambil Irian Barat sebagai kesatuan dari NKRI. AS meminta Belanda agar meninggalkan Irian Barat. Pada saat yang sama, pasukan tentara Indonesia yang dikomandani Soeharto terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda di Irian Barat. Berdasarkan pendekatan komprehensif diplomasi dan perang, akhirnya Belanda menyerah dan meninggalkan Irian Barat. Lalu Irian Barat resmi terintegrasi dengan NKRI.

Ketiga, penyelesaian G 30 S PKI. Lepas dari beragam penafsiran atas peristiwa G 30 S PKI, ada tiga tokoh yang pada saat itu cukup menonjol dan terlibat aktif dalam menyelesaikan peristiwa itu, yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, Sarwo Edi, dan Soeharto. Pada saat itu, PKI adalah dalang yang membantai 7 jenderal dalam asumsi dan infromasi yang berkembang. Jasad 7 jenderal itu ditemukan di lubang buaya. Yang terlibat diseret ke persidangan Mahmilub. Gelombang massa berdemo menuntut bubarkan PKI, dan semua yang terlibat di-Mahmilub-kan, bahkan Bung Karno sekali pun.

Dalam catatan sejarah—yang kembali disampaikan oleh Mahfudz MD dalam salah satu ceramahnya—bahwa Soeharto berbicara kepada Bung Karno agar membubarkan PKI. Jika Bung Karno bersedia membubarkan PKI, maka presiden masih tetap dipegang Bung Karno, dan Soeharto akan meyakinkan massa bahwa tuntutannnya telah dipenuhi. Tetapi ternyata Bung Karno tidak mau membubarkan PKI, yang membuat Soeharto memilih pilihan taktis untuk menyelamatkan kondisi bangsa, yaitu menyarankan agar presiden diganti oleh Jenderal AH Nasution untuk sementara. Nasution menolak, karena dalam kondisi kritis presiden harus dari Jawa, sedangkan dirinya adalah orang Batak. Akhirnya Soeharto menjadi presiden sementara. Soeharto bersedia menjadi presiden hanya 1 tahun saja sebelum mengadakan Pemilu. Setelah Pemilu, Soeharto tidak bersedia lagi menjadi presiden dan presiden dikembalikan lagi ke Bung Karno.

Menurut informasi resmi, Bung Karno diamankan dan diistirahatkan di rumahnya untuk menghindari amuk massa, sampai akhirnya wafat dengan tenang.

Kontribusi Soeharto pasca G 30 S PKI adalah stabilitas keamanan dan memulihkan ekonomi. Keberhasilan Soeharto dalam menyelesaikan G 30 S PKI. Sehingga dikatakan bahwa, Soekarno penggali Pancasila dan Soeharto penyelamat Pancasila.

Sedangkan kontribusi Soeharto pada saat menjadi presiden bisa dilihat dari program-program yang direalisasikan. Di antaranya yaitu penguatan ekonomi, stabilitas keamanan, pembangunan infrastruktur, pertanian yang menghasilkan swasembada pangan, transmigrasi, KB (Keluarga Berencana) untuk menekan angka penduduk, SD Impres, wajib belajar 9 tahun, penguatan ideologi Pancasila dengan penataran P 4 dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), dan lain-lain.

Yang paling terlihat dalam memilih menteri-menteri sebagai pembantunya, Soeharto menggunakan meritokrasi, berbasis keahlian, bukan berbasis pilihan politik. Sehingga, hampir semua program berjalan dengan baik. Sebab dipegang oleh ahlinya.

Kontroversi

Selain memiliki kontribusi terhadap bangsa ini cukup banyak, Soeharto pun merupakan sosok yang tak lepas dari kontroversi. Di antara Kontroversi Soeharto ialah soal G 30 S PKI. Sebagian sejarawan menafsirkan bahwa G 30 S PKI adalah bagian dari operasi kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto kepada Soekarno. Sebab berdasarkan keterangan Letkol Latief dalam sidang Mahmilub bahwa dirinya telah melaporkan kepada Soeharto akan adanya operasi penculikan 7 jenderal yang akan mengkudeta Bung Karno. Jadi, peristiwa pembantaian 7 Jenderal sepengetahuan Soeharto.

Dalam menyelesaikam persoalan G 30 S PKI Soeharto melakukan sweeping dan memenjarakan seluruh anggota dan simpatisan PKI dan Gerwani tanpa melalui proses pengadilan. Sebagian lagi dibunuh. Bahkan mereka yang simpatisan Soekarno yang notabenenya bukan PKI pun terkena imbasnya. Ada yang dijebloskan ke penjara dan ada yang dibunuh.

Kontroversi Soeharto setelah menjabat sebagai presiden ialah otoriter. Dia menggunakan tangan besi dengan membantai para preman dalam operasi petrus, “melenyapkan” orang-orang yang kritis, menutup kebebasan berpendapat dan suara – suara kritis seperti membredel majalah Tempo, penculikan aktivis dan buruh. Ada undang-undang Subversif untuk membungkam suara-suara kritis. Mereka yang tidak sejalan atau menentang kebijakan pemerintah dianggap Subversif.

Syahdan, semua itu dilakukan atas nama stabilitas keamanan dan ekonomi. Tetapi, semua kontroversi itu belum dibuktikan dalam pengadilan. Sehingga, masih bersifat penafsiran, analisa, dan asumsi belaka.

Soeharto bukan iblis yang selalu salah dan bukan malaikat yang selalu benar. Soeharto adalah manusia biasa sama seperti kita dan para presiden yang lain, yang kadang benar dan kadang salah. Karena itu, kita tidak boleh menutup mata pada kontribusi-kontribusi yang diberikan Soeharto.

Gus Dur pernah berkata, “Soeharto jasanya besar, tetapi dosanya juga besar.” Artinya, Gus Dur sendiri mengakui bahwa Soeharto memiliki jasa besar, meski sebagai manusia biasa Soeharto pun punya dosa.

Meski Gus Dur mendirikan FORDEM (Forum Demokrasi) dan kritis terhadap berbagai kebijakan Soeharto, tetapi Gus Dur menerima ideologi Pancasila, UUD 45, NKRI, dan berbagai program yang dicanangkan Soeharto yang dianggapnya baik dan maslahat bagi rakyat seperti program KB dan yang lainnya. Gus Dur juga banyak bercerita kalau Gus Dur terkadang bertemu, ngopi dan makan bersama Soeharto. Sehingga pada saat itu, langkah-langkah Gus Dur disebut sebagai oposisi loyal.

Apa yang lakukan Gus Dur dalam menyikapi Soeharto itu mengingatkan pada satu kata bijak, “Cintailah kekasihmu dengan cinta biasa, karena boleh jadi satu saat kekasihmu itu menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu dengan benci yang biasa, karena boleh jadi musuhmu itu akan menjadi kekasihmu”.

Penulis adalah Pegiat Literasi Pesantren

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

50  +    =  58