Rudi Andries
Opini

Danantara dan Agenda Besar Membangun Kedaulatan Protein Nasional

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Industri peternakan ayam bukan sekadar bisnis pangan. Ia adalah infrastruktur biologis berpresisi tinggi yang bekerja di bawah tekanan. Di balik daging ayam yang murah di piring masyarakat, ada sistem yang bisa runtuh hanya karena satu variabel kecil: suhu naik dua derajat, kelembapan terlalu lembab, atau kadar amonia melewati ambang aman. Dalam konteks inilah Danantara masuk, bukan hanya sebagai investor baru, tetapi sebagai bagian dari ekosistem yang ingin mendorong kedaulatan protein nasional.

Peternakan ayam modern pada dasarnya adalah “mesin biologis” yang sangat sensitif. Itu sebabnya peternakan kini mengandalkan sensor suhu, kelembapan, amonia, CO₂, kecepatan angin, hingga predictive body weight model. Semua untuk menjaga satu indikator yang paling menentukan profitabilitas: Feed Conversion Ratio (FCR).

FCR mengukur seberapa efisien pakan diubah menjadi bobot badan. Angkanya terlihat kecil, tetapi dampaknya luar biasa besar. Penurunan FCR hanya 0,01 dapat menghemat Rp 35–50 per ekor. Pada skala 100.000 ekor per siklus, angka ini berarti penghematan ratusan juta rupiah. Tidak ada variabel lain yang sekuat ini.

Saat ini FCR peternak rakyat masih di kisaran 1,65–1,75, sementara farm modern dapat mencapai 1,47–1,53. Perbedaan sekecil itu sudah menciptakan jurang daya saing. Apalagi pakan menyumbang 70–80 persen total biaya produksi. Bila FCR buruk dan mortalitas tinggi, farm bisa rugi jutaan rupiah per hari.

Karena itu, industri ayam pada dasarnya adalah perang efisiensi biologis. Siapa yang menang? Mereka yang menguasai data, disiplin operasional, dan teknologi kendali lingkungan.

Danantara dan Agenda Besar Protein Nasional

Langkah Danantara masuk ke industri unggas tidak dapat dipandang sebagai bisnis biasa. Ia harus diposisikan dalam agenda besar pembangunan sovereign protein system, yaitu sistem protein nasional yang mandiri, stabil, dan mampu memasok kebutuhan gizi rakyat, termasuk mendukung program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

Untuk itu, Danantara perlu membangun integrated protein architecture yang mencakup seluruh rantai nilai:

Jagung → DOC → Pakan → Farm → RPH → Cold Chain → Retail → Ekspor

Jika struktur ini tidak terintegrasi, industri ayam akan terus dihantui siklus klasik: harga anjlok ketika panen raya, pakan mahal saat stok terbatas, dan peternak kecil bangkrut.

1. MBG sebagai Offtaker Permanen

Program MBG berpotensi menjadi jangkar stabilitas pasar ayam. Dengan jutaan porsi protein per hari, MBG menciptakan permintaan yang besar, konsisten, dan predictable. Dampaknya:

  • Tidak ada overstock yang berdampak harga livebird ambruk.
  • Peternak mendapat kepastian pasar.
  • Cashflow dapat direncanakan.
  • Investasi kandang, hatchery, dan pakan menjadi bankable.

Inilah fondasi bagi pertumbuhan ekosistem protein yang lebih sehat.

2. Model Finansial “Protein Swap Financing”

Industri ini sangat sensitif terhadap harga jagung dan soybean meal. Karena itu Danantara harus memiliki model finansial yang mampu mengunci margin bahkan ketika pasar bergejolak. Konsep Protein Swap Financing mencakup:

  • Hedging jagung & SBM langsung dari produsen.
  • Kontrak simultan antara harga pakan dan harga jual livebird.
  • Skema swap yang menjaga margin tetap stabil meski FCR terganggu oleh cuaca atau wabah.

Inilah metode yang digunakan pemain global untuk bertahan dalam industri yang terkenal volatil.

3. Sistem Monitoring dan AI untuk FCR Rendah

Teknologi sensor dan kecerdasan buatan adalah kunci menekan FCR. Peternakan modern membutuhkan:

  • Monitoring suhu & kelembapan otomatis
  • Amonia & CO₂ alert system
  • Prediksi pertumbuhan berbasis AI
  • Tracker mortalitas real-time
  • Rekomendasi pakan otomatis
  • Dashboard terintegrasi untuk pengambilan keputusan cepat

Dengan pendekatan data-driven, FCR dapat ditekan, mortalitas bisa dikendalikan, dan profitabilitas meningkat.

4. Standardisasi Kandang dan Cold Chain

Teknologi tidak ada artinya tanpa SOP, integritas manajer farm, dan infrastruktur fisik yang standar. Kandang harus closed house, ventilasi terkontrol, insulasi kuat, dan density disesuaikan. Mortalitas harus ditekan di bawah 3 persen.

Di hilir, jaringan cold chain harus disiapkan hingga kecamatan dan desa. Tanpa cold chain, industri ayam akan selalu berada dalam cengkeraman tengkulak dan fluktuasi harga ekstrem.

5. Konsorsium Protein Daerah

Pemerintah daerah juga perlu dilibatkan melalui pembentukan Provincial/Regent Protein Consortium untuk:

  • Menertibkan ekspansi peternakan,
  • Mencegah dominasi konglomerat,
  • Memberikan insentif pajak cold chain,
  • Mendukung partisipasi koperasi dan UMKM.

Konsorsium ini dapat menjadi katalis keseimbangan antara pelaku besar, menengah, dan rakyat.

Apa yang dibangun Danantara bukan sekadar perusahaan ayam, tetapi arsitektur kedaulatan protein nasional. Dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan gizi yang meningkat, bangsa yang menguasai protein adalah bangsa yang menguasai masa depannya.

Baca juga: Pengamat Soroti Penugasan Sekolah Garuda ke Kemensos: “Risiko Fragmentasi Tambah Lebar”

*Wakil Ketua Umum DNIKS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  67  =  75