Channel9.id, Jakarta. Upaya pemerintah membangun fondasi industri semikonduktor nasional memasuki fase krusial. Di tengah derasnya minat global terhadap ekosistem kendaraan listrik (EV), konsorsium investor dari Amerika Serikat dan Jerman senilai US$26,73 miliar atau sekitar Rp443 triliun menyatakan siap menanamkan modal di Indonesia.
Namun, percepatan perizinan di Batam menjadi titik penentu dimulainya konstruksi fasilitas semikonduktor pertama berskala besar di Tanah Air.
Investasi jumbo tersebut dihimpun melalui konsorsium PT Quantum Luminous Indonesia, PT Terra Mineral Nusantara, dan Tynergy Group—yang menaungi PT Energy Tech Indonesia dan PT Essence Global Indonesia.
Konsorsium berencana membangun pabrik semikonduktor, hilirisasi pasir silika, hingga manufaktur kaca berteknologi tinggi di Proyek Strategis Nasional (PSN) Wiraraja Green Renewable Energy and Smart-Eco Industrial Park, Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Presiden Direktur PT Quantum Luminous Indonesia Walter William Grieves menyatakan pihaknya siap bergerak cepat, tetapi menegaskan bahwa percepatan izin menjadi faktor paling menentukan.
“Kami menargetkan konstruksi dapat dimulai pada awal 2026 setelah seluruh perizinan di BP Batam tuntas,” ujarnya, Selasa (2/12/2025). Konsorsium bahkan telah dua kali menyampaikan permohonan percepatan proses investasi kepada pemerintah.
Menurut Grieves, percepatan izin perlu dilakukan mengingat proyek ini berstatus PSN dan memiliki implikasi langsung terhadap rantai pasok global semikonduktor. Selain pabrik cip, konsorsium juga akan membangun fasilitas solar cell, wafer, dan hilirisasi pasir silika—komponen penting untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P. Roeslani menegaskan perizinan pusat kini jauh lebih mudah setelah berlakunya PP No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Sistem OSS memungkinkan penerbitan izin otomatis, bahkan secara fiktif positif jika terjadi keterlambatan di kementerian/lembaga.
Namun, Rosan mengingatkan bahwa perizinan untuk proyek ini berada di bawah kewenangan BP Batam karena berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). “Seluruh izin di Batam dikeluarkan oleh BP Batam. Mereka memiliki otoritas penuh,” ujarnya.
Sejak penerapan PP 28, BKPM telah menerbitkan 153 izin usaha dalam dua bulan terakhir. Namun, keberhasilan akselerasi investasi semikonduktor tetap bergantung pada kelancaran proses perizinan lokal.
Pemerintah melihat momentum masuknya investor global sebagai peluang mempercepat pengembangan ekosistem cip domestik. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut bahwa percepatan pengembangan EV membuka jalan bagi lahirnya industri semikonduktor dalam negeri.
“Pengembangan EV menjadi pintu masuk menuju industri cip,” ujarnya.
Indonesia telah menjalin kerja sama talent development dengan West Arizona University dan Purdue University yang akan berkolaborasi dengan Universitas Indonesia untuk membangun pusat riset dan pelatihan chip designer.
Airlangga menambahkan bahwa hilirisasi pasir silika—bahan baku silicon feedstock—akan menjadi pilar utama pembangunan industri cip nasional. Indonesia memiliki potensi pasir kuarsa 27 miliar ton dan cadangan 330 juta ton di 23 provinsi.
Meski peluang besar, sejumlah tantangan mengemuka. Guru Besar FEB UI Telisa Aulia Falianty menilai bahwa hambatan utama bukan hanya investasi, tetapi juga minimnya tenaga ahli semikonduktor. Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Vietnam yang telah memiliki kemampuan produksi dan ATP (assembling, testing, packaging).
Sementara itu, industri ATP di Batam baru mencapai sekitar 9% dari kebutuhan pasar nasional, sehingga perlu akselerasi untuk menjadi basis produksi regional.
Konsorsium investor optimistis proyek di Pulau Galang dapat mendorong kontribusi ekonomi nasional hingga 8% pada 2029 jika konstruksi dimulai sesuai jadwal. Untuk itu, kepastian lahan, utilitas, dan infrastruktur tengah difinalisasi bersama BP Batam.
Pergerakan cepat para investor kini berpulang pada kecepatan birokrasi daerah. Jika seluruh izin rampung pada akhir 2025, Indonesia berpeluang memantapkan posisi dalam rantai pasok semikonduktor global di tengah kompetisi ketat AS–China.




