Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Natal selalu datang membawa kabar tentang harapan. Namun Natal 2025 tiba di Indonesia bukan dalam suasana terang sepenuhnya, melainkan di tengah genangan duka dan cermin besar yang memaksa kita bercermin sebagai bangsa. Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada penghujung November bukan sekadar catatan cuaca ekstrem. Ia adalah penanda kegagalan kolektif kita membaca tanda-tanda zaman.
Selama bertahun-tahun, pembangunan dipacu dengan logika pertumbuhan yang sering kali abai pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Ketika hutan ditebang, sungai dipersempit, dan ruang hidup rakyat diperdagangkan, bencana hanyalah soal waktu. Air yang meluap dari sungai-sungai Sumatra membawa pesan yang tak lagi bisa diabaikan: alam sedang mengajukan gugatan moral terhadap pilihan-pilihan kebijakan kita.
Pesan Natal Dewan Nasional Indonesia untuk Ketahanan Sosial (DNIKS) tahun ini terasa relevan dan tajam. DNIKS mengingatkan bahwa penderitaan rakyat miskin akibat bencana dan krisis sosial-ekologis bukanlah takdir. Ia adalah hasil dari keputusan politik dan praktik ekonomi yang secara sadar menempatkan keuntungan di atas martabat manusia. Kalimat ini penting, sebab ia memindahkan bencana dari ranah “nasib” ke ranah “tanggung jawab”.
Natal mengingatkan kita pada kisah kelahiran di palungan—ruang yang sederhana, rapuh, dan terpinggirkan. Simbol ini seharusnya mengguncang nurani bangsa ketika justru kelompok paling rentan—petani, nelayan, buruh, masyarakat adat—menjadi pihak yang paling sering menanggung risiko pembangunan. Mereka kehilangan lahan, sumber air, dan rasa aman, sementara hasil eksploitasi sumber daya alam jarang kembali ke tangan mereka.
Karena itu, seruan DNIKS kepada pemerintah, pelaku usaha, dan para penikmat kekayaan sumber daya alam patut dibaca sebagai panggilan pertobatan struktural. Bukan pertobatan individual yang bersifat seremonial, melainkan perubahan arah kebijakan. Dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi yang adil. Dari kebijakan elitis menuju kebijakan yang melindungi yang paling lemah. Dari eksploitasi menuju perawatan bumi sebagai rumah bersama.
Pembangunan yang tidak disertai keberanian moral akan selalu rapuh. Ia mungkin menghasilkan angka pertumbuhan, tetapi meninggalkan puing sosial dan ekologis. Di sinilah relevansi Natal sebagai peristiwa politik dalam arti paling luhur: ia menantang pusat-pusat kekuasaan dan akumulasi modal untuk tunduk pada suara nurani.
Harapan tentu tidak boleh padam. DNIKS menyatakan keyakinan bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mampu mengatasi persoalan ini dan mengarahkan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Namun harapan hanya akan menjadi kenyataan bila keberanian moral benar-benar mendahului kepentingan ekonomi, dan penegakan hukum berdiri tegak tanpa kompromi terhadap praktik perusakan lingkungan.
Natal 2025 semestinya tidak berhenti sebagai perayaan iman. Ia harus menjadi momen evaluasi nasional: apakah kita masih ingin membangun dengan menyingkirkan yang lemah dan melukai alam, atau berani memilih jalan yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebab damai Natal tidak hanya berarti ketenangan di rumah ibadah, melainkan keadilan bagi rakyat kecil dan pemulihan bagi bumi Indonesia.
*Wakil Ketua Umum DNIKS
Baca juga: DNIKS Dorong Pemanfaatan Ranting Sisa Banjir Jadi Biochar





