Channel9.id-Jakarta. 15 orang dilaporkan terbunuh dan lima lainnya terluka dalam satu serangan di satu pos pemeriksaan di wilayah selatan Thailand, Selasa (5/11) malam waktu setempat.
Menurut keterangan dari juru bicara militer setempat, diantara para korban terdapat perwira polisi dan relawan keamanan warga.
Insiden yang terjadi Selasa malam itu merupakan serangan tunggal terburuk dalam beberapa tahun terakhir di wilayah kampanye separatis yang telah menimbulkan korban jiwa ribuan orang.
Para penyerang di Provinsi Yala itu menggunakan bahan peledak dan paku yang disebar di jalan untuk merintangi aparat keamanan yang memburu mereka.
Dikutip dari Al Jazeera, Juru Bicara Militer Kolonel Pramote Prom-in mengatakan, 12 orang tewas ditempat, dua orang meninggal di rumah sakit, dan satu orang meninggal pada Rabu (6/11) pagi. Selain korban tewas, ia menyebut lima orang lainnya terluka akibat insiden tersebut.
“Para penyerang mengambil senjata M-16 dan shotgun dari pos pemeriksaan,” ujarnya kepada AFP.
Ia pun menuding penyerangan dilakukan oleh para pemberontak. “Ini merupakan penyerangan terbesar dalam beberapa waktu terakhir,” tambahnya.
Hingga saat ini, belum ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-O-Cha menegaskan para penyerang harus dibawa ke pengadilan, seperti dikutip oleh Juru Bicara Kementerian Pertahanan Kongcheep Tantravanich.

Selama satu dasawarsa, kampanye separatis yang terjadi di wilayah terbesar etnis Melayu-Muslim di Provinsi Yala, Pattani, dan Narathiwat telah menimbulkan banyak korban jiwa. Menurut Deep South Watch, Setidaknya hampir 7.000 orang terbunuh sejak tahun 2004. Deep South Watch adalah organisasi yang mengawasi kekerasan yang terjadi di wilayah itu.
Awalnya. provinsi itu dimiliki oleh Sultan Melayu Muslim sebelum Thailand mencaploknya pada tahun 1909. Populasi di wilayah tersebut 80% adalah muslim, sementara sebagian besar wilayah lain di Thailand adalah penganut Buddha.
Wilayah ini berada di bawah darurat militer, yang diawasi ketat oleh militer dan kadang dikelola para relawan keamanan yang berasal dari warga sipil. Penduduk dan kelompok hak asasi manusia menuduh mereka melakukan pelanggaran HAM.