Opini

Dunia Siber dan Populisme Islam

Oleh: M.S. Ridho*

Channel9.id-Jakarta. Dunia siber merupakan arena perebutan ruang publik –meminjam istilah dari Jurgen Habermas– di dunia digital yang seringkali memengaruhi realitas yang terjadi di alam nyata. Satu dekade terakhir praktik kehidupan sosial, politik, budaya, dan ekonomi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh praktik-praktik para pelaku di dunia siber, buzzer termasuk di dalamnya.

Buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu (CIPG, 2017). Buzzer merupakan istilah yang populer karena keberadaan dunia siber dan menjadi sumber penghidupan bagi sebagian praktisi media sosial. Buzzer digunakan untuk kepentingan promosi sebuah produk. Pun dalam isu radikalisme, tidak sedikit akun-akun media sosial di twitter, instagram, yang menggunakan buzzer sebagai metode efektif penyebarluasan gagasan atau promosi radikalisme.

 Tidak sedikit riset yang menunjukkan bahwa perubahan seseorang menjadi radikal karena dipengaruhi oleh informasi dari media dunia siber. Sebagaimana dikatakan oleh Wakil Presiden 2014-2019, Jusuf Kalla bahwa “Teknologi juga itu membuat menyebabkan orang radikal. Itu tandanya Lone Wolf itu. Karena yang mengajarkan itu bukan orang. Mereka membaca di internet dan sebagainya”, diungkapkan pada saat menyikapi teror yang terjadi di Mapolda Sumatera Utara, dan juga di Masjid Falatehan dekat Mabes Polri pada awal Juli 2017.

Berdasarkan amatan saya, banyak situs yang menggunakan identitas Islam, portal-islam.id misalnya, seringkali mengunggah judul-judul berita yang bombastis dan sangat prejudice. Seperti berikut: “Lutfi: Saya Disetrum dan Dipukul Agar Akui Lempar Batu Ke Polisi” (22 Januari 2020), “Ahmad Dhani: Islam Difitnah! SIAPA YANG UNTUNG dengan TERORISME??? Pake OTAK DOBOL Lu untuk MIKIR” (2 Juli 2017). Lalu pada bulan Agustus 2017 menampilkan judul-judul diantaranya berikut ini: “AWAS! JEBAKAN BETMEN Soal AHOK” (portal-islam.id, 6 Agustus 2017), “Allahu Akbar! Mantan Pendeta Penista Islam Yang Pernah Dilaporkan FPI Akhirnya Masuk Islam” (portal-islam.id, 16 Agustus, 2017). Sementara itu pada bulan September 2017 diantaranya yaitu: “Bagaimana Akhir Kesudahan Teroris Botak yang Bantai Muslim Rohingya? Ini Isyarat Al Quran” dan “Abaikan Perintah, Polisi Izinkan Pengungsi Rohingya Masuk Bangladesh” (Minggu, 3 September 2017), “Allahu Akbar! MESKI DICEGAT DAN DIPERSULIT, Ribuan Massa Tumpah Ruah Bela Rohingya di “Aksi Borobudur” (8 September 2017), “Air Susu Dibalas Air Tuba… Saat Pemilu Muslim Myanmar Dirayu Dukung Suu Kyi, Saat Berkuasa Muslim Dibantai” (10 September 2017).

Dari beberapa judul di atas tersebut mengindikasikan bahwasanya portal-islam.id sedang berusaha melakukan penguasaan media siber dengan menggunakan idiom-idiom Islam dalam headline laman mereka. Islam sekadar dijadikan sebagai instrumen ideologi politik, demi memenuhi syahwat politik elite di kalangan mereka. Islam tidak dijadikan sebagai rujukan nilai-nilai dalam menjalani kehidupan sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Di mana keramahan, kesetaraan, keadilan, menghormati dan menghargai satu sama lain yang berbeda, serta keberagaman misalnya merupakan nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, menurut hemat saya apa yang terjadi dalam dunia siber kita saat ini merupakan bagian dari populisme Islam (Islamic populism) –meminjam istilah Vedi R. Hadiz—sebuah gerakan politik yang menggerakkan umat sebagai gerakan sentimen tertentu atas nama demokrasi. Populisme Islam ini berkembang sebelum dan pasca terjadinya Arab spring di sebagian kawasan Arab pada 2013 (Hadiz 2014 & 2016).

Psy War Gerakan Islam Baru

Gerakan Islam baru, karena menggeliat pasca reformasi–, ini demikian intim menggunakan media siber, demi menggerakan warganet Muslim untuk mereproduksi konten sentimen, provokatif, bernada anti pemerintahan sah di akun-akun media sosial mereka ataupun di situs-situs maupun laman-laman blog yang mereka miliki. Populisme Islam dalam dunia siber (cyber Islamic populism) saat ini sedang terjadi, dan makin marak dijumpai dalam laman-laman (websites) yang menggunakan identitas Islam sebagai ciri khas mereka. 

Situs portal-islam.id misalnya, dalam penelusuran saya lebih didisain sebagai media propaganda. Sebagai propaganda maka tujuannya menjadi sangat umum yang dimaksudkan untuk mengubah sistem kepercayaan publik luas tanpa harus melampirkan bukti-bukti konkrit, cenderung samar-samar.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa makna propaganda yaitu penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu (KBBI online).Tidak lagi melihat seberapa reliabel sebuah data maupun fakta di lapangan untuk dijadikan berita yang layak diinformasikan kepada publik luas. Hal tersebut banyak ditemukan dalam berita yang dimuat oleh portal-islam.id meskipun tidak seluruhnya bersifat seperti itu. Namun sebagai media daring yang menggunakan label Islam, tentu hal ini sangat jauh dari semangat nilai-nilai Islam itu sendiri yang menjunjung tinggi kejujuran, tabayyun (check and recheck), tidak memfitnah, untuk menyebut beberapa saja.

Perebutan ruang publik dalam dunia siber yang menggunakan simbol, identitas Islam di Indonesia ini bukannya tanpa alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, hampir 87,7% warganya menganut Islam sebagai agamanya. Kedua, kontestasi ideologi –termasuk ideologi Islam– akan mudah disebarkan dengan biaya murah menggunakan media siber (internet).

Ketiga, besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 64,8%  atau 171,17 juta (APJII, 2019) dari total jumlah penduduknya merupakan aset yang sangat besar sebagai ladang pasar ideologi, pasar politik, maupun pasar ekonomi. Keempat, dari 64,8% pengguna internet tersebut hampir 66%nya adalah generasi Y dan Z, yakni mereka yang berusia 18-36 tahun, usia sangat produktif, sekurang-kurangnya 113 juta adalah pengguna aktif media sosial setiap harinya, yang menghabiskan tidak kurang dari 3 jam 26 menit untuk mengakses media sosial mereka (wearesocial Januari 2019).

Berdasarkan argumen tersebut, yang terjadi saat ini bagian dari psy war di dunia siber, siapa yang berhasil memenangkan “peperangan” tersebut maka dia yang akan menguasai kaum muda (gen Y, Z, dan alpha) hari ini demi politik kekuasaan satu dua dekade kedepan dan seterusnya. Demi memenangkan pertarungan tersebut, seringkali diabaikanlah etika bermedia, serta aturan-aturan lainnya, karena yang dipentingkan adalah mengubah cara pandang, logika, perspektif kaum muda tersebut untuk dapat mengikuti arus berpikir tanpa sikap kritis sama sekali, cenderung provokatif mengarah ke fitnah, melalui situs-situs yang mereka miliki. 

*Intelektual Muhammadiyah dan Pengamat Keamanan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13  +    =  19