Channel9.id-Jakarta. Omnibus Law adalah metode mensinkronkan beberapa undang-undang sejenis, agar tidak kontra produktif untuk menjawab dinamika perkembangan zaman.
Hal ini disampaikan Agatha Widianawati, Kepala Bagian Hukum Ketenagakerjaan Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja, dalam Seminar “Omnibus Law Cipta Kerja dan Prospeknya bagi Content Creator dan Pekerja Sektor Kreatif”, Rabu, 11 Maret 2020, di Hotel March, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Selain Agata, panitia penyelenggara seminar juga menghadirkan Content Director dan Komunikasi Digital Edy Budiyarso, serta Praktisi Komunikasi Rahmat Edi Irawan. Bertindak sebagai moderator Indra Prawira, Ph.D.
“Jumlah pengangguran yang mencapai 7 juta lebih, merupakan salah satu tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah dengan tindakan nyata,” kata Agatha.
Pernyataan senada disampaikan oleh Rahmat Edi Irawan. “Omnibus Law merupakan rencana Presiden Jokowi menangkis berbagai hambatan untuk penciptaan lapangan kerja, “ujar Praktisi Komunikasi Media yang akrab dipanggil REI ini.
Edy Budiyarso menyebut Indonesia sedang menghadapi tantangan internal dan eksternal. “Jumlah pengangguran mencapai lebih dari 7 juta jiwa, dan angkatan kerja baru membutuhkan langkah-langkah pemecahan oleh Pemerintah. Sedangkan situasi dari luar, perekonomian dunia yang sedang mengkerut karena ancaman krisis, ” ujar mantan wartawan Majalah Tempo dan RCTI ini.
Padahal, tambah Edy, Indonesia akan mendapat bonus demografi yang sangat besar di tahun 2030. “Berbeda dengan Jepang yang mengalami sun set, karena jumlah penduduk tua lebih banyak, kita akan kebanjiran penduduk muda usia produktif. Karena itu, omnibus law bisa jadi disusun untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mempermudah iklim berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja,” kata Edy.
Salah satu langkah konkret untuk mengatasi pengangguran adalah dengan membuat situasi yang kondusif untuk investasi dengan mensinkronkan pasal-pasal perundang-undangan yang kontradiktif dengan menggunakan metode omnibus.
Termasuk di dalam penggabungan undang-undang sejenis itu, kata Agata, bagaimana menjawab perkembangan teknologi yang menghilangkan peran tenaga kerja manusia secara massif.
Menurut Agata, ada tiga hal yang harus dilindungi terkait tenaga kerja: 1. sudah lulus tapi belum dapat pekerjaan, ini masuk program Kartu Pra Kerja. 2. Yang sudah bekerja dan harus dijaga,3. Yang di- PHK, dan harus dilindungi hak-haknya.
“Mereka yang menolak Omnibus Law karena mendapat informasi tidak utuh. Selain memangkas kontradiksi, Omnibus Law Cipta Kerja mengatur perlindungan tenaga kerja yang belum diatur di Undang-undang nomor 13 tahun 2003,” kata Agata menjawab pertanyaan Jessica, salah satu dari sekitar 120 orang peserta diskusi.
Ketentuan jam kerja 7 jam untuk 6 hari kerja, kata Agata, itu belum terakomodir dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Teman-teman yang bekerja di sektor kreatif secara upah lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, namun mereka belum mendapatkan perlindungan dari Undang-undang” kata Agata.
“Kami pelaku dunia kreatif, bekerja tidak seperti pekerja konvensional. Menyelesaikan pekerjaan tak harus datang ke kantor, terkadang dari rumah atau malah dikerjakan di kafe sambil kongkow minum kopi. Walau demikian, pekerjaan jenis ini full skill, kami diikat dengan deadline cepat dan standar kualitas yang ketat. Pekerjaan model ini, lebih tepat masuk pekerjaan paruh waktu atau pekerja dengan kontrak waktu tertentu (PKWT),” jelas Edy.
Terkait kerja paruh waktu, yang berperan besar menggerakkan perekonomian, Agatha mengatakan jam kerja paling lama 8 jam. “Ini memberikan ruang bagi pekerja kreatif untuk membuat kesepakatan jam bekerja kurang dari 8 jam,” ujarnya.
Perhitungan jaminan sosial jika bekerja kurang dari 8 jam dalam 5 hari kerja, lanjut Agatha, merupakan persoalan yang ingin kita sesuaikan dan atur dalam Omnibus Law “ungkap Agata.
Lalu bagaimana dengan pasal-pasal dalam Undang-undang yang tidak diutak-atik dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja? Menurut Agatha, pasal-pasal tersebut dengan sendirinya tetap berlaku.