Oleh: Mohammad Subkhi R*
Channel9.id-Jakarta. Merebaknya virus corona sejak dua bulan lalu membuat ekonomi dunia seakan lumpuh. Awalnya virus corona 19 (Covid-19) ini muncul di Wuhan, salah satu kota di Cina sejak jelang akhir Januari 2020. Tidak kurang dari 82ribu warga Cina di kota Wuhan terjangkiti Covid-19. Aktivitas warga lantas dibatasi, kumpul-kumpul warga yang melibatkan puluhan tidak lagi diperkenankan oleh otoritas kota maupun negara. Hal ini menyebabkan kelumpuhan ekonomi di beberapa kota maupun negara makin terasa setelah dikeluarkannya kebijakan dikunci (lockdown).
Istilah lockdown saat ini digunakan pada masa pandemi Covid-19, yang dimaknai sebagai penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak. Cina memberlakukan kebijakan lockdown untuk kota Wuhan sejak terjadi peningkatan kasus signifikan pada mereka yang positif terinfeksi Covid-19.
Pada minggu keempat Februari pertumbuhan ekonomi Cina dapat terkoreksi hingga 2%, di Indonesia sendiri terkoreksi hingga 0,3%, demikian dikatakan oleh Airlangga Hartarto, selaku Menko Perekonomian 2019-2024. Di Indonesia awalnya tidak muncul suspect Covid-19, situasi berubah sejak Juru Bicara Pemerintah Khusus penanganan virus corona, Achmad Yurianto menyatakan adanya 2 pasien positif Covid-19 pada Senin, 2 Maret 2020, dan berselang empat hari kemudian pada 6 Maret 2020 bertambah menjadi 6 pasien positif Covid-19 di DKI Jakarta dan sekitarnya. Seiring waktu jumlah suspect bertambah hingga 450, dengan korban jiwa 38 orang update pada 22 Maret 2020. Persebaranan terbanyak tiga besar yaitu di DKI Jakarta, Jabar, dan Banten.
Hal tersebut wajar adanya karena merupakan wilayah yang ditempati dan disinggahi oleh beragam orang dari belahan dunia manapun. DKI Jakarta sebagai pusaran ekonomi menjadi area pertemuan bisnis setiap individu dari berbagai perusahaan multinasional. Selain itu, Jakarta sekaligus pusat politik menjadikan perjumpaan orang tidak terhindarkan. Belum lagi ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk di luar batas kewajaran kesepuluh dunia, setelah Bengaluru, Manila, Bogota, Mumbai, Pune, Moscow, Lima, New Delhi, Istanbul, dan Jakarta (https://www.tomtom.com/en_gb/traffic-index/ranking/ diakses 22 Maret 2020) mengakibatkan mudahnya Covid-19 menjangkiti warga yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Masalah kepadatan penduduk DKI Jakarta ini sudah lama mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan: ahli demografi, elite-elite politik, dan belakangan oleh Presiden Jokowi, sehingga melahirkan ide perpindahan ibukota ke luar Jakarta.
Situasi yang Berubah
Ketenangan sikap yang awalnya ditunjukkan oleh dr. Terawan Agus Putranto selaku Menteri Kesehatan RI pada akhir Januari 2020, belakangan agak berubah manakala pasien positif Covid-19 sudah mendekati lima ratusan. Hingga muncul tagar #Menkesmundur pada 16 Maret 2020 di media sosial dan desakan dari masyarakat yang mengataskan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) di Jakarta, yang dianggap kurang peka dan memahami masalah kesehatan.
Ketenangan sikap dan tidak panikan patut dimiliki oleh seorang pejabat negara, karena ia bertanggungjawab pada kemaslahatan warganya. Hal tersebut penting bagi publik sehingga tidak membuat gaduh suasana kebatinan politik masyarakat dalam merespon sebuah kebijakan. Namun itu saja tidak cukup, seyogyanya diiringi dengan kesiapan sarana dan prasana maupun fasilitas lainnya, khususnya untuk mencegah persebaran virus Covid-19 meluas ke daerah-daerah lainnya.
Situasi semakin mengkhawatirkan sejak Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi disebut positif Covid-19 pada 14 Maret 2020. Sehari setelahnya, Presiden Jokowi memerintahkan seluruh Menteri di Kabinet Indonesia Maju untuk melakukan pengecekan kesehatan terkait Covid-19. Apa yang dialami Menhub, juga dialami oleh pejabat-pejabat di negara lain, misalnya Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton; Menteri Kebudayaan Prancis, Franck Riester; Istri PM Kanada, Sophie Trudeau; Menteri Kesehatan Junior Inggris, Nadine Dorries; Masoumeh Ebtekar, Wakil Presiden Iran; Kepala Staf Angkatan Darat Italia, Salvatore Farina; Wakil Menteri Kesehatan Iran, Iraj Harrichi. Ini semua orang-orang penting di negaranya masing-masing, yang sebagian tanggungjawab negara berada di pundak mereka, juga dapat terdampak langsung oleh Covid-19. Artinya virus Corona-19 dapat langsung menjangkiti siapa saja tanpa pandang bulu.
Kesiapan Pemerintah (?)
Belakangan paska rapat terbatas yang dilakukan oleh Presiden Jokowi Bersama kabinetnya secara daring pada 16 Maret 2020, barulah publik cukup mengetahui secara pasti hal-hal apa saja yang mesti diindahkan oleh setiap individu. Dari hasil rapat secara daring pun diketahui langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh tiap-tiap kementerian, misalnya kebijakan dari Kemenkeu yaitu melakukan realokasi dan reprograming aggaran tiap-tiap kementerian, dan menerbitkan peraturan Menteri yang dapat digunakan oleh seluruh pemerintah daerah dalam penyesuaian penggunaan anggaran bagi penanganan dan pencegahan Covid-19. Dari sini pun lantas kita ketahui masing-masing gubernur maupun bupati/walikota mengeluarkan peraturan gubernur atau peraturan bupati dalam penanganan dan pencegahan Covid-19 di daerah-daerah.
Kebijakan yang mendapat perhatian tinggi dari warganet khususnya yakni masalah jaga jarak (social distance), yang dampaknya yaitu bekerja, sekolah, dan beribadah dihimbau untuk dilakukan dari rumah masing-masing. Tepat sepekan ‘jaga jarak’ dilakukan di banyak daerah di Indonesia. Kebijakan jaga jarak dalam pencegahan Covid-19 ini oleh para ahli kesehatan dianggap yang paling taktis dilakukan oleh siapa pun untuk meminimalisir penyebaran yang lebih masif. Dari ketiga kegiatan di atas, yang paling mendapat reaksi negatif dari masyarakat -sekelompok kecil yang bersuara nyaring– yakni masalah beribadah di rumah, khususnya di masalah ibadah shalat Jumat misalnya. Bahkan saking negatifnya respon tersebut, menganggap bahwa anjuran tersebut bentuk dari sikap menjauhkan umat dari masjid, sebagai tempat ibadah umat Muslim.
Bagaimana Sikap Kita?
Indonesia sebagai negara besar dan memiliki kontur geografis sangat berbeda dengan negara-negara maju lainnya, tentu memerlukan kajian maupun analisis yang komprehensif dalam setiap menyelesaikan masalah-masalahnya, juga penanganan dan pencegahan Covid-19. Memerlukan kekuatan pertimbangan dan masukan-masukan dari para pakarnya masing-masing, tidak gegabah, dan asal mengeluarkan kebijakan, apalagi sekadar coba-coba. Membuat kebijakan coba-coba hanya membuat panik warga dan dampaknya akan lebih buruk daripada masalah utamanya.
Di sinilah hemat saya pentingnya setiap warga negara untuk mengindahkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, maupun oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk membuat keamananan dan kenyamanan publik terjamin, misalnya dari TNI-Polri. Ada kekurangan itu pasti, di situlah perlunya masing-masing dari kita berkontribusi secara aktif sesuai dengan kemampuan diri masing-masing. Bergandengan tangan memecahkan sebuah masalah merupakan ikhtiar positif, ketimbang sekadar menggerutu. Menyitir dunia sepak bola, membuat komentar terhadap pemain bola memang lebih mudah ketimbang bermain di lapangan bola itu sendiri.
*Pemerhati Keamanan Publik, peneliti di Indoplus Jakarta