Opini

Kampus Merdeka dan Melunturnya Suasana Ilmiah Perguruan Tinggi

Oleh: Dr. Ali Muhtarom

Channel9.id – Jakarta. Sejak kebijakan mengenai kampus merdeka diberlakukan, saya merasa bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut terkesan belum direfleksikan secara lebih mendalam oleh pemerintah. Pada saat yang sama, saya juga menduga bahwa kebijakan tersebut juga belum sepenuhnya melibatkan para tokoh pendidikan, di mana dalam kebijakan pemberlakuan pendidikan, terutama kampus merdeka seharusnya ketika diambil kebijakan seharusnya didasarkan kepada konsep yang matang.

Secara konseptual munculnya istilah kampus merdeka perlu dikaji dari perspektif ilmu pendidikan yang matang. Perspektif ilmu pendidikan ini menurut Made Pidarta sangat urgen mengingat dampak kebijakan pendidikan terhadap warga bangsa Indonesia.

Jangan sampai munculnya kebijakan dari pemerintah tidak cocok dengan kondisi bangsa Indonesia karena mengimpor kebijakan dari berbagai konsep yang berasal dari luar negeri.

Di samping itu, pemerintah juga perlu memperhatikan berbagai landasan sebelum memutuskan sebuah kebijakan pendidikan, baik secara hukum, filsafat, sejarah, sosial, psikologis, dan juga ekonomi masyarakat supaya kebijakan tersebut memberikan rasa adil dan tidak diskriminatif.

Dalam kebijakan kampus merdeka, terdapat empat hal yang menjadi poin penting bagi pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Mendikbud. Akan tetapi, secara konseptual menurut saya belum menyentuh pada substansi kemerdekaan kampus itu sendiri, apalagi dalam proses pembelajarannya.

Menurut saya, keempat kebijakan tersebut hanya pada bentuk kebijakan yang berhubungan dengan kelembagaan, yang hal ini saya kira belum masuk dalam substansi kampus merdeka, apalagi merdeka belajar di kampus.

Empat hal yang sudah mafhum dipahami oleh publik dalam kebijakan Mendikbud terkait kampus merdeka tersebut adalah pembukaan prodi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, hak belajar dua/tiga semester di luar prodi, dan kemudahan dalam mengurus PTN-BH.

Selain belum mengena pada substansi kemerdekaan belajar di kampus, keempat hal ini justru malah menjadi beban baru bagi lembaga perguruan tinggi di Indonesia.

Mengapa menjadi beban perguruan tinggi, karena dengan adanya kebijakan kampus merdeka, independensi perguruan tinggi menjadi meluntur. Ketika dikaji secara lebih mendalam, orientasi kebijakan tersebut lebih menekankan pada output dunia kerja dengan adanya kewajiban bagi kampus untuk melacak alumninya melalui apa yang disebut sebagai tracer study, meskipun hal ini bernilai positif sebagai usaha untuk perbaikan sistem penyelenggaraan kualitas kampus.

Saya bukan tidak sependapat mengenai harapan baru dari munculnya kebijakan tersebut, terutama dalam menekankan output kampus atau alumni siap bekerja, akan tetapi secara substansial mengenai pemaknaan orientasi bekerja, bekerja, dan bekerja bagi dunia kampus justru akan melunturkan pemaknaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dunia kampus itu sendiri.

Saya, mungkin juga sebagian dosen yang lain, memiliki pandangan bahwa jika orientasi mahasiswa hanya untuk bekerja, lebih bagus bagi peserta didik memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi atau kampus. Para mahasiswa yang orientasinya hanya ingin bekerja, lebih baik memilih kursus atau mengikuti program pelatihan untuk bidang-bidang keahlian yang diminati supaya lebih praktis dan siap bekerja. Kondisi ini lebih tepat karena bagi saya dunia kampus adalah dunia pengembangan ilmu pengetahuan.

Pada sisi lain, independensi kampus bukan berupa kewajiban untuk mengikuti secara ketat berbagai aturan yang bersifat birokratif, akan tetapi independensi adalah bagaimana kampus mampu mengembangkan suasana ilmiah yang non-birokratis atau kampus yang memiliki suasana kebebasan ilmiah (Buchori: IKIP Muhammadiyah,1995). Pendidikan akademik lebih terlihat dalam pengembangan keilmuan bagi para lulusannya (Pidarta: Rineka Cipta, 2009).

Pada sisi yang lain juga, kampus merdeka itu memiliki paradigma dalam pengembangan keilmuan yang lebih luas dan mendalam, terutama pada bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang lebih dikenal dengan tridharma perguruan tinggi.

Persoalan yang terjadi hari ini terkait pengembangan keilmuan dalam ketiga aspek dalam tridharma perguruan tinggi di kampus juga mulai ikutan meluntur. Basis pengembangan keilmuan yang seharusnya dimunculkan oleh kampus melalui berbagai publikasi ilmiah, budaya menulis bagi para dosen, diskusi-diskusi ilmiah, atau berfikir kritis mulai menurun.

Pada saat yang sama juga masih banyak dijumpai pengekangan pada kebebasan akademik ketika terjadi pembatasan terhadap dunia akademik seperti pembatasan dan razia terhadap buku kritis yang oleh tangan kekuasaan tertentu dilarang beredar sebagaimana terjadi di beberapa daerah. Kondisi ini menandai bahwa kemerdekaan dunia akademik masih terjadi di Indonesia. Contoh lain dari masih adanya indikasi dunia akademik belum sepenuhnya merdeka adalah pelarangan diskusi di sebuah perguruan tinggi Islam di Surakarta yang dilakukan oleh sebagian ormas yang keberatan karena diskusi tersebut dianggap menyimpang juga menjadi catatan penting dari situasi kebebasan akademik di kampus.

Secara lebih spesifik bisa dipahami bahwa kebebasan akademik, terutama dalam membangun kebebasan ilmiah di kampus adalah dengan bersikap tidak memaksakan pengetahuan, karena pengetahuan itu bersifat dinamis, tidak statis. Pengetahuan merupakan usaha yang saling bersambung untuk mendapatkan pengetahuan baru, bahkan sekaligus mengevaluasi pengetahuan yang lama. Pada saat yang sama, ilmu pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Buchori akan selalu berinteraksi dengan berbagai gagasan baru yang seharusnya saling berdialektika, bukan untuk saling memaksakan pendapat pribadi atau kelompok tertentu dengan upaya saling dibatasi dan saling membatasi satu sama lain.

Inilah sebenarnya suasana kebebasan ilmiah di perguruan tinggi yang menurut saya menjadi hal penting yang seharusnya dikembangkan pemerintah ke depan. Pendidikan tinggi, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan juga undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi secara substansial memiliki tujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, bukan dioreintasikan hanya sekedar untuk mencari kerja melalui magang dua atau tiga semester di beberapa lembaga yang sebenarnya hal ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tridharma perguruan tinggi melalui lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LP2M) yang saya kira di semua kampus terdapat lembaga ini.

Untuk itu, empat poin dari kebijakan kampus merdeka perlu dirumuskan kembali dengan melibatkan para pakar pendidikan dan juga memperhatikan berbagai landasan yang telah disebutkan di atas. Kondisi ini menurut saya penting, supaya implementasi kebijakan kampus merdeka lebih mengena dan memiliki substansi yang lebih mendalam. Kemerdekaan kampus harus memiliki dampak sistemik bagi pengembangan kualitas dan kebebasan akademik, bukan hanya sekedar tata kelola kelembagaan yang terkesan formalistik.

Pada saat yang sama, kebijakan kampus merdeka tersebut juga harus memenuhi rasa keadilan kepada seluruh warga bangsa Indonesia, sehingga menjadi kebijakan yang tidak hanya bisa dinikmati oleh mereka dari kalangan yang kaya (the have), akan tetapi mereka masyarakat miskin (the have not) juga bisa merasakan dampak positif dari kebijakan tersebut.

Penulis: Direktur Eksekutif Gerak Literasi Indonesia dan Dosen UIN SMH Banten

7 Replies to “Kampus Merdeka dan Melunturnya Suasana Ilmiah Perguruan Tinggi

  1. Kampus merdeka terkesan belum di refelesikan ya karna bahwa kebijakan tersebut juga belum sepenuhnya melibatkan para tokoh pendidikan, di mana dalam kebijakan pemberlakuan pendidikan, seharusnya didasari konsep yang Mateng terlebih dahulu.

  2. Kampus merdeka terkesan belum di refelesikan ya karna bahwa kebijakan tersebut juga belum sepenuhnya melibatkan tokoh pemerintahan.

  3. Program baru dalam dunia pendidikan tentunya membutuhkan sistem yang terstruktur dan sistematis. Namun, program merdeka belajar ini dinilai masih sangat baru dan belum cukup kuat untuk menyiapkan SDM sebagai pelaksana dalam program ini.
    Seperti yang kita tahu, mencanangkan suatu program baru, pasti memerlukan sosialisasi dan persiapan yang cukup matang untuk para eksekutor di program merdeka belajar ini. Maka, bisa dipastikan bahwa program merdeka belajar masih perlu menyiapkan para tenaga ahli dan sosialisasi yang matang agar bisa berjalan dengan baik.

  4. Namun, program merdeka belajar ini dinilai masih sangat baru dan belum cukup kuat untuk menyiapkan SDM sebagai pelaksana dalam program ini.
    Seperti yang kita tahu, mencanangkan suatu program baru, pasti memerlukan sosialisasi dan persiapan yang cukup matang untuk para eksekutor di program merdeka belajar ini. Maka, bisa dipastikan bahwa program merdeka belajar masih perlu menyiapkan para tenaga ahli dan sosialisasi yang matang agar bisa berjalan dengan baik.

  5. Program baru dalam dunia pendidikan tentunya membutuhkan sistem yang terstruktur dan sistematis. Namun, program merdeka belajar ini dinilai masih sangat baru dan belum cukup kuat untuk menyiapkan SDM sebagai pelaksana dalam program ini.

  6. Ketetapan kampus merdeka pasti akan bermunculan pro dan kontranya masing-masing sebab setiap orang punya pendapatnya. Jika kampus merdeka seakan bertujuan agar mahasiswa siap kerja setelah lulus nanti, ini seperti pendidikan untuk kerja bukan pendidikan untuk ilmu pengetahuan. Tapi ada baiknya karna ini bisa menjamin nanti lulusan perguruan tinggi akan langsung bekerja sehingga mengurangi angka pengangguran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

49  +    =  51