Hot Topic Hukum

RCTI Gugat Ke MK, Netizen Bakal Tak Bebas Lagi Bermedsos

Channel9.id-Jakarta. RCTI dan iNews mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelayanan siaran melalui internet, seperti Youtube dan Netflix. Sebagai pemohon, mereka meminta UU Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran juga mengatur penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD).

Mereka merasa, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan over the top (OTT), dikutip dari Antara (30/5).

Menurut mereka, perlakuan berbeda itu didasari tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet, apakah masuk ke dalam definisi penyiaran seperti yang diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak. Oleh karenanya, mereka meminta MK mengatur penyedia layanan siaran melalui internet di Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.

Terkait hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan, jika gugatan RCTI terkait uji materi UU Penyiaran dikabulkan oleh MK, maka masyarakat tak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran langsung dalam platform media sosial.

“Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin,” jelas Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual di sidang lanjutan di Gedung MK, Rabu (26/8), dikutip dari situs yang sama.

Dengan demikian, kegiatan itu di media sosial juga dikategorikan sebagai penyiaran. Sehingga, lanjut Ramli, perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Jika tak memenuhi persyaratan perizinan itu, penyiaran menjadi ilegal. Itu berarti penyiaran semacam itu harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum, karena tindakan itu termasuk pelanggaran pidana. Ditambah pula, pembuat konten siaran lintas negara yang tak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

Pesatnya kemajuan teknologi, Ramli akui, memungkinkan adanya “titik temu” antara telekomunikasi dan media penyiaran. Namun, usulan agar penyiaran dari internet dimasukkan ke kategori penyiaran, akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah UU Penyiaran secara menyeluruh.

Ia menyarankan, solusinya ialah pembuatan UU baru oleh DPR dan pemerintah yang khusus mengatur layanan siaran melalui internet.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  64  =  71