Channel9.id – Jakarta. Guru Besar Universitas Airlangga Harry Azhar Azis menyampaikan, alokasi anggaran pusat dan daerah belum menunjukan implementasi ekonomi Pancasila yang bertujuan menyejahterakan rakyat.
Dana APBN maupun APBD tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Bahkan, kesenjangan pendapatan semakin lebar.
Ironisnya, baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat menutupi kegagalan tersebut dengan menunjukan keberhasilannya mendapatkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
“Kecenderungannya makin WTP. Tetapi kalau angka indikator kesejahteraan daerah dan pusat itu tidak menunjukan keberhasilan, seperti angka kemiskinan dan pengangguran turun itu, bertentangan dengan amanah konstitusi,” kata eks Ketua BPK ini dalam Kelas Pancasilanomics ke-5, Minggu (7/9) malam.
Harry menyatakan, ada pemerintah daerah yang mendapatkan WTP tujuh tahun berturut-turut namun angka kemiskinan masih tinggi. Harry tidak menyebutkan daerah apa yang dimaksud.
Kendati demikian, Harry menegaskan, WTP sudah wajar didapatkan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Bagi Harry, yang penting adalah mengalokasikan dana APBN untuk target pembangunan demi menyejahterakan rakyat.
“Saya pernah sampaikan ke Pak Presiden, WTP adalah kondisi yang harus dicapai oleh pemda. Tetapi itu tidak cukup, target pembangunan dengan indikator kesejahteraan harus membaik, kemiskinan menurun, pengangguran menurun, gini rasio turun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik. Kita belum sampai yang diinginkan UUD,” kata Harry.
Harry pun menyarankan, kepala daerah yang gagal meningkatkan indikator kesejahteraan dilarang ikut mencalonkan kembali di periode ke dua. Karena itu, pemimpin daerah harus memiliki strategi mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan.
“Seorang bupati selama 5 tahun memerintah, angka kemiskinan terus meningkat. Apakah masih layak mencalonkan diri? Dia harus dilarang ikut calon bupati periode 2. Namun, kalau bisa mengendalikan angka kemiskinan artinya dia bisa mengelola anggaran. Saya sudah sampai pada satu kesimpulan bahwa pemda itu harus memikirkan pola alokasi mana yang bisa menurunkan kemiskinan dan pengangguran,” ujarnya.
Terkait IPM, Harry menyatakan, angka IPM secara nasional mengalami kenaikan dari 68,70 di 2004 mengalami kenaikan hingga 71,92 di 2019. Namun, angka ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara lain.
“IPM itu rata rata hampir seluruh daerah naik. Tapi, coba bayangkan sejak 16 tahun terakhir naiknya hanya 3 poin. Bagainana kita bisa mengalahkan Singapura yang 93, mengalahkan Cina yang 75 bila hampir 16 tahun hanya naik 3 poin,” pungkasnya.
(HY)