Channel9.id – Jakarta. Polri telah memberikan peringatan virtual kepada 21 akun media sosial hingga Senin 1 Maret 2021. Peringatan virtual itu merupakan bagian dari sistem kerja Virtual Police dalam menangani kasus pelanggaran UU ITE.
“Ya, benar 21 akun,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat dihubungi, Senin 1 Maret 2021.
Mayoritas akun yang diberi peringatan itu karena postingan terkait provokasi. Akun itu pun diberi teguran.
“(Ditegur karena) provokasi,” ucapnya.
Namun, Argo belum bisa memastikan apakah semua akun yang ditegur itu telah menurunkan postingan yang bernada provokasi tersebut.
“Ini belum terkonfirmasi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi menyampaikan, hal ini dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bernomor: SE/2/11/2021 Tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.
Dalam SE itu, Kapolri meminta supaya penanganan kasus pelanggaran UU ITE lebih mengedepankan upaya restorative justice.
Slamet menjelaskan, setiap hari Dittipidsiber Bareskrim melakukan patroli siber untuk mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan.
Sebelum memberikan peringatan secara virtual, pihaknya telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Dengan demikian, peringatan virtual dilakukan atas pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik Polri.
Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke warganet yang diduga mengunggah konten hoaks maupun ujaran kebencian. Tujuannya, dalam waktu 1×24 jam, konten tersebut dihapus oleh si pengunggah.
Jika unggahan di medsos tersebut tidak juga dihapus oleh pengunggah/pemilik akun, penyidik akan kembali memberikan peringatan virtual.
Jika peringatan kedua tetap tidak dipatuhi, maka pengunggah/pemilik akun akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Menurut Slamet, penindakan adalah langkah terakhir penanganan kasus pelanggaran UU ITE.
“Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama, edukasi, kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual, kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice, baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum, melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga tercipta ruang siber yang bersih, sehat, beretika dan produktif,” kata Slamet.
Tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan restorative justice meliputi kasus pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan. Selain itu pelaku juga tidak ditahan karena restorative justice mengedepankan keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
Slamet menambahkan, Polri tidak akan menindak seseorang yang mengkritik pemerintah dengan menyampaikan kritik secara santun dan beradab. Namun bila kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks, maka akan ditindak hukum.
“Kritik itu sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah dan kebohongan itu yang tidak baik,” kata Slamet.
HY