Oleh: Satriono Priyo Utomo
Channel9.id – Jakarta. Hari ini saya berduka, dan tentu saja dunia pendidikan, pada 1 Juli 2021 Conny Riouswkina Semiawan tutup usia. Saya mendengar nama Conny Semiawan saat awal bergabung bersama penerbitan kampus Universitas Negeri Jakarta, majalah Didaktika. Di berbagai diskusi yang diselenggarakan senior-senior Didaktika namanya seringkali disebut saat membicarakan tentang pendidikan Indonesia dan sejarah gerakan mahasiswa. Saya tidak pernah mendengar nama bekas Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta periode 1984-1992 ini di dalam kelas. Selain dari satu-dua dosen lulusan IKIP Jakarta yang memiliki pengalaman pribadi dan mengikuti pemikiran-pemikirannya.
Betapa mirisnya gairah akademik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dimana tidak banyak dosen-dosennya mengetahui rekam jejak dan pemikiran penggagas konsep belajar Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Saya berjumpa dan berbicara secara langsung untuk pertama kalinya dengan Conny Semiawan sekitar tahun 2019 di rumahnya, Jakarta Selatan. Saya ingat betul, bagaimana Bunda—panggilan akrab murid-muridnya dari IKIP Jakarta/UNJ—menggurui saya dengan sebuah pesan, “dimanapun kamu berkarir, sebagai sarjana pendidikan tugasmu adalah mendidik.” Mengingat perkataan ini membuat saya merinding haru dan meneteskan air mata. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk mengenang Conny Semiawan selain dengan menghadirkan tulisan ini.
Conny Riouwskina Semiawan Stamboel lahir di Jawa Timur pada 6 November 1930 dari pasangan Dr. Mohamad Stamboel dan R. Ayu Constantin. Dia dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur keluarga kelas menengah yang memiliki intelektualitas warisan kolonial Hindia-Belanda. Ayahnya Dr. Mohamad Stamboel adalah seorang dokter yang memperoleh pendidikan dari Universitas Leiden di Belanda. Selepas studi, ayahnya ditugaskan oleh pemerintah kolonial memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pribumi di berbagai tempat di tanah jajahan seperti Merauke dan Jember hingga pada akhirnya menjadi Kepala Rumah Sakit di Ngawi dan dokter karisedenan di Pamekasan.
Dr, Mohamad Stamboel juga aktif dalam dunia politik dan tergabung bersama Budi Utomo. Sedangkan ibunya, R. Ayu Constantin memiliki latar belakang religius yang kuat karena lahir dari seorang ulama bernama Sumo Prawiro.
Baca juga: P2G: Prof Conny Semiawan Banyak Meninggalkan “Legacy”
Conny Semiawan pernah merasakan bangku pendidikan khas kolonial dengan bersekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS). Di usia dasar, Conny Semiawan telah menunjukkan bakat sebagai seorang pendidik saat memilih permainan dengan menjadi “ibu guru” bagi para pembantunya di rumah dengan mengajari mereka membaca dan menulis.
Conny Semiawan juga mendapatkan pendidikan yang baik di rumah karena ibunya mewajibkan dia untuk belajar budaya-budaya Jawa. Selain itu, ibunya mengajari Conny Semiawan untuk memiliki rasa empati terhadap masyarakat pribumi yang lemah karena sulit mengakses kebutuhan pangan. Di masa pendudukan Jepang, Conny Semiawan meneruskan sekolahnya di Sekolah Rakjat.
Conny Semiawan kecil pandai memainkan piano dan seringkali menikmati musik klasik dari para maestro sepeti Schubert, Chopin dan Beethoven. Saat remaja Conny Semiawan dihadapkan pada dua pilihan untuk menerima tawaran beasiswa studi musik di Amerika atau melanjutkan cita-cita menjadi guru dengan sekolah keguruan di dalam negeri.
Kemudian Conny Semiawan memutuskan untuk melanjutkan cita-citanya sebagai guru dan pada tahun 1951 dia menempuh pendidikan SGA di Surabaya. Conny semiawan kemudian melanjutkan studinya di jurusan Psikologi Fakultas pendidikan dan pada tahun 1962 lulus sebagai Sarjana Pendidikan FKIP UI Jakarta. Pada 11 Desember 1978 Conny Semiawan memperoleh gelar doktor pendidikan pertama Fakultas Pasasarjana IKIP Jakarta.
Menapaki Karir Sebagai Pendidik dan Birokrat
Karirnya sebagai pendidik dimulai ketika Conny Semiawan mendapat tawaran menjadi sukarelawan pendidik untuk anak-anak yang tidak memperoleh kesempatan belajar di TK Yayayasan Bersekolah pada Ibu, Bandung. Selain itu, Conny Semiawan juga mengajar ibu-ibu rumah tangga dan memberikan edukasi bagi mereka tentang cara menjadi pendidik bagi anak-anak mereka sendiri. Conny Semiawan menggagas pemberdayaan perempuan melalui pendidikan bagi ibu-ibu di Yayasan Bersekolah pada Ibu.
Pada tahun 1953 Conny Semiawan memutuskan untuk menikah bersama Ir. Emil Setiawan. Pada tahun 1963 di Medan Conny Setiawan mendirikan beberapa TK di Pintupohan dan Paritehan serta selama 11 tahun mengurus dan mendirikan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus.
Pada tahun 1978 pasca menyelesaikan studi doktornya di IKIP Jakarta, Conny Semiawan pernah diminta menjadi dosen UI dan memilih bersama Winarno Surakhmad mengabdikan diri di IKIP Jakarta dan ditunjuk menjadi Pembantu Rektor I yang pengangkatannya pernah mendapatkan pertentangan dari Menteri Pendidikan Daoed Joesoef.
Tapi kemudian Daoed Joesoef meminta Conny Semiawan menjadi Kepala Pusat Kurikulum pada tahun 1983. Kedudukan ini mendorong dia berpikir tentang usaha meningkatkan mutu dan akses pendidikan di Indonesia. Menurut Conny Semiawan, masalah utama dan hambatan dalam menangani mutu dan kesempatan belajar adalah perkembangan yang tidak seimbang antara pertumbuhan masyarakat dan kehidupannya. Selain itu, permasalahan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak setara dengan profit dan penggunaannya serta kemajemukan kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1984 Conny Semiawan menerapkan kurikulum yang menghadirkan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) di sekolah menengah. Penerapan sistem ini diharapkan para siswa memiliki kemampuan belajar mandiri berbasis kompetensi, minat, dan bakat. Dampak dari penerapan sistem ini mengubah sistem konvensional silent learning dengan semboyan “duduk, dengar dan catat” menjadi sistem progresif aktiv learning dari hakikat semboyan pendidikan tut wuri handayani. Kemudian gagasan itu dikenal sebagai Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Guna mewujudkan CBSA, menurut Conny Semiawan guru harus memiliki sikap yang penuh inisiatif dalam menciptakan alat belajar atau menggunakan alam sekitar sebagai sumber belajar. Pengamatan benda konkret seperti pohon dan binatang, siswa akan lebih banyak mendapatkan informasi dan lebih mudah menyerap materi pelajaran daripada ia hanya membaca atau mendengarkan gurunya saja. Hal itu karena siswa mengalami dan melakukannya secara langsung. Mengamati dan melaporkan hasil pengamatan juga merupakan bagian dari cara kerja ilmiah yang sangat penting ditanamkan pada siswa dalam menghadapi zaman yang semakin maju. Hal tersebut yang ingin diraih melalui CBSA.
Pada tahun 1984 Conny Semiawan ditunjuk sebagai Rektor IKIP Jakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia mengakui bahwa menjadi Rektor IKIP Jakarta bukan tugas mudah karena masih minimnya kultur akademis di kampus tersebut. Kemudian Conny Semiawan memutuskan untuk meningkatkan mutu akademik dan kemampuan profesional dosen sebagai program awal. Pada tahun 1985 jumlah dosen IKIP Jakarta adalah 649 orang dan hanya 38 orang yang memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana.
Conny Semiawan membuat program beasiswa untuk memberikan kesempadan kepada dosen. Selain itu, guna meningkatkan gairah kultur akademis dan pengetahuan sivitas akademik IKIP Jakarta Conny Semiawan membuat program kuliah tamu yang mengundang nama-nama, seperti Dr. Sheila Webb, Dr. Herbert Feith, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Prof. Pramoetadi, Dr. T.B. Simatupang, Dr. Suhardiman, Basyuni Suriamihardja, Prof. Dr. Selo Sumardjan, Munawir Sadzali (saat itu menteri agama), Prof. Samaun Samadikun, Prof Dr. Sri Edi Swasono, Dr. Sudjatmoko, Prof. Dr. T. Raka Joni, Jendral Try Sutrisno, dan Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo. Conny Semiawan juga melakukan peningkatan publisitas dengan menerbitkan majalah Parameter.
Sepanjang sejarah kepemimpinan IKIP Jakarta, tidak banyak rektor yang memiliki hubungan yang demokratis dengan mahasiswa, satu diantaranya adalah Rektor Conny Semiawan. Dia dikenal sebagai rektor yang dekat dengan mahasiswa: mendengarkan dan berpihak kepada mahasiswa. Pada tahun 1990 banyak terjadi gelombang demonstrasi menolak kediktatoran Soeharto yang dilakukan oleh mahasiswa, tidak terkecuali juga dilakukan oleh mahasiswa IKIP Jakarta. Conny Semiawan tidak ingin mahasiswanya menjadi sasaran represifitas militer, oleh karena itu ia sengaja mendekati kalangan militer guna mencegah hal tersebut. Usahanya terbukti.
Hingga akhirnya Soeharto lengser, tidak ada mahasiswa IKIP Jakarta yang hilang. Baik dipenjara ataupun diculik oleh militer. Karena pada tahun 1990 Conny Semiawan mengundang unsur militer seperti Sudomo dan Suryadi Sudirja untuk masuk kampus sebagai alat diplomasi dengan tujuan melindungi mahasiswa IKIP Jakarta.
Selain itu, bukti kedekatannya dengan mahasiswa ditunjukkan Conny Semiawan saat menghadiri berbagai diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh mahasiswanya baik yang bersifat formal dan informal. Pada tahun 1992 Conny Semiawan mengakhiri tugasnya sebagai Rektor IKIP Jakarta.
Catatan singkat di atas adalah sebagian kecil dari sejarah panjang yang telah dijalani oleh Conny Semiawan. Sumbangan besar pada pendidikan tidak hanya diberikan oleh Conny Semiawan dalam wujud gagasan tetapi juga praktik-praktik demokratis yang dilakukannya terutama pada saat menjadi Rektor IKIP Jakarta.
Meskipun pada saat ia menjadi rektor saya belum menjadi mahasiswa, saya merasa kehilangan sosok cendekiawan yang menaruh perhatian luar biasa terhadap tumbuh kembangnya ilmu pedagogi di Indonesia. Selamat jalan, Bunda.
Penulis adalah Alumni UNJ saat ini menjadi Overseas Research Assistant National University of Singapore