Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Baliho Airlangga Hartarto, bersama sejumlah nama lain seperti Puan Maharani dan Muhaimin Iskandar dapat reaksi ‘hebat’ sejumlah pihak. Sinisme. Divonis tak punya hati. Tak peduli jantung rakyat. Uang terhambur. Lebih elok bantu korban pandemi.
Berkebalikan.
Mural berimajinasi Jokowi yang ‘hilang’ disambut antusias dan diusung menggejuju ke langit biru. Pembuat yang belum bersua, bakal disematkan tuah kepahlawanan.
Nilai mural itu disamakan dengan tulisan-tulisan bernada republiken di Jakarta, dalam grammar bahasa Inggris dan Belanda, setelah Jepang menyerah perang 1945. Tan Malaka brada dibalik mural “Merdeka atau Mati” itu.
Beberapa membuat perbandingan. Mural yang digunakan bagai kelompok ‘perlawanan’ bawah tanah zaman Hitler, Mussolini, Lenin, hingga de Gaulle.
Saling dukung. Berkerumun bagai ribuan bayi ikan toman berwarna orange di seputar kepala induk. Demokrasi subtantif sedang ditegakkan, diargumenkan. Seni berbentuk grafiti, bermakna relasi etis, berdimensi humanis.
Partai politik?
Kian tak dianggap. Padahal, upaya membangun eksistensi partai politik baru berlangsung dalam dua puluh tahun terakhir. Walau, mayoritas warna partai politik masih terpengaruh figur-figur ketua umum yang memimpin.
Model perebutan kekuasaan di Afghanistan dielu-elukan, bersandar pilihan kitab sendiri. Berapa harga begitu banyak senjata di tangan non militer dan non polisi, tak ditanya. Formulasi seperti apa guna gudangkan senjata-senjata itu dalam transisi pemerintahan, tak dipedulikan.
Baliho bergambar ketua umum partai politik di Indonesia, kadang dinilai lebih berbahaya ketimbang senapan moderen yang menyalak di tanah Afghanistan. Pihak mana yang menekan pelatuk, punya fans sendiri-sendiri. Partai politik masih menjadi kelompok yang paling tidak disukai, ketimbang militer dan polisi, misalnya.
Sejumlah negara, terlebih dulu mengalami revolusi fisik atau perang saudara, sebelum demokrasi mulai dijalankan. Negara dalam bentuk kerajaan, terutama. Revolusi Perancis (1789-1799) dan Revolusi Oktober yang dikenal juga dengan Revolusi Bolsyevik di Russia (7-8 November 1917), misalnya. Negara lain, ketika melepaskan diri dari negara kolonial, sama sekali belum memikirkan kehadiran partai politik. Revolusi Amerika (Serikat) yang berlangsung dari 1765 – 1791, lebih dari seperempat abad, berlangsung dalam bentuk perang melawan pasukan pendudukan Inggris Raya.
Indonesia, sudah mengenal bentuk partai politik, jauh sebelum perang kemerdekaan terjadi. Partai politik pertama di Indonesia, De Indische Partij, didirikan oleh Tjiptomangunkoesoemo, Douwes Dekker, dan Ki Hadjar Dewantara, pada 25 Desember 1912. Pada 4 Juli 1927, Sukarno, Sartono dan lain-lain mendirikan Partai Nasional Indonesia di Bandung. Partai Indonesia Raya atau Parindra didirikan oleh Soetomo di Surakarta pada 1935.
Sejak Volksraad berdiri pada 18 Mei 1918, perwakilan partai-partai politik ini bersama perwakilan pegawai pemerintah Hindia Belanda, menjadi penggerak. Tahun 1939, terdapat tiga faksi dominan dalam Volksraad, yakni Fraksi Nasional pimpinan Mohammad Husni Thamrin, Indonesische Nationale Groep pimpinan Muhammad Yamin, dan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera (PPBBB) pimpinan Prawoto.
Hampir seluruh partai politik pra kemerdekaan itu didirikan kaum intelegensia yang rata-rata berpendidikan tinggi, baik yang berhaluan kooperatif ataupun non kooperatif terhadap Hindia Belanda. Keadaan itu berlanjut setelah kemerdekaan. Pelaksana pemerintahan selama Sukarno menjadi presiden (1945-1966) adalah partai-partai politik di kabinet. Kedudukan Sukarno hanya sebagai Kepala Negara. Kepala Pemerintahan berada di tangan sejumlah perdana menteri. Walau pemilu pertama dihelat tahun 1955, eksistensi partai-partai politik sudah diakui dua bulan sejak Indonesia merdeka lewat Maklumat X/1945 Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Bukan saja berbentuk Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, keberadaan partai politik juga ditampung dalam Komite Daerah. Perwakilan politik diberikan kepada partai-partai politik yang sebagian memiliki organisasi para militer atau laskar atau gerilyawan.
Berhubung yang datang ke Indonesia adalah pasukan Inggris, bukan pasukan Amerika Serikat, China atau Sovyet yang juga menang dalam Perang Dunia II, para pendiri bangsa kudu berpikir keras. Intelijen Amerika Serikat sudah mengetahui, betapa dalam proses perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, terdapat bantuan (aktif) dari pihak Jepang. Supaya tidak menjadi bulan-bulanan, model sistem presidensial yang diadopsi dalam konstitusi, segera diubah menjadi sistem parlementer. Sistem parlementer dipakai oleh Inggris dalam memenangkan perang.
Tanpa sandaran kuat dalam konstitusi, terbentuk Kabinet Sjahrir Pertama (14 November 1945 – 12 Maret 1946). Sutan Sjahrir ditunjuk menjadi Perdana Menteri. Kekuasaan pemerintahan, diambil alih dari tangan Presiden Sukarno. Keadaan ini berlangsung hingga Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959.
Apa yang mau saya sampaikan?
Bahkan dalam keadaan genting seperti perang kemerdekaan, bahkan dua puluh tahun setelah itu, partai-partai politik tetap mengajukan orang-orangnya dalam tubuh pemerintahan. Kampanye tentu saja terus-menerus terjadi, setiap hari. Bedanya dengan sekarang, sejak berdiri, partai-partai politik memiliki koran-koran partai atau koran-koran yang berafiliasi dengan partai. Sekalipun pemilu baru digelar tahun 1955, pertarungan ideologi, program, hingga strategi pembangunan, terjadi setiap hari lewat pilihan berita dalam koran-koran itu.
Baca juga: Persekutuan Jonker Palakka Syech Burhanuddin
Kaum inteligensia itu menulis dalam halaman-halaman koran dimaksud. Contoh, salah satu koran itu dimiliki dan diterbitkan oleh Raden Didi Sukardi dengan nama “Oetoesan Indonesia”. Dalam halaman koran inilah, Mohammad Hatta dan Haji Agus Salim, misalnya, menulis. Raden Didi Sukardi tercatat sebagai Generasi Perintis Kemerdekaan. Airlangga Hartarto adalah cucu kandung dari Raden Didi Sukardi ini.
Puan Maharani adalah cucu dari Sukarno. Sejak muda, Sukarno rajin menulis dalam berbagai halaman koran. Berbeda dengan Raden Didi Sukardi yang mencarikan honor buat menerbitkan koran dan membayar para penulis, tokoh-tokoh pendiri bangsa Indonesia seperti Hatta, Agus Salim, dan Sukarno, justru mendapatkan honor dari menulis.
Airlangga dan Puan menjadi generasi ketiga, dalam garis pergerakan politik (kepartaian) moderen di Indonesia. Muhaimin Iskandar lebih muda lagi, generasi keempat dalam keluarga besar Hasyim Asyari. Muhaimin adalah ponakan dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur cucu dari Hasyim Asyari dari Wahid Hasyim.
Sekalipun Puan berdarah Minangkabau dari Ibu Fatmawati, dalam lanskap politik, Muhaimin lebih berwatak ke-Minang-an. Tradisi politik di Minang, bukan dari ayah turun ke anak, tetapi dari paman (mamak) turun ke keponakan. Agus Salim dan Tan Malaka bersuku Piliang. Keponakan dari keduanya, Indra J Piliang. Sebab, ayah kandung Indra J Piliang bernama Boestami Datuk Nan Sati bersuku Koto. Trah politik Boestami, turun ke Chandra Faisal Koto yang dalam pemilu kemaren menjadi fungsionaris Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto.
Puan Maharani bertapak di Bengkulu.
Muhaimin Iskandar berasal dari Jombang.
Airlangga Hartarto berhulu di lereng Gunung Lawu.
Cukup di sini saya tulis dulu.
Sebelum azan Jum’at berkumandang.
Tunggu lanjutan di lain waktu.
*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara