Channel9.id-Jakarta. Sejarawan Bonnie Triyana menyebut diskusi soal Pancasila makin meluas seiring terbukanya ruang demokratisasi dan hadirnya media sosial.
Namun demikian, Bonnie mengatakan tantangan Pancasila saat ini adalah memeras nilai-nilai etiknya sehingga bisa dijalankan secara aplikatif. Dalam sebuah tata kelola pemerintah, menurut Bonnie, Pancasila pun harus tercermin dalam sebuah kebijakan sehingga penyelenggara negara bisa menjalankan fungsinya untuk memenuhi kehendak kepentingan publik secara luas.
“Bagaimana mengaplikasikan Pancasila yang kata orang Jawa bilang ‘ndaki-ndaki’ ke level praktis terutama sekali bagi aparatur sipil negara dan lebih luas ke penyelenggara negara. Sehingga Pancasila dirasakan bukan sekadar gincu hanya kelihatan, tapi sebagai garam yang dirasakan,” ujarnya dalam “Dialog Kebangsaan Pancasila sebagai Nilai Etika dalam Pemerintahan”, Selasa (31/8).
Lebih lanjut, Bonnie menyampaikan di era yang demokratis ini negara semakin dituntut memberikan service kepada publik. Menurut dia, harus dikui Pancasilalah yang menghindarkan kita bernasib sama seperti di negeri Balkan atau ada proses Balkanisasi pasca reformasi.
Baca juga: Bonnie Triyana: Narasi Sejarah Kerap Bawa Ujaran Kebencian
“Tantangannya bagaimana kita memeras mengambil nilai-nilai etik Pancasila yang kemudian dijalankan secara aplikatif. Kita tahu bahwa etika dalam arti luas adalah ilmu yang membahas kriteria yang baik dan buruk. Nah bagaimana mengaplikasikan etika Pancasila ini ke dalam sebuah kebijakan, tata Kelola pemerintahan,” jelas Pemimpin Redaksi Historia itu.
Dikatakannya, sejak digali oleh Soekarno dan dipidatokan pada 1 Juni 1945, Pancasila kerap mengalami pasang surut karena selalu ada eksperimentasi setiap periode pemerintahan.
Dalam pengaplikasian Pancasila, ujar Bonnie, tak lepas dari masalah lantaran Indonesia adalah negara bekas jajahan.
“Indonesia pasca kolonial paling tidak mewarisi cara-cara yang tidak lepas dari pengaruh kolonialisme itu sendiri. Negara menjadi birokratik yang tumbuh dari masa kolonial dari kelas aristokrasi, feodal yang dipelihara oleh kolonialisme. Kemudian diintegrasikan dalam satu struktur pemerintahan Hindia Belanda. Paling tidak mewarisi cara-cara mengelola sebuah pemerintahan yang feodalistik,” ungkapnya.
IG