Opini

Ahok Biasa Lawan Mafia, Cocok Jadi Dirut PLN atau Pertamina

Oleh: Ferdy Hasiman*

Channel9.id-Jakarta. Mantan gubernur DKI-Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa membantu beban kerja pemerintah di sektor energi dengan mengisi posisi Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina (Persero) yang masih kosong. Di PLN misalnya, Dirut, Sripeni Inten Cahyani hanya sebagai Plt, menggantikan Sofyan Baasyir karena terindikasi kasus korupsi PLTU Riau. Dua perusahaan ini memiliki tantangan besar, baik dari sisi finansial maupun tata kelolah korporasi. Dua korporasi ini juga menjadi sarang mafia mulai dari mafia migas sampai mafia proyek. Di DKI-Jakarta, Ahok sudah biasa berhadapan dengan mafia mulai dari korporasi, birokrat nakal dan politisi yang memanipulasi APBD. PLN dan Pertamina juga menjadi sarang bercokol mafia mulai dari internal perusahaan, korporasi swasta-asing sampai politisi, karena proyek-proyeknya menggiurkan, berangka jumbo di atas 1 miliar dolar.

Ahok juga dibutuhkan di PLN agar memperbaiki kinerja keuangan PLN yang memiliki rasio utang cukup tinggi dan mencemaskan. Per tahun 2019, total utang PLN mencapai Rp 604.5 trilun dan total aset mencapai Rp mencapai Rp 1.537.923 triliun. (Baca: Annual Report PLN: 2019) Utang PLN yang menggunung tidak lepas dari kinerja masa lalu PLN yang tak becus dan juga sebagai risiko dari kebijakan populis pemerintah Jokowi yang ingin meningkatkatkan rasio elektrifikasi (tingkat rumah tanggga penikmat listrik). Ekspansi bisnis PLN untuk mendorong mega proyek besar tentu membebani PLn secara korporasi. Pemerintah juga telah memutuskan melakukan reimburs (mengembalikan) Biaya Produksi Listrik (BPP) untuk beberapa kategori pelanggan yang tarifnya di bawah BPP, tetapi belum dihitung sebagai subsidi. Ini sebenarnya bentuk lain dari subsidi. Tahun 2018 mencapai Rp 23.17 triliun dan tahun 2019, subsidi listrik lebih tinggi mencapai Rp27.16 triliun. Ini membutuhkan seorang pemimpin yang cermat yang membuat PLN bisa mendapat profit sekaligus mampu melayani masyarakat (Public Service Offering/PSO).

Jauh lebih tepat lagi jika Ahok menjadi Direktur Utama PLN, karena dia bersih, bernyali, memiliki integritas dan kemampuan mengolah keuangan. PLN itu memiliki masalah bawaan di keuangan dan hampir semua Dirut PLN selama ini mengakhiri jabatannya karena korupsi. Beberapa Direktur Utama PLN sebelumnya boleh dikatakan cukup andal dan terkesan memiliki reputasi bagus, jatuh juga dalam korupsi. Angkat saja nama Nur Pamudji dan Dahlan Iskan memiliki reputasi bagus, tetapi terperangkap korupsi. Dari beberapa Dirut PLN mulai dari Dahlan Iskan Pada Jaman SBY, Nur Pamudji (SBY) sampai Sofyan Baasyir, hanya mampu mengemban tugas di perusahaan listrik negara tidak lebih dari 3 tahun.

Ahok adalah figur tepat mengisi pos kosong di PLN. Ahok sudah teruji melawan mafia APBD, mafia proyek dan korporasi selama memimpin DKI-Jakarta. Ahok juga sudah teruji mengolah birokrasi, memiliki perhitungan-perhitungan sangat tepat dalam menentukan sebuah proyek. Ahok diharapkan mampu membantu pemerintah Jokowi di PLN, karena pemerintah Jokowi memiliki target ambisius dengan program listrik 35.000 MW yang sampai saat ini baru mencapai 25 persen. Di PLN, Ahok akan berhadapan dengan korporasi-korporasi skala besar global-lokal, seperti Pertamina, Sojitz Corporation (Jepang) di PLTG Jawa (1760 MW) dan investasi sebesar 1,8 miliar dollar.

Akibat korupsi yang melibatkan Dirut-dirut PLN dan korporasi di sektor kelistrikan selama ini, banyak proyek kelistrikan 35.000 MW tertunda dan tak bisa berjalan. Padahal, Jokowi memiliki program ambisius meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menuju program hilirisasi dan nilai tambah produk-produk dalam negeri mulai dari pabrik smelter di tambang mineral, sampai sektor industri yang semuanya membutuhkan listrik yang cukup tinggi.

Ahok juga bisa membantu pemerintah Jokowi menjadi Dirut Pertamina.  Sumber defisit terbesar pemerintah Jokowi selama periode pertama disumbangkan dari sektor energi. Alasannya sangat jelas. Produksi minyak dan gas nasional turun tajam sebesar 750.000 Barrel Oil Per Day (BOPD) dan Pertamina harus mengimpor migas sebesar 800.000 BPOD untuk memenuhi kebutuhan domestik yang mencapai 1,6 juta BOPD. Sebelum Pertamina Energi Trading (Petral) di likuidasi pemerintah Jokowi 2015. Impor migas yang mencapai 800.000 BPOD itu menjadi minyak pelumas untuk korupsi bagi mafia migas yang jaringannya menyebar mulai dari Pertamina, BUMN, politisi sampai istana. Risikonya, APBN kita mengalami defisit. Selama periode pertama pemerintah Jokowi, defisit APBN dari sektor energi saja mencapai 49 persen.

 Untuk Liquified Natural Gas (LPG) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja, Indonesia harus mengimpor sebesar 70 persen dari kebutuhan LPG nasional dari Timur Tengah.  Sangatlah bagus jika Ahok membantu pemerintah Jokowi di Pertamina. Pertamina juga harus menyelesaikan pembangunan kilang-kilang migas yang sudah ada programnya sejak tahun 2014, namun belum bisa dijalankan sampai sekarang, karena ketiadaan mitra bisnis. Risikonya, kita terus tertekan karena impor migas tinggi.

Pertamina sekarang diharapkan mampu meningkatkan produksi minyak nasional dengan cara mencari lapangan-lapangan migas baru dan melakukan ekspansi pembelian blok-blok migas ke luar negeri.

Peneliti Alpha Resarch Database, Indonesia & Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  6  =  8