Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Sungguh mengagetkan terjadi barusan di tahun 2021 ini, yaitu kasus bom bunuh diri di gereja Kathedral Makasar yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang masih belia. Belum reda gegeran itu menyusul seorang prempuan yang masih di usia ranum melakukan penyusupan ke Mabes Polri Jakarta dengan membawa softgun melakukan penembakan terhadap polisi. Zakiah Aini, perempuan pelaku teror itu telah ‘menuai’ citanya untuk mati yang dicitakannya.
Sebelum-sebelumnya, kita diingatkan kembali peristiwa teror di Surabaya yang dilakukan sekeluarga. Pelakunya Dita Oepiarto, istri dan keempat anaknya meledakkan bom di tiga gereja. Mereka adalah Puji Kuswati isterinya, 2 anak perempuannya yaitu Fadilah Sari dan Pamela Riskika, dan dua putra Dita yang bernama Yusuf Fadil berusia 18 tahun dan Firman Halim berumur 16 tahun.
Sementara Anton Febrianto adalah pemilik bom yang meledak di Rusun Wonocolo, Kecamatan Taman Sidoarjo. Dalam ledakan itu, Puspitasari, istrinya, dan anak pertamanya tewas. Sedangkan anak ketiga dan keempatnya luka parah.
Dalam kasus pada diri pelaku bom gereja di Surabaya itu disebut-sebut dari hasil indoktrinasi. Hasil indoktrinasi itu sangat mencengangkan hingga membuat sekeluarga ‘lupa daratan’ dan mau mempertaruhkan dirinya bersama anak dan istrinya untuk menjadi ‘pengantin’. Sang ideolog itu bernama Cholid Abu Bakar yang menjadi mentor mengaji para bomber Surabaya. Ia sesungguhnya bukan orang baru meski jarang terdengar. Ia sosok senior, dan perannya bukannya tak penting meski namanya tak muncul dalam struktur apa pun di JAD.
Seperti Aman Abdurrahman, Cholid Abu Bakar adalah ideolog. Otak dari ideologi radikal yang menyusup dan mengental di kepala keluarga Dita, Anton, dan Tri. Ia amat mungkin mastermind di balik teror Surabaya. Dia dulu simpatisan JI, lalu beberapa tahun terakhir ‘mengeras’ menjadi pro-ISIS, dan berangkat ke Suriah. Berhasil masuk Suriah selama 1,5 tahun, baru pulang ke Indonesia tahun 2017. Peristiwa sebelumnya adalah penangkapan dua wanita calon pelaku bom bunuh diri di Jakarta pada Desember 2016.
Sementara pada kasus pelaku teror di Kathedral Makasar dan terutama Zakiah Aini disebut sebagai pelaku dalam kategori ‘lone wolf’ yang teradikalisasi lebih akibat internet. Menariknya, kedua pelaku tersebut memiliki kesamaan yaitu menulis surat perpisahan untuk keluarganya.
Dari senarai kejadian teror yang melibatkan perempuan itu tersebut menyingkapkan bahwa peran perempuan dalam pusaran terorisme tidak bisa dilihat sebelah mata. Bahkan mulai menanjak perannya sebagai pelaku tunggal. Penelitian survei tahun 2020 yang saya ikut terlibat sebagai peneliti di dalamnya, juga menunjukkan perempuan memiliki skor radikalisme yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Jejak di Medan Teror
Perempuan terjun menjadi teroris memang bukan fakta baru. Pada Abad 18, perempuan sudah muncul sebagai pelaku aktif terorisme seperti di Rusia saat melawan Tsar Rusia. Di Palestina juga demikian. “Kalian adalah laskar mawarku yang akan meluluhlantakkan tank-tank Israel,” seru Yasser Arafat pada pagi 27 Januari 2002. Sore harinya, untuk pertama kalinya seorang perempuan melakukan aksi bom bunuh diri. Dalam derita penjajahan Israel, telah lama perempuan Palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Peran perempuan Palestina ditengah kuatnya budaya patriarkhi justru dipandang menjadi setara ketika perempuan terjun dalam jihad diawali dengan gerakan intifada.
Seperti dikatakan Zahira Kamal, feminis Palestina yang menyebut partisipasi kaum perempuan dalam intifada sebagai satu langkah maju dalam membangun masyarakat demokratis yang didalamnya ada kesetaraan dengan kaum pria (Barbara Victor; 2008). Di Irlandia saat konflik IRA dengan Inggris, banyak kaum perempuan yang terlibat dalam aksi terorr. Di Chechnya mulai tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri seiring dengan kematian suami-suami mereka. Boko Haram di Nigeria juga menjadikan perempuan sebagai bomber yang dipandang efektif karena mudah untuk mengelabui keamanan.
Di Indonesia kurang lebih selama rentang waktu 2015-2016, kita telah melihat perempuan ditangkap atau diidentifikasi dalam beberapa jenis peran aktif: Empat perempuan ditangkap, yaitu Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari alias Tasnima Salsabila, keduanya mantan pekerja rumah tangga di luar negeri, karena menjadi sukarelawan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri, pertama di Jakarta, yang kedua dilaporkan di Bali. Lalu Tutin Sugiarti, seorang pedagang obat herbal dan ahli terapi pengobatan Islam, untuk memfasilitasi pengenalan Dian kepada para pemimpin sel pro-ISIS dan untuk mendirikan sebuah badan amal pro-ISIS yang disebut Dapur Umahat Aser (Dapur Para Istri Para Tahanan) serta Arida Putri Maharani karena membantu suaminya membuat bom. Ada lagi Tini Susanti Kaduku dan Jumitif alias Ummi Delima ditangkap sebagai pejuang bersenjata dengan suami mereka di Mujahidin Indonesia Timur (Mujahidin Indonesia Timur, MIT). Ada pula Aisyah Lina Kamelya menciptakan Baqiyah United Group (BUG), saluran pro-ISIS internasional pada aplikasi media sosial Telegram. Keanggotaan termasuk orang India, Kenya dan Libya.
Fakta ini tampaknya menambah daftar panjang perempuan yang sudah menjalani hukuman atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia, antara lain Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih, Munfiatun, Rasidah binti Subari alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen Luceno, Nurul Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.
Fakta ini sekaligus menunjukkan keinginan wanita Indonesia untuk peran yang lebih aktif dalam terorisme. Fakta ini sekaligus bukti cerminan dari kelemahan gerakan pro-ISIS bahwa pemimpin laki-laki lebih berkewajiban untuk mewajibkan mereka daripada di masa lalu. Namun nyatanya inisiatif tersebut datang dari para perempuan.
Ketertarikan perempuan Indonesia yang semakin meningkat untuk mengorganisir kelompok-kelompok media sosial, mendirikan badan amal pengumpulan dana dan menyediakan berbagai bentuk dukungan logistik untuk gerakan pro-ISIS menunjukkan bahwa ini bukan hanya laki-laki yang mengeksploitasi perempuan yang rentan, tetapi melibatkan perempuan yang bersemangat untuk diakui sebagai pejuang. Evolusi peran wanita ini meningkatkan risiko terorisme yang semakin ada ‘kesetaraan gender’ .
Peningkatan aktivisme terkait dengan kebangkitan Negara Islam di Irak di Suriah (ISIS) dan daya tarik kekhalifahan sebagai negara Islam “murni”, tetapi juga kemampuan perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari kecanggihan media sosial yang semakin meningkat. Wanita dapat mengambil bagian dalam forum diskusi radikal, bertemu pria, membaca propaganda ISIS, mengungkapkan aspirasi mereka dan menemukan teman-teman yang berpikiran sama semua di ruang yang relatif aman dari pesan yang terdeteksi.
Empat subhimpunan ekstremis perempuan Indonesia telah muncul, dua aktif, satu berpotensi aktif dan satu sementara dibongkar. Yang pertama terdiri dari pekerja migran Indonesia di luar negeri di Asia Timur dan Timur Tengah yang mungkin memiliki kepercayaan diri yang lebih, lebih dari pandangan internasional, kemampuan bahasa Inggris atau Arab yang lebih baik dan keahlian komputer yang lebih baik daripada banyak rekan-rekan mereka yang tinggal di rumah. Karena orang asing yang dicopot di negara baru, mereka juga mungkin memiliki minat khusus dalam membangun komunitas baru di tempat mereka bekerja. Radikalisme laki-laki tampaknya melihat mereka lebih sinis sebagai sumber uang, tetapi itu menjadikan mereka target khusus untuk rekrutmen dan permohonan sumbangan.
Kelompok kedua terdiri dari wanita Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah sebagai bagian dari unit keluarga. Memang sangat sedikit wanita lajang yang mencoba untuk pergi sendiri ke Suriah. Dengan semakin banyak orang Indonesia terbunuh dan banyak dari gadis-gadis yang mencapai usia nikah, kemungkinan meningkatnya lebih banyak perkawinan antara janda Indonesia dan wanita muda dengan pejuang asing dari luar Asia Tenggara. Pejuang Indonesia yang telah pergi sebagai bujangan juga menikahi wanita lokal. Internasionalisasi jaringan teroris ini bisa memusingkan bagi pasukan keamanan di seluruh dunia di tahun-tahun mendatang.
Kelompok aktivis potensial ketiga adalah perempuan yang dideportasi. Ini adalah perempuan yang mencoba menyeberangi perbatasan Turki untuk bergabung dengan suami atau anggota keluarga lainnya atau yang datang dalam unit keluarga tetapi ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah Turki. Mereka tidak dipantau secara sistematis dan juga tidak ada program untuk membantu reintegrasi mereka, tetapi dalam banyak kasus mereka memainkan peran ekonomi aktif di komunitas mereka sebelum keberangkatan. Mereka cukup radikal untuk ingin pergi; dan mereka mungkin frustrasi karena tidak mencapai tujuan mereka.
Ada pula para kombatan perempuan dari MIT di Poso. MIT, dari kemunculannya pada tahun 2013 hingga kematian pemimpinnya yaitu Santoso pada Juli 2016, adalah yang paling dekat dengan organisasi manapun yang telah datang dalam beberapa tahun terakhir menjadi jihadis di Poso. Para istri dilatih untuk menggunakan senjata api dan bahan peledak. Mereka sebenarnya lebih sebagai strategi bertahan hidup daripada sebagai taktik yang disengaja untuk mengecoh musuh (pasukan keamanan Indonesia).
MIT telah dibongkar sebagian besar melalui operasi gabungan polisi-militer. Walaupun begitu bahaya jaringan radikal yang muncul kembali di Poso masih cukup tinggi. Keterlibatan para perempuan dapat menandakan keinginan yang lebih besar dari kelompok-kelompok ekstremis dalam kondisi tertentu untuk menyertakan perempuan dalam pelatihan di masa depan. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia jauh dari sendirian dalam melihat peran yang lebih besar bagi perempuan dalam radikalisme.
Tipologi Keterlibatan
Peran sebagai pendukung tidak langsung adalah mereka yang mendukung jaringan ISIS namun tidak ikut terlibat dalam aktivitas terorisme. Posisi ini ditempati perempuan-perempuan yang memberikan dukungan secara finansial, material, dan sikap sosial. Dalam posisi pertama ini banyak diisi oleh simpatisan-simpatisan ISIS. Simpatisan perempuan ISIS dari Indonesia beberapa diantaranya memang tidak memiliki peran khusus dalam kelompok dan juga tidak banyak diketahui publik karena mereka bergerak pada forum-forum diskusi atau hanya sekedar memberikan dukungan pribadi.
Posisi kedua yang dapat diisi oleh perempuan dalam kelompok terorisme adalah sebagai pendukung langsung yang terlibat aktivitas terorisme, namun bukan pelaku bom bunuh diri. Pada posisi ini ditempati beberapa perempuan diantaranya Umi Delima, Rosmawati, dan Tini Susanti yang tergabung aktif kedalam kelompok MIT pimpinan Santoso. Perempuan lainnya yaitu Tutin Sugiarti dan Arinda Putri Maharani dari jaringan ISIS Bahrun Naim melalui Solihin (IPAC: 2017).
Perempuan dalam kelompok MIT banyak dilibatkan secara langsung dalam aktivitas kelompoknya. Umi Delima yaitu istri kedua dari Santoso bahkan dilibatkan dalam camp pelatihan di gunung biru dan juga ikut serta menjadi bagian dalam aksi baku tembak antara kelompok MIT dengan aparat.
Perempuan selanjutnya yaitu Tini Susanti yang juga merupakan istri dari Ali Kalora salah satu pimpinan dalam kelompok MIT yang menggantikan Santoso. Sama halnya dengan Umi Delima, Tini Susanti juga terlibat dalam camp pelatihan gunung biru. Peran lain ditujukan oleh Rosmawati, Ia menjadi perantara penerimaan uang via rekening yang kemudian ia salurkan pada istri–istri teroris dan martir serta untuk membeli logistik persediaan kelompok.
Perempuan yang berperan sebagai pendukung langsung dan terlibat aktif dalam jaringan ISIS juga ditunjukan oleh perempuan dari kelompok Solihin yaitu jaringan ISIS dari Bahrun Naim. Tutin Sugiarti merupakan perempuan yang menempati posisi sebagai perekrut (recruiter). Tutin Sugiarti merupakan seorang yang telah merekrut Dian untuk dihubungkan dengan kelompok Pro ISIS pimpinan Bahrun naim. Tutin menjadi orang yang mengenalkan Dian kepada Solihin sebelum Dian dinikahi oleh Solihin dan melakukan misi menjadi martir bom bunuh diri.
Perempuan selanjutnya yaitu Arinda Putri Maharani, yaitu istri pertama Solihin yang ditangkap karena menjadi fasilitator penerimaan uang perakitan bom dan juga karena ia mengetahui bahan peledak dan lokasi perakitan bom tersebut.
Posisi ketiga yaitu sebagai pelaku bom bunuh diri. Tipologi peran perempuan sebagai martir bom pada posisi ini sebagai posisi khusus tersendiri. Posisi ini merupakan posisi yang sangat penting, namun dengan resiko pengambilan keputusan yang tinggi.
Posisi pelaku bom bunuh diri pada kasus jaringan terorisme ISIS di Indonesia diisi oleh Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Meskipun mereka berdua masih dalam tahap perencanaan, namun keduanya adalah perempuan yang sudah diputuskan sebagai calon pengantin bom bunuh diri. Dian adalah calon pelaku bom bunuh diri yang akan diledakkan di Istana Negara sedangkan Ika Puspitasari adalah calon martir yang akan diledakkan di Bali (IPAC:2017). Keduanya—seperti disimpulkan oleh Victorof dalam The Mind of Terrorist (2005)–meskipun memiliki peran yang vital dan beresiko, namun mereka menempati level yang rendah, yaitu sebagai follower dengan posisi sebagai foot soldier. Hal ini terjadi karena posisi ini adalah posisi yang diisi oleh anggota-anggota yang memiliki kemauan besar namun tidak banyak memiliki peran penting lainnya di kelompok.
Posisi keempat yaitu peran sebagai pemimpin kelompok. posisi ini adalah posisi yang menempatkan seseorang pada resiko pemenjaraan bahkan kematian. Posisi ini adalah posisi pimpinan dalam sebuah kelompok terorisme yang memiliki kewenangan untuk memilih orang lain untuk dilibatkan dalam setiap aktivitas terorisme. Dalam hal ini bisa dimasukkan Aisyah Lina Kamelya kedalam kategori perempuan yang memiliki peran sebagai pemimpin dalam kelompok. Ia dikategorikan sebagai pemimpin atas inisiatifnya membangun Baqiyah United Group (BUG) yaitu sebuah group dalam jejaring sosial telegram yang memfasilitasi para perempuan untuk ikut dalam jihad pro ISIS. BUG berfungsi merekrut orang–orang ISIS dan juga melakukan penggalangan dana dari simpatisan untuk mendukung setiap aktivitas jaringan ISIS termasuk biaya untuk pergi ke Daulah Islamiyah.
Hingga sekarang secara posisi memang belum ditemukan kalau perempuan Indonesia berada di level pemimpin dalam jaringan ISIS di Indonesia. Hal ini bisa dipastikan oleh karena belum banyak perempuan Indonesia yang memiliki sikap berani memutuskan diri sendiri untuk mengambil resiko dengan memasuki wilayah terorisme lebih jauh. Termasuk untuk mengendalikan jaringan terorisme dengan menjadi pemimpin.
Jalan Menuju Jihadis
Laporan IPAC 31 Januari 2017 mencatat bagaimana dorongan perempuan bisa masuk dalam jaringan radikal dan bahkan siap melakukan aksi terorisme. Ada beberapa faktor dan cara, yaitu;
Pertama, lewat perkawinan. Peran utama wanita, seperti ditekankan berulang kali melalui publikasi Jamaah Islamiyah (JI), adalah keibuan, dan pernikahan menjadi lembaga kritis. Tidak hanya untuk memastikan produksi mujahidin kecil, tetapi untuk melindungi organisasi dan memperluas jaringan. Perempuan sangat penting untuk membangun aliansi.
Kedua, faktor ekonomi. Banyak wanita juga mengambil kegiatan yang menghasilkan pendapatan untuk mendukung keluarga mereka. Wanita Asia Tenggara selalu memiliki peran ekonomi yang kuat. Kontribusi mereka dalam keluarga jihadis menjadi sangat penting karena para lelaki sering berpindah-pindah dan tidak selalu memiliki sumber pendapatan yang stabil. Perempuan umumnya bekerja sebagai pedagang kecil, guru atau ahli terapi herbal.
Mereka yang bekerja di luar rumah pada umumnya tidak mengenakan cadar sehingga mereka dapat lebih mudah berbaur dan menarik pelanggan. Seorang wanita, istri dari mantan anggota JI yang bertempur di Afghanistan dan Ambon, yang mengajar di sekolah terkenal JI, menjelaskan bahwa wanita harus mandiri secara ekonomi. Meskipun idealnya dalam Islam, laki-laki harus menjadi satu-satunya andalan, mereka tidak selalu sesuai dengan tugasnya. Dia mengatakan dia juga sadar bahwa suaminya melakukan pekerjaan yang luar biasa berbahaya sehingga dia harus memiliki sumber penghasilan alternatif. Prinsipnya; “Itu risiko menjadi istri seorang mujahid.”
Beberapa wanita telah mengembangkan bisnis sukses yang memberikan kontribusi bagi kelancaran adanya sebab-sebab radikalisme. Pada tahun 2015, menjadi jelas bahwa beberapa wanita Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri juga menjadi penyumbang rutin bagi badan amal Islam yang terkait dengan organisasi radikal.
Ketiga, akibat larangan perempuan berjihad. JI melarang wanita untuk mengambil peran aktif dalam pertempuran kecuali dalam kondisi darurat yang ekstrem. Tidak ada wanita Indonesia yang pergi ke Afghanistan tidak seperti kebanyakan orang yang pergi ke Suriah. Beberapa perempuan JI yang mendampingi suami mereka ke Mindanao, melarikan diri dari polisi setelah pemboman Bali 2002, tidak mengambil bagian dalam operasi teroris (meskipun beberapa wanita Filipina melakukannya) dan tidak termasuk dalam program pelatihan militer. Pada puncak konflik sektarian di Ambon dan Poso (1999-2001), JI melarang perempuan mengambil bagian.
Pejuang JI, kebanyakan dari Jawa, umumnya meninggalkan keluarga mereka. Beberapa wanita yang mengikuti suami mereka biasanya tinggal di rumah persembunyian. Pekerjaan utama mereka adalah merawat anak-anak, memasak, dan mengajar wanita lokal tentang agama. Di Poso, seorang wanita lokal bernama Ina, yang menikah dengan salah satu pejuang, menuntut untuk diizinkan berkelahi. Ketika suaminya melarangnya, dia marah dan berkata, “Mengapa kamu tidak tinggal di rumah dengan anak-anak saat itu, dan biarkan aku pergi berperang!” Dia membentuk brigade wanita lokalnya sendiri dan meminta kelompok jihadis non-JI untuk melatihnya, karena teman-teman JI-nya menolak melakukannya.
Para perempuan menerima pelatihan fisik dan senjata, tetapi bukan instruksi membuat bom. Meskipun di Ambon, beberapa wanita lokal menggunakan bom untuk memancing lalu mengubah keterampilan mereka untuk menjadikan mereka sebagai senjata. Brigade Ina pergi bersama dengan pejuang pria untuk menyerang desa-desa Kristen. Sebagian besar perempuan ditempatkan di belakang, membawa persediaan makanan dan merawat yang terluka, kecuali Ina yang selalu berada di garis depan dengan parangnya. Setelah pertempuran komunal mereda dan kedua wilayah itu ditinggalkan dengan organisasi-organisasi ekstremis Islam, jihad kembali menjadi tugas laki-laki hingga kombatan perempuan muncul kembali di Poso.
Apa yang Mesti Dilakukan?
Para pemimpin organisasi jihad masih melihat peran ideal wanita sebagai “singa betina” yang tinggal di rumah dan menghasilkan “anak-anak”. Namun, seiring kebutuhan, mereka membawa wanita ke dalam pertempuran, termasuk operasi bunuh diri. Hal ini juga lantaran adanya tekanan pada kelompok dari operasi kontra-terorisme telah secara drastis mengurangi jumlah rekrutmen.
Ketika ada persepsi peningkatan ancaman dan ketika wanita dapat memberikan elemen taktis kejutan terutama ketika mereka terlihat kurang cenderung dicurigai daripada pria. Contoh yang jelas adalah Bahrun Naim yang beralasan untuk memberitahu para pengikutnya untuk mencari wanita pelaku bom bunuh diri.
Nah, pembongkaran tentang perempuan di lingkar terorisme menunjukkan adanya evolusi peran perempuan. Awalnya perempuan hanya di belakang layar, mengurus suami dan anak atau hanya ikut mengelola logistik lalu maju selangkah membentuk laskar kemudian berpuncak menjadi ‘pengantin’.
Lalu apa yang harus dilakukan? Penelitian tentang wanita pro-ISIS terasa lebih mendesak untuk memahami motivasi dan aspirasi mereka dan bagaimana mereka dapat disalurkan lebih produktif. Akan sangat penting untuk memperoleh informasi tentang lingkaran teman-teman perempuan-perempuan yang hijrah sehingga target populasi untuk program-program disengagement dapat diidentifikasi. Program-program ini mungkin melibatkan kegiatan sosial, literasi, pendidikan dan ekonomi yang dirancang agar terhindar dari jaringan baru. Ada sejumlah inisiatif lokal kecil yang dapat direplikasi. Disinilah perlunya semua pihak untuk bergerak mewujudkan tindakan demi menyelamatkan generasi anak bangsa dari bujuk rayu radikalisme.
Penulis adalah Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku).