Channel9.id – Jakarta. Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo membeberkan duduk perkara kasus dugaan tindak pidana kepabeanan emas batangan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang mencapai Rp189 triliun.
Kronologi itu diungkapkan Yustinus melalui unggahan di akun Twitternya @prastow. Unggahan itu sekaligus merespons cuitan akun Twitter Partai Socmed mengenai kasus tersebut.
Sebelumnya, Partai Socmed mengatakan kasus tindak pidana impor emas batangan itu sangat sederhana dan seharusnya mudah diungkap. Tetapi, dibuat seolah menjadi rumit, berdasarkan pernyataan-pernyataan pejabat di Kemenkeu.
Yustinus pun menjelaskan bahwa persoalan di DJBC tersebut bermula pada 2016. Saat itu, KPU Bea Cukai Soekarno-Hatta (Soetta) melakukan penindakan atas eksplorasi emas melalui kargo yang dilakukan oleh PT Q yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyidikan di bidang kepabeanan.
PT Q melakukan submit dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan pemberitahuan sebagai Scrap Jewellery.
Namun, petugas KPU BC Soetta melihat adanya kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan X-Ray, sehingga diterbitkan Nota Hasil Intelijen (NHI) untuk mencegah pemuatan barang.
Kemudian, saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor, ditemukan emas batangan (ingot), alias tidak sesuai dengan dokumen PEB.
“Saat dilakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor disaksikan oleh PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) dan perusahaan security transporter (DEF), ditemukan emas batangan (ingot) alias tidak sesuai dokumen PEB. Bahkan seharusnya ada persetujuan ekspor dari Kemendag (Kementerian Perdagangan),” tulis Yustinus dalam cuitannya, dikutip Jumat (7/4/2023).
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, setiap kemasan disisipkan emas berbentuk gelang dalam jumlah kecil untuk mengelabui x-ray, sehingga seolah yang akan diekspor adalah perhiasan.
Sebelum adanya temuan pada 2016 tersebut, Yustinus mengatakan PT Q pernah mengajukan permohonan SKB (pembebasan) PPh Pasal 22 Impor (DPP senilai Rp 7 triliun) pada 2015. Namun, Ditjen Pajak menolaknya karena wajib pajak tidak dapat memberikan data yang menunjukkan impor tersebut menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor.
Menurutnya, penyamaran emas tersebut merupakan modus PT Q yang mengaku sebagai produsen Gold Jewelry tujuan ekspor untuk mendapat fasilitas tidak dipungut PPh Pasal 22 Impor emas batangan yang seharusnya 2,5 persen dari nilai impor. Aturan ini termaktub di dalam Pasal 3 PMK No.107/PMK.010/2015.
“Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor lah yang menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanan oleh PT Q. Dan tentu penyidikan yang dilakukan menyeluruh hingga tahapan impor. Itulah duduk perkara secara kronologis,” ungkap Yustinus.
Setelah dinyatakan penyidikan sudah lengkap atau P21, PT Q terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, perkara tersebut tidak dinyatakan sebagai tindak pidana.
Ia melanjutkan, DJBC kemudian mengajukan kasasi dan PT Q terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Namun, PT Q mengajukan peninjauan kembali (PK) yang menyataan PT Q terbukti melakukan perbuatan didakwakan tetapi bukan tindak pidana.
Sejalan dengan penanganan PT Q tersebut, Kemenkeu dan PPATK berkoordinasi dengan pemeriksaan atas entitas PT Q oleh PPATK dan penelitian administrasi kepabeanan oleh DJBC serta penelitian administrasi perpajakan oleh DJP. Setelah itu dilakukan penyelidikan dugaan TPPU.
Berdasarkan kasus PT Q serta ditemukannya kesamaan modus, PPATK menyampaikan SR-205/PR.01/V/2020 kepada DJBC berisi IHP atas grup perusahaan yang bergerak di bidang emas dengan total nilai transaksi keuangan (keluar-masuk) sebesar Rp 189,7 triliun.
DJBC kemudian menindaklanjuti SR tersebut, salah satunya dengan analisis kepabeanan (ekspor-impor) dan disimpulkan belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di Bidang Kepabeanan.
“Mempertimbangkan tidak adanya unsur pidana kepabeanan & telah dilakukan penyidikan, divonis, namun kalah di tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka dilakukan optimalisasi melalui tindak lanjut aspek perpajakan melalui surat PPATK nomor SR-595/PR.01/X/2020 yg disampaikan ke DJP,” tutur Prastowo.
Data SR tersebut kemudian dimanfaatkan DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT Q, sehingga WP melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran dan diperoleh pembayaran sebesar Rp1,25 miliar serta berhasil mencegah restitusi LB SPT Tahunan 2016 yang sebelumnya diajukan oleh PT Q sebesar Rp1,58 miliar.
Alhasil, ia menegaskan bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Menteri Keuangan.
“Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan. Termasuk mengenai impor akan kami bahas tuntas,” tegas Prastowo.
Baca juga: Banyak Utang, Pegawai KPK Curi Emas Batangan
Baca juga: Asyik! Harga Emas Antam Naik Rp10.000
HT