Oleh: Erlinda Iswanto
Channel9.id-Jakarta. Peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2019 menyisakan kebahagiaan dan kepedihan yang mendalam. Ini terjadi setelah Presiden RI, sebagai pemegang kebijakan tertinggi, menjalankan hak prerogatifnya dengan memberikan grasi terhadap WN Kanada terpidana kasus kekerasan seksual pada anak di sekolah JIS.
Kebijakan Presiden yang memberikan grasi kepada terpidana Neil Bantleman patut dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia. Presiden pasti memberikan grasi itu atas dasar kepentingan negara. Namun respon Neil Bantleman sungguh tidak patut. Dia malah mengklaim dirinya tidak bersalah, tidak mengakui perbuatannya di media asing CBC.news Canada, serta mengecam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di Indonesia.
Pernyataan Neil Bentleman yang tidak mengakui perbuatannya sangat melukai perjuangan Perlindungan Anak dari kekerasan seksual sekaligus mencoreng pemerintah RI. Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden terhadap terpidana. Ini artinya perbuatan itu telah dilakukan oleh terpidana secara sah dan menyakinkan.
Kehormatan dan marwah hukum di Indonesia telah tercabik di mata internasional akibat penyataan Neil Bantleman. Sayangnya para pegiat Perlindungan Anak dan Hak Asasi Manusia di Indonesia hanya bisa diam dan pasrah.
Suara sumbang terdengar sangat kencang yang menyatakan bahwa ada rekayasa dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (Polda Metro Jaya dan Mabes Polri). Namun apakah masyarakat tahu bagaimana proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri diawasi oleh banyak lembaga Indpenden? Catat saja, yang mengawasi itu antara lain: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembata Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Yudisial, DPR Komisi III, Komisi VIII, DPD RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, P2TP2A, Kementerian Sosial, pemerhati anak Seto Muyadi (Kak Seto), serta Lembaga Non Pemerintah lainnya.
Fakta lain, Kapolri beserta jajaran melakukan paparan didepan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, menjelaskan fakta terkait kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru di JIS. Para korban masih anak-anak, rata-rata berusia 6 tahun, dan masih duduk di Taman Kanak-kanak. Berdasarkan penelusuran, jumlah korban pelecehan lebih banyak dibandingkan dengan korban yang melaporkan. Menurut catatan, terdapat 5 korban yang melapor ke KPAI dan 3 korban melapor ke Mabes atau Polda.
Itu sebabnya, kebijakan grasi kepada terpidana kasus kekerasan seksual di JIS juga mendapat kecaman. Misalnya dari lembaga yang terlibat dalam proses pengawasan kasus tersebut, antara lain LPSK, KPAI dan pemerhati Anak. Penyataan Menkumham yang mengatakan bahwa keputusan grasi berdasarkan asas kemanusiaan, sangat bertolak belakang dengan spiritPerpu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2OO2 Tentang Perlindungan Anak, yang di dalamnya banyak pemberatan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Atas dasar kemanusiaan, sebagai mana dikatakan Menkumham, memberikan luka mendalam kepada korban dan keluarga korban. Para korban dan keluarganya mengalami trauma seumur hidup, gangguan psikis, dan berpotensi melakukan perbuatan buruk seperti pelaku.
Berdasarkan fakta seperti yang dilansir banyak media Internasional dan Nasional, FBI mengatakan ada salah satu guru JIS yang mendapat label predator dan pedofilia. Namanya William Fahe. Dia pernah tercatat sekitar 10 tahun menjadi guru di JIS. Ini berarti ada rekam jejak kejahatan di sana.
William Fahe adalah buronan FBI dan mati bunuh diri pada tahun 2014, di saat akan terjadi penangkapan akibat terbongkar kasus pedofilia yang korbannya hampir ratusan Anak di seluruh dunia. Hasil Riset berbasis data dari tahun 1958 sampai 1974 menyatakan bahwa 42% predator melakukan residivisme atau pengulangan perilaku sehingga dapat disimpulkan bahwa terpidana berpotensi melakukan kejahatannya kembali.
Point penting yang perlu diwaspadai yaitu:
- Arogansi terpidana atau pelaku kekerasan seksual yang masih bersembunyi pada seragam guru sangat berpotensi melakukan tindakan pidana dikarenakan masih mempunyai power atau kekuasaan.
- Orientasi kelainan seksual yang dimiliki oleh terpidana atau pelaku yang sampai saat ini belum ada rehabilitasi sehingga berpotensi melakukan penggulangan kejahatan kekerasan seksual pada anak.
- Masa depan korban khususnya anak menjadi buruk & suram akibat tindakan kejahatan yg dilakukan oleh pelaku akibat kasus ini membuat kehidupan anak korban menjadi korban dari teman teman sekolah karena sering dibully. Trauma yg dialami anak korban membuat kehidupan kejiwaannya menjadi terganggu dan berdampak buruk pada tumbuh kembangnya.
Masihkah tersisa harapan akan ada kado terindah dari Presiden Jokowi? Membatalkan grasi itu? Mudah-mudahan saja begitu. Bukankah beliau sangat berkomitmen terhadap perlindungan anak seperti yang tergambar dalam Nawacita I dan II? Indonesia masih dalam posisi darurat kekerasan seksual terhadap anak, terbukti dengan data yang dirilis oleh Lembaga dan Kementerian Perlindungan Anak.
Mari satukan langkah untuk mengembalikan senyum Anak Indonesia dengan memberikan pemenuhan Hak Anak dan menyelamatkan mereka dari pengaruh buruk yang berpotensi merusak masa depan serta keberlanjutan bangsa Indonesia.
*Penulis adalah Pegiat Hak-hak Anak