Channel9.id – Jakarta. Nara Integritas Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya konflik kepentingan yang diikuti oleh praktik suap sebesar Rp2,5 miliar dalam relasi anggota Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta M. Sanusi dengan sejumlah petinggi perusahaan properti, yaitu PT Muara Wisesa Samudra dan PT Agung Podomoro Land.
Tak sampai di situ, praktik suap itu juga menyeret anggota DPRD lain yang masih memiliki hubungan keluarga dan pihak Sekretaris Daerah DKI sebagai eksekutif.
“Hal tersebut menjadi temuan dari riset Konflik Kepentingan di Parlemen dengan studi kasus di DPRD DKI Jakarta yang dilakukan oleh Nara Integritas Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Penelitian yang sama juga dilakukan di 4 daerah lainnya, yaitu di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Jawa Timur,” demikian dikutip dari siaran pers Nara Integrita yang diterima Channel9, Senin (20/3/2023).
Studi kasus di DKI Jakarta dilakukan terhadap pelaksanaan fungsi legislasi dan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD DKI terhadap pembahasan Raperda Zonasi Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dan Tata Ruang Strategis Jakarta Utara tahun 2016.
Kasus ini telah diputus sebagai tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada tahun 2016 dengan Nomor 50/Pid.Sus/Tpk/2016/PN.Jkt.Pst.
Padahal, hasil riset menunjukan bahwa kasus di atas membuktikan adanya pelanggaran atas Pasal 3 UU 31/1999 jo UU 20/2021 tentang Pemberantasan Korupsi juga Pasal 1 ayat 14 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Selain itu, praktek konflik kepentingan ini bertentangan dengan pengaturan Pasal 236 UU Nomor 17 tahun 2014 (UU MD3) terkait larangan bagi anggota parlemen.
Temuan menarik dari kasus ini adalah bahwa meskipun telah terbukti bersalah atas pelanggaran pasal perbuatan korupsi, kasus ini tidak diproses secara internal oleh Badan Kehormatan DPRD DKI pada saat itu.
Bahkan, hingga saat riset dilakukan, DPRD DKI belum memiliki aturan internal terkait Kode Etik dan Tata Beracara Penegakan Etik yang seharusnya menjadi aturan internal DPRD, sesuai amanat Pasal 354 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Pengaturan terkait etik baru terdapat dalam Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD DKI Jakarta. Peraturan DPRD Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kode Etik DPRD DKI Jakarta ternyata juga belum dipublikasikan.
Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa Badan Kehormatan DPRD DKI belum memiliki dasar untuk bekerja dalam konteks penegakan etik secara kelembagaan.
Ketiadaan mekanisme penegakan etik internal untuk anggota DPRD selama ini juga menunjukan tidak adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban publik atas kerja yang dilakukan oleh Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta dan rendahnya akuntabilitas publik parlemen.
Baca juga: Konflik Kepentingan Dalam Legislasi, Seret Politisi Parlemen ke Perbuatan Korupsi
HT