Channel9.id-Jakarta. Sejak Maret 2020, spesialis di Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Inggris melihat semakin banyaknya pasien muda yang mencari pengobatan untuk tic, lapor The Wall Street Journal. Tic sendiri merupakan gerakan atau ucapan berulang yang dilakukan di luar kendali.
Dokter mengatakan sebagian besar anak muda menonton konten dari kreator TikTok yang mengaku bahwa mereka menderita sindrom Tourette, salah satu jenis gangguan tic. Top TikTokers tanpa sadar mengutuk, menampar diri sendiri, membuat suara tepuk tangan, dan banyak lagi, saat memvideokan diri sendiri. Secara kumulatif, video #tourettes telah dilihat lebih dari 5 miliar kali.
Beberapa peneliti mengebut bahwa lonjakan TikTok tics secara tiba-tiba ini ialah pandemi dalam pandemi, di mana di saat bersamaan para remaja sedang berjuang dengan tugas sekolah, perasaan terisolasi, dan bahkan memar dan tanda fisik lainnya karena tics mereka.
Namun, menurut profesor klinis di University of California, San Francisco, Allison Libby, TikTok tak menciptakan tekanan yang dirasakan remaja itu, dikutip dari The Verge. Justru tics merupakan efek samping dari kecemasan, depresi, dan bahkan stres traumatis. Ketimbang mengabaikan hal ini, mengakui bahwa gejala yang dialami dibentuk oleh konteks sosial yang luas—termasuk oleh media sosial—bisa membantu remaja menemukan kelegaan ketimbang meratapi tics tersebut.
“Gejala adalah sarana ekspresi,” ujar Rebecca Lester, seorang profesor antropologi sosiokultural di Universitas Washington yang mempelajari psikiatri, agama, dan gender. “Kami belajar dalam pengaturan budaya yang berbeda, bahkan pengaturan lokal, bagaimana mengomunikasikan penderitaan kami.”
Perlu diingat, penyakit mental tak bekerja seperti campak, yang merebak dengan cara yang sama ke mana pun ia pergi. Pasalnya, pengalaman emosional bisa bervariasi secara dramatis bergantung waktu dan tempat, begitu juga gejalanya.
Contohnya perihal stres traumatis akibat perang. Psikiater mulanya cenderung melakukan “shell shock” di era Perang Dunia I, sebagai cara menangani pendahulu post-traumatic stress disorder (PTSD)—konsep yang didapatkan setelah Perang Vietnam. Namun, kelompok veteran yang berbeda sering menunjukkan gejala yang sangat berbeda. Mutisme, kejang, dan kelumpuhan adalah gejala umum dari “shell shock”. Sementara, PTSD didefinisikan terutama oleh kilas balik. Semakin jauh ke belakang sejarah, gejala tentara bakal terlihat: dalam Perang Saudara, tentara menderita “nostalgia,” atau kerinduan, yang membuat mereka sulit bernapas, dan membuat perut mereka tak nyaman.
Tak ada respons stres yang pasti terhadap perang atau kesulitan lainnya. Dalam setiap kasus, penderitaan para prajurit sangat nyata. Tetapi gejala mereka berubah sebagian karena budaya mereka. Sementara itu, nasib para remaja TikTok menunjukkan bahwa kita berada di tengah-tengah kondisi yang sulit mendeskripsikan ini karena keterbatasan hari ini.
Libby mengatakan bahwa banyak gejala memiliki komponen sosial, tetapi khusus tics, sangat mudah diduga. Misalnya, pada 2011, sebanyak 20 remaja di utara New York, hampir semuanya siswa di sekolah yang sama, tiba-tiba mengalami getaran serupa. Adapun penjelasan terhadap fenomena ini termasuk pencemaran lingkungan dan kanker, bahkan tim dari kedoketeran mengirim tim untuk menguji tanah di wilayah hal itu tersaji. Pada akhirnya, dokter menyimpulkan bahwa gejala fisik itu merupakan akibat dari tekanan psikis. Untungnya, pada musim semi berikutnya, banyak remaja yang menuju pemulihan.
Itu kejadian 10 tahun yang lalu, dan hari ini kejadian serupa dialami oleh remaja di seluruh dunia, di mana ha ini diketahui dari platform seperti TikTok. Awal tahun ini, psikiater Jerman Kirsten Müller-Vahl dan rekan-rekannya memperkenalkan frasa “penyakit akibat media sosial massal” untuk menggambarkan wabah perilaku seperti tic di kalangan remaja Jerman, yang dimulai pada 2019 dan terkait dengan kreator YouTube populer dengan sindrom Tourette. Selain itu, pandemi COVID-19, yang menurut lebih dari 25% siswa sekolah menengah Amerika, telah memperburuk kesehatan emosional mereka, dan wabah tics tampaknya hampir tak terelakkan.
Lantas, apa yang akan terjadi ke depannya? Libby mencatat, gangguan tic yang sebenarnya—yang biasanya muncul di masa kanak-kanak, maupun perilaku seperti tic—yang dialami oleh pengguna TikTok ini, tak terlalu memerlukan perawatan khusus. Keduanya memnag kemungkinan akan menjalani sesuatu yang disebut intervensi perilaku komprehensif untuk tics, atau CBIT, untuk mengelola gejala mereka. Namun, jika ada masalah kesehatan mental lain yang mendasarinya, itu perlu diobati.
“Dugaan saya adalah mereka benar-benar akan dapat pulih. Terutama jika mereka mendapatkan perawatan untuk kecemasan atau depresi yang mendasari kemunculan tics,” ujar Libby.
Lebih lanjut, Lester mengatakan, di saat lonjakan gangguan seperti tic saat ini muncul, TikTok cenderung disalahkan. Terlepas dari itu, bagi remaja ini, mereka mungkin mengalami kesulitan mengingat gejala-gejala perilaku tics tak bisa diabaikan.
(LH)