Opini

Belajar dari Finlandia: Makan Siang Gratis sebagai Investasi Masa Depan Bangsa

Oleh: Eva Riana Rusdi*

Channel9.id-Jakarta. Kebijakan makan bergizi gratis saat ini menjadi program unggulan Pemerintah Prabowo. Reaksi pertama yang muncul sering kali adalah kekhawatiran soal beban APBN. Namun Finlandia membuktikan hal sebaliknya, program ini bukan pengeluaran yang membebani kas negara, melainkan return investasi sosial dan ekonomi jangka panjang yang terbukti menghasilkan dampak nyata.

Sejak tahun 1948, pemerintah Finlandia menerapkan kebijakan makan siang gratis di seluruh sekolah dasar dan menengah negeri. Prinsipnya sederhana tapi fundamental: setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi keluarga, berhak atas satu kali makan bergizi lengkap setiap hari sekolah.

Menu yang disajikan tidak mewah, biasanya berupa sup sayur, kentang rebus, ikan atau ayam, buah segar, dan susu, namun disusun berdasarkan pedoman gizi nasional yang ditetapkan oleh Finnish Food Authority dan disesuaikan dengan kebutuhan kalori anak usia sekolah.

Yang menarik, Finlandia tidak pernah menempatkan program makan gratis sebagai bantuan sosial untuk keluarga miskin. Kebijakan ini dianggap sebagai hak dasar setiap siswa dan bagian dari sistem pendidikan nasional. Pemerintah berpegang pada premis sederhana yang didukung penelitian neurosains: anak yang lapar tidak dapat belajar secara optimal.
Penelitian dari University of Jyväskylä menunjukkan bahwa kecukupan nutrisi dapat meningkatkan fungsi kognitif, daya ingat, dan kemampuan konsentrasi anak hingga 20 persen.

Dampak jangka panjangnya juga terukur. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dijalankan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten menempatkan siswa Finlandia di peringkat atas dunia dalam literasi, matematika, dan sains. Meskipun banyak faktor yang berperan, laporan dari Finnish National Agency for Education menegaskan bahwa program makan gratis berkontribusi signifikan terhadap kesetaraan hasil belajar antar siswa dari berbagai latar sosial ekonomi. Anak dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki akses nutrisi yang sama dengan anak dari keluarga mampu, sehingga kesenjangan prestasi akademik dapat ditekan.

 

Lebih jauh, program ini memperkuat kohesi sosial. Semua siswa makan bersama di kantin sekolah tanpa pembedaan status. Dalam kerangka teori negara kesejahteraan yang dikemukakan sosiolog Gøsta Esping-Andersen, kebijakan universal seperti ini terbukti lebih efektif membangun solidaritas sosial dibanding program yang hanya menarget kelompok miskin.

Lalu bagaimana Finlandia mampu menjalankan program ini secara konsisten selama lebih dari 75 tahun? Pertama, sistem tata kelolanya jelas dan terdesentralisasi. Program dikelola oleh pemerintah kota (municipality), tetapi diawasi dengan standar nasional dari Finnish Food Authority.
Setiap sekolah wajib menyediakan makanan yang memenuhi sekitar 35 persen dari kebutuhan kalori harian anak, dengan komposisi karbohidrat, protein, lemak sehat, serat, vitamin, dan mineral yang seimbang.

Kedua, pengelolaan dilakukan secara langsung oleh sekolah. Sebagian besar sekolah memiliki dapur sendiri dan mempekerjakan juru masak profesional yang mendapat pelatihan rutin.
Bahan pangan sebagian besar dipasok dari petani lokal melalui kontrak pemerintah daerah, sehingga kualitas terjaga, harga stabil, dan ekonomi lokal ikut bergerak.
Model ini juga menghindari rantai distribusi panjang yang sering menjadi sumber kebocoran anggaran atau penurunan mutu makanan.

Ketiga, ada integrasi dengan kurikulum pendidikan. Anak-anak tidak hanya makan, tapi juga belajar tentang gizi seimbang, keberlanjutan lingkungan, asal-usul bahan pangan, dan pengurangan sampah makanan (food waste). Di banyak sekolah Finlandia, siswa bahkan terlibat dalam kegiatan kebun sekolah atau kunjungan ke peternakan lokal. Hal ini menumbuhkan kesadaran bahwa makanan bukan sekadar konsumsi, melainkan hasil kerja manusia dan alam yang harus dihargai.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menerapkan model serupa melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun tantangannya cukup kompleks. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan dengan perbedaan infrastruktur dan logistik yang besar. Distribusi bahan makanan segar ke wilayah terpencil memerlukan sistem rantai dingin (cold chain) dan transportasi yang efisien.

Kedua, koordinasi lintas kementerian menjadi kunci. Program MBG memerlukan sinergi antara Kementerian Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, dan Dalam Negeri. Tanpa mekanisme koordinasi yang solid dan akuntabel, program ini berisiko terjebak dalam tumpang tindih kewenangan atau tarik-menarik anggaran.

Ketiga, standarisasi menu dan gizi. Finlandia memiliki lembaga teknis seperti Finnish Food Authority yang memastikan standar nutrisi diterapkan secara nasional. Indonesia perlu membentuk atau memperkuat lembaga serupa agar setiap sekolah benar-benar menyajikan makanan yang sehat, bukan hanya mengenyangkan.

Namun di balik tantangan itu, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan: kemitraan dengan petani lokal dan pelaku UMKM pangan. Jika setiap sekolah bekerja sama langsung dengan petani di wilayahnya, program ini tidak hanya memberi makan anak-anak, tetapi juga menggerakkan ekonomi desa, memperkuat ketahanan pangan lokal, dan mengurangi ketergantungan impor.

Finlandia membuktikan bahwa makan bergizi gratis bukanlah mimpi utopis. Dengan sistem yang transparan, standar yang ketat, dan komitmen jangka panjang, program ini menjadi simbol bahwa negara benar-benar hadir untuk rakyatnya.

Indonesia harus memandang Makan Bergizi Gratis bukan sebagai proyek politik jangka pendek, tetapi sebagai investasi pada otak, tubuh, dan masa depan bangsa—investasi yang hasilnya mungkin baru tampak 10 atau 20 tahun kemudian, tetapi akan mengubah wajah Indonesia secara mendasar.

Baca juga: Jalur Rempah dan Diplomasi Laut: Menghidupkan Kembali Warisan Bahari Nusantara

*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +    =  7