Belajar dari Ki Hadjar Dewantara, Pendidik Jangan Melupakan Sejarah
Nasional

Belajar dari Ki Hadjar Dewantara, Pendidik Jangan Melupakan Sejarah

Channel9.id-Jakarta. Profesor Anna Suhaenah menekankan bahwa para pendidik di Indonesia tak boleh mengabaikan sejarah. Sebab orang yang melupakan sejarah tak mengenal dirinya sendiri, dan cenderung malu mengaku sebagai warga negara Indonesia.

“Zaman sekarang banyak orang yang seperti itu. Ini mengingatkan kita pada zaman penjajahan Belanda. Pada saat itu kebanyakan pribumi yang mengenyam pendidikan malu mengaku dari mana mereka berasal,” tuturnya saat seminar daring, Sabtu (19/2).

Prof Anna menambahkan pada saat itu ada segregasi sosial, di mana masyarakat dibagi menjadi orang Belanda dan Eropa lainnya, Arab dan Tionghoa, serta pribumi. Adapun pribumi yang mengenyam pendidikan umumnya keturunan bangsawan.

Di balik situasi seperti itu, lanjut Prof Anna, ada sosok bernama Suwardi Suryaningrat—yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara—yang tak pernah lupa dari mana ia berasal, kendati sempat mengenyam pendidikan di sekolah elit pada masa itu. Ki Hadjar bahkan tetap bergabung di organisasi gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda (sebelum disebut Indonesia).

“Meskipun Ki Hadjar sekolah di sekolah elit dan fasih berbahasa Belanda, jiwa patiotisme dan nasionalismenya luar biasa,” pungkas Prof Anna. “Ia bersama beberapa temannya di STOVIA bergabung dengan Budi Utomo.”

Untuk diketahui, Budi Utomo merupakan salah satu organisasi gerakan nasionalis di Hindia Belanda, yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) pada Mei 1908. Ki Hadjar sendiri mengenyam di sekolah kedokteran ini.

Ki Hadjar juga tak ragu untuk menentang pemerintah kolonial Belanda, yang pada akhirnya membuat ia kerap keluar-masuk penjara. Bahkan, pada 1913, ia dibuang ke Belanda lantaran menyindir rencana penggelaran pesta ulang tahun Ratu Belanda yang berasal dari hasil pungutan uang pribumi.

Selama di Belanda, wawasan Ki Hadjar justru semakin terbuka. Ia diperkenalkan dengan gagasan pendidikan dari tokoh-tokoh pendidikan modern mancanegara, seperti Kerstenteiner, Montessory, Dewey, Frobel, Ovide Declory. “Sambil mendalami ilmu pendidikan, Ki Hadjar juga mendapat sertifikat pendidik di sana. Ia sempat mengajar di taman kanak-kanak milik Froebel,” sambung Prof Anna.
Mantan Rektor IKIP Jakarta periode 1992—1995 ini menjelaskan bahwa ketika melihat gagasan pendidikan modern di negeri penjajah, ia tak langsung menerapkannya ‘mentah-mentah’ di Hindia Belanda sepulang dari Belanda.

“Ki Hadjar justru memperkaya konsep pendidikannya sambil merawat patriotisme yang berakar pada budaya bangsa… Bagi Ki Hadjar, mempelajari hal baru itu wajib namun ia menilai jangan sampai melupakan sejarah, termasuk asas kultural yang sudah dimiliki sejak lama; sejak ratusan tahun, misalnya,” ujar Prof Anna.

Berangkat dari pendirian dan gagasannya, Ki Hadjar memperkenalkan empat konsep pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, yaitu dengan: olah cipta, olah rasa, olah karsa, olah raga. “Itu yang dia hadirkan di Taman Siswa—berdiri 1922 di Yogyakarta… Ia juga memperkenalkan semboyan ‘Tut Wuri Handayani, Ing Madyo Mangun Karsa, Ing Ngarso Sung Tulodo’. Semboyan ini begitu luwes sehingga bisa menyesuaikan kondisi anak didik,” jelas Prof Anna.

Untuk diketahui, Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889, dan wafat pada 26 April 1959. Sepulang dari pembuangannya ke Belanda, ia mendirikan Taman Siswa pada Mei 1922 di Yogyakarta, yang kemudian disusul oleh sejumlah cabang di luar kota seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Ia kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ia juga merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  6  =