Channel9.id – Jakarta. Kuasa hukum Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Alfons Loemau merespons bentrokan antara masyarakat kampung adat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dengan aparat gabungan TNI, Polri, dan Badan Pengusahaan (BP) Batam atau Otorita Batam Kamis (7/9/2023) pagi. Alfons mengatakan bentrokan ini terjadi karena Otorita Batam merasa dirinya sebagai penguasa yang menguasai hak atas Pulau Rempang.
Menurut Alfons, Otorita Batam telah melakukan tindakan sepihak untuk mengusir masyarakat Pulau Rempang dari tanahnya tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Padahal, kata Alfons, Komnas HAM telah menyurati Otorita Batam untuk melakukan mediasi sebagai langkah persuasif agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Namun hingga saat ini, lanjutnya, tindakan persuasif tersebut tidak pernah dilakukan Otorita Batam.
“Masyarakat sudah menaruh prasangka karena beberapa saat sebelum ini, sejak mereka melaporkan pada Komnas HAM pada Juli, telah terjadi kegiatan-kegiatan sepihak. Karena dari Otorita Batam merasa bahwa dia adalah sebagai yang memiliki hak atas wilayah tersebut, sedangkan masyarakat merasa terganggu dengan kegiatan tersebut karena masyarakat merasa belum pernah ada sosialisasi, belum dijelaskan apa sebenarnya yang akan dikerjakan,” kata Alfons saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (7/9/2023).
Alfons menuturkan, masyarakat Pulau Rempang sejatinya tidak menolak proyek pengembangan Rempang Eco City oleh Otorita Batam selagi itu dapat menyejahterakan mereka. Namun, ia mengatakan Otorita Batam sejauh ini tidak melibatkan masyarakat Pulau Rempang atas proyek yang akan berdiri di atas tanah mereka.
“Terhadap rencana pemerintah tersebut, tidak ada masalah bagi masyarakat. Yang jadi masalah, sejauh mana otorita sebagai yang akan menerima hak pengelolaan mensosialisasikan ke masyarakat agar masyarakat merasa pembangunan ini menjadi bagian dari upaya mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi adalah otorita sebagai yang mewakili pemerintah tidak melakukan tindakan-tindakan persuasif yang memadai,” tutur Alfons.
Ia menilai, Pemerintah Batam, dalam hal ini Otorita Batam, tidak mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat Pulau Rempang. Sebab, menurutnya, di atas tanah tersebut terdapat masyarakat yang memiliki kultur dan adat istiadat di dalamnya.
“Pemerintah dalam hal ini Otorita Batam merasa dia penguasa. Ini menurut saya pemerintah Batam mungkin kurang memahami aspek sosiologis yang mana perlu memahami bahwa masyarakat itu bukan bidak catur yang bisa digeser kiri kanan semaunya, tapi adalah makhluk sosial yang punya lingkungan sosial, budaya, adat istiadat, kekerabatan maupun hubungan-hubungan kultural dengan nilai-nilai setempat,” jelasnya.
Masyarakat Pulau Batam saat ini sudah mengadukan praktik penggusuran ini kepada pemerintah dan Presiden Jokowi. Namun, baru Komnas HAM yang merespons.
Terkait hal ini, Alfons mengatakan Otorita Batam telah melangkahi upaya Komnas HAM yang meminta Otorita Batam melakukan mediasi dengan masyarakat. Justru, lanjutnya, Otorita Batam tetap melakukan tindakan-tindakan kekerasan untuk mengusir masyarakat Rempang dari tanahnya.
“Tapi apa yang Komnas HAM sudah lakukan seolah-olah dikentuti aja karena tetap saja upaya kekerasan, yang mana upaya kekerasan kalau terangkat di media ini akan menjadi isu HAM yang juga tidak sederhana,” pungkasnya.
Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) tengah menghadapi ancaman penggusuran dalam proses pengembangan Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG).
Konflik di Pulau Rempang ini bermula ketika Menteri Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional (BPN) melalui Surat Keputusan Nomor 9-VIII-1993 memberikan hak kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kini bernama BP Batam) untuk mengelola seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya dengan beberapa syarat.
Namun, BP Batam rupanya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan Menteri Agraria untuk mengelola lokasi tersebut. Salah satu syaratnya berbunyi “apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.” Hingga saat ini, syarat tersebut belum dipenuhi BP Batam.
Di tengah situasi tersebut, pada hari ini, Kamis (7/9/2023), aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP memaksa masuk warga yang menolak penggusuran ke dalam kampung adat Pulau Rempang dengan menembakkan gas air mata dan water cannon.
Diketahui, polisi menerjunkan sekitar 1.000 personel untuk mengawal aktivitas pematokan dan pengukuran tanah di Pulau Rempang oleh BP Batam. Sementara itu, ribuan warga Rempang yang menolak pematokan tanah membentuk barikade di Jembatan 4, Pulau Rempang, Kota Batam.
Warga yang menolak penggusuran melempari aparat dengan batu di tengah kepulan gas air mata dan semprotan water cannon. Akibatnya, sebanyak enam warga ditangkap dan dibawa ke Polresta Barelang.
Baca juga: Mencekam! Warga Rempang Bentrok dengan Aparat Gabungan, Dihujani Gas Air Mata dan Water Cannon
Baca juga: Ketua KERAMAT Gerisman Achmad Diperiksa Polisi atas Dugaan Pengrusakan, Kuasa Hukum Heran
Baca juga: Terancam Relokasi, Warga Desak Jokowi Hentikan Pembangunan di Pulau Rempang Batam
HT