Opini

Beragama Feat Berkesenian

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Untuk menuangkan imajinasinya, seniman selalu beranjak dari pemahaman tentang konsep yang terbaca dari pengalaman kedekatannya dengan lingkungan. Imajinasi, yang menurut filosof Perancis Jean-Paul Sartre merupakan alam kesadaran untuk membayangkan sebuah tempat yang dihuni oleh kesamaan-kesamaan yang merupakan kumpulan imaji, telah mengalirkan sejumlah gagasan untuk berkarya.

Dalam hal muatan seni, filosof Jerman Immanuel Kant memberikan penilaian bahwa karya seni tidaklah lepas dari cara pandang. Realitas tidak terletak pada dunia yang diartikan sebagai kumpulan objek-objek, tetapi terbentuk dalam benak manusia yang merekonstruksi semua gejala dalam relasi-relasi logis.

Dalam seni, pemikiran digunakan untuk menghasilkan suatu karya yang memiliki muatan simbolik, metaforik, pengekspresian diri, memanipulasi suatu objek, serta mempunyai kesan dan pesan tertentu. Hubungan antara manusia dengan kehidupan dan lingkungannya serta keberadaan manusia itu sendirilah yang kemudian diasosiasikan oleh seni sebagai karya manusia yang bermuatan dunia.

Pola hubungan yang dekat, permainan rasa, intuisi, dan eksekusi visual, menempatkan karya seni mempunyai keragaman daya-daya dan kapasitas serta kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia untuk diungkapkan secara simbolik. Seni dikatakan sebagai ungkapan yang bersifat simbolik karena gejala dan unsur kehadirannya mempunyai petunjuk pada konsep-konsep yang dihidupi oleh komunitas maupun masyarakat tertentu. Hal demikianlah yang membuat sebuah karya seni berpijak pada kekuatan konsep dari simbolisasi secara fenomenologis dan mengakibatkan sebuah karya seni harus mampu mengantarkan orang atau penikmat ke suatu kumpulan makna.

Karya seni lukis, seni patung, seni grafis, hingga yang bersifat reproduktif massal seperti film dan iklan, adalah karya visual yang terbentuk dari muatan-muatan. Muatan yang biasanya bernilai pada kebenaran, kejujuran, adiluhung, dianggap memberikan nilai batas pada karya visual. Nilai kesadaran yang seolah-olah memiliki kekuatan transendental yang menggerakkan muatan-muatan, mempunyai benang merah dari semua aktivitas berkaryanya, yaitu hasrat atau keinginan manusia.

Ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai pijakan pada hasrat dengan syarat. Karenanya, setiap karya seni menjadi alat untuk mengatasnamakan seni demi mengejar hasrat manusia. Karya-karya yang condong pada kekerasan atau pornografi, misalnya, pada akhirnya harus berhadap-hadapan dengan muatan yang menuntut kebenaran, keadilan, pencerahan, dan sebagainya.

Inilah yang disebut oleh filosof Perancis Jacques Derrida sebagai keterbatasan dalam berkarya seni. Derrida melihat ‘batas’ akhirnya direduksi menjadi pertanyaan yang bersifat dikotomis. Baik atau buruk? Aku atau kamu? Hari ini atau kemarin? Padahal ‘batas’ dapat direpresentasikan sebagai ‘akhir yang memulai sesuatu’ atau sebaliknya sebagai totalitas.

Dengan pengenalan batas pula, maka sebenarnya kita senantiasa berada pada fenomena yang tak terputuskan dan tak menentu dimana terjadi banyak ruang yang bisa diapresiasikan dalam karya seni. Bentuk dan isi yang dipersoalkan tidak menjadi yang lebih penting, karena semua mempunyai kesempatan penafsiran yang sama sesuai dengan sifat menginterpretasi yang sarat dengan ribuan makna.

Begitulah, karya seni merupakan sebuah kemungkinan-kemungkinan tentang representasi makna. Seni yang dilahirkan dari situasi estetik tidak serta merta menjadi sebuah tuduhan negatif ketika karya tersebut menyinggung atau masuk kepada norma-norma tertentu dalam masyarakat tanpa ada penggalian makna dari kaidah-kaidah seni juga.

Persoalan moral menjadi mengemuka dalam perkembangan budaya global yang menampikkan nilai kemanusiaan. Kata ‘moral’ digunakan untuk merujuk hal yang benar atau salah serta bagaimana kita bertindak dan berpikir sesuai dengan prinsip betul dan salah. Immanuel Kant menyatakan bahwa karya seni yang memenuhi unsur ‘kehendak baik’ adalah karya seni yang baik menurut dirinya tanpa pamrih dan tanpa syarat. Dalam dunia manusia melawan nafsu-nafsu dirinya, maka kehendak bisa dilakukan dengan maksud-maksud tertentu yang tidak baik pada dirinya.

Kant kemudian membedakan antara ‘tindakan yang sesuai dengan kewajiban’ dan ‘tindakan yang dilakukan demi kewajiban’. Yang pertama, menurutnya, tidak berharga secara moral dan disebut hanya memenuhi “legalitas”. Sedangkan yang kedua adalah bernilai moral dan disebut moralitas. Kant sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang penting dalam moralitas adalah pelaksanaan kewajiban, meski kadang tidak mengenakkan hati. Dorongan hati macam itu bisa saja baik, tapi moralitas tidak terletak padanya.

Filosof Jerman Edmund Husserl melalui Logische Untersuchungen menerapkan fenomenologi sebagai bagian penting dalam cara melihat serta bersikap. Dalam fenomenologi ini, seorang pencipta karya seni haruslah menarik diri atau surut dan bukannya melepaskan diri dari dunia. Kreator visual yang sudah terlanjur mempunyai gaya surealis tidak harus serta merta menggantinya dan beralih kepada karya yang bersifat religius. Begitu pula kreator visual tidak harus selalu mengikutsertakan figur maupun simbol keagamaan dalam setiap karyanya ‘hanya’ untuk menimbulkan muatan kebenaran.

Kenegatifan atau kekelaman adalah realitas. Namun, dalam fenomenologi, justru inilah sebagai “yang ada”. Penanda-penanda visuallah yang akan menerjemahkan hal-hal yang bermakna kebenaran sebagai kesamaan fenomenologis bahwa setiap “yang ada” dapat diingat dan mengambil tempat di dunia sebagai konsep-konsep. “Yang ada” identik tidak dalam artian harfiah sebagaimana kesamaan wujud dan rupa. Sama di sini terkait dengan suatu simpul yang lahir karena proses rekoleksi. Semua objek terkumpul sebagai suatu ‘dunia’ yang memiliki daya makna berlapis-lapis dalam arti mikro dan makrokosmik yang berkesinambungan.

Demikianlah, ketika kita menuntut bahwa karya seni dilarang menggambarkan hal-hal yang melenceng dari moralitas, maka hal tersebut menjadi ketidakniscayaan. Semua masih bersikap terbuka dalam penginterpretasian. Sebab, sejak lahir manusia sudah berdunia dan dunia memiliki “yang ada”. Hal inilah yang mencoba direkam oleh seniman untuk menuangkannya ke dalam karya seni sesuai dengan realita yang ada. Yang dibutuhkan agar karya seni tampil dalam kebenaran adalah penanda visualnya harus mampu menerjemahkan “yang ada” tersebut ke dalam kode-kode maupun simbol-simbol.

Watak Hibrid

Seni sebagai bagian integral dari kebudayaan selalu bersifat hibrid. Tidak ada identitas budaya yang tetap dan tegas serta tidak ada yang murni dan monolitik. Perubahan budaya pada umumnya berada dalam daya tarik budaya maju yang selalu siap menggeser atau bahkan menghegemoni budaya lainnya. Seni lalu dianggap sebagai perwujudan media berekspresi yang sangat rentan dan dalam dirinya tidak ditemukan kemapanan karena adanya potensi yang senantiasa dan terus berubah.

Ya, budaya sebagai identitas tidak bisa ditebak ke mana arahnya. Industrialisasi kebudayaan dalam skala global telah menciptakan berbagai perubahan pandangan mengenai budaya itu sendiri yang kini tidak dapat dilepaskan dari aktivitas-aktivitas ekonomi: produksi, distribusi, dan konsumsi.

Industrialisasi kebudayaan ini pulalah yang menciptakan paradigma budaya baru yang radikal, suatu orientasi nilai budaya yang tak terbayangkan sebelumnya. Makna-makna budaya ini kerap berpunggungan dengan tradisi kultur, adat, dan agama. Inilah peralihan budaya ke arah yang disebut sebagai “budaya konsumer”. Budaya konsumer menggiring masyarakat global ke pola-pola budaya yang telah terdiferensiasi ke dalam sub-sub budaya. Ini ditandai dengan cepatnya intensitas pergantian tanda, kode dan makna budaya dan semakin mencairnya identitas akibat arus pergantian identitas yang semakin cepat.

Ketika permainan tanda, makna, citra, dan identitas tersebut dikendalikan oleh hasrat untuk meraih keuntungan, maka konsumerisme dengan mudah menjadi alat permainan dan tempat bagi dekonstruksi nilai-nilai adat, moral, dan agama. Kapitalisme tubuh dipertontonkan oleh seni foto dengan model telanjangnya, darah sebagai inspirasi dalam video clip, ketidakjujuran yang diterapkan dalam periklanan, serta yang lainnya.

Menyitir ungkapan Sartre, seni juga adalah sebuah kesadaran. Karenanya, ekspresi manusia mempunyai muatan kesadaran, bahkan manusia terlahir dari keseluruhan kesadarannya. Keindahan pun adalah sesuatu yang mesti dan bukan sebagai pilihan. Bukankah Tuhan sendiri sudah berkesenian dengan segala keindahannya? Dalam seni, keindahan adalah harmoni, dan bukan chaos.

Agama sebagai pangkal moralitas sepatutnya tidak harus mengkooptasi seni sedemikian rupa dengan menjadikan seni semata sebagai alat dari agama. Moralitas berbalik punggung dari semua itu. Ketidaksetujuan atas simbol-simbol maupun tanda-tanda yang ada dalam karya seni tak bisa membuatnya sontak menghardik sebagai karya seni yang menyesatkan. Atau bahkan menghancurkannya.

Penulis adalah Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  4  =