Opini

Berlebihan, Utang Luar Negeri Diklaim Terkendali dan Sehat

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2019 sebesar US$395,6 miliar dikatakan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai terkendali dengan struktur yang sehat. Klaim yang tampak berlebihan, jika dianalisis berbagai aspeknya. Bahkan, kondisi ULN tersebut dapat berubah menjadi faktor yang memperparah jika terjadi resesi.     

BI mengatakan pertumbuhan ULN relatif stabil. Pertumbuhan triwulan III 2019 sebesar 10,21% (yoy) dinilai hanya sedikit meningkat dibanding triwulan II 2019 yang sebesar 10,03%. Padahal, merupakan yang tertinggi dalam 19 triwulan terakhir (sejak triwulan IV 2015).

Selama 18 triwulan sebelumnya, rata-rata pertumbuhan ULN hanya 6,34%. Hanya pernah mencapai dua digit pada Desember 2017 (10,14%). Padahal, telah dua triwulan berturut-turut ini melaju dua digit.

Pertumbuhan ULN pemerintah yang meningkat justru dinilai BI sebagai sejalan dengan optimisme investor asing terhadap prospek perekonomian nasional, di tengah ketidakpastian global. Posisi ULN pemerintah pada akhir triwulan III 2019 tercatat sebesar USD194,4 miliar atau tumbuh 10,3% (yoy), meningkat dari 9,1% (yoy) pada triwulan sebelumnya.

BI sebenarnya mengakui peningkatan itu karena investor nonresiden membukukan pembelian neto Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang cukup besar. Dan ada faktor imbal hasil investasi aset keuangan domestik yang menarik. Menarik berarti berbiaya tinggi.

Jika memang karena perekonomian Indonesia dinilai prospektif, seharusnya diikuti pula oleh peningkatan investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI), yang signifikan. Nyatanya, soalan pertumbuhan FDI dikritik oleh Bank Dunia, dan mulai dikeluhkan oleh Presiden Jokowi.

ULN swasta tumbuh melambat dari triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan ULN Bank. ULN swasta lainnya tetap meningkat.

Posisi ULN swasta per September 2019 sebesar US$198,50 miliar, juga masih lebih banyak dibanding ULN Pemerintah yang sebesar US$194,36 miliar.

Fenomena ULN swasta melampaui ULN pemerintah di era reformasi, terjadi sejak tahun 2012. Sempat turun dan melambat pada tahun 2016 dan 2017, sehingga posisinya kembali lebih rendah dari ULN Pemerintah. Namun, pertumbuhannya kembali melaju pada tahun 2018 dan 2019.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah perkembangan posisinya secara bulanan. ULN Swasta mulai melampaui sejak Agustus 2018 hingga kini. Perlambatan triwulan ini belum mengubah posisinya.

Sebagai bahan ingatan, faktor ULN swasta ini termasuk yang berpengaruh buruk pada krisis ekonomi tahun 1997/98.

Pencermatan lebih lanjut memperlihatkan, ULN swasta yang melaju paling cepat selama dua tahun terakhir adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Akibatnya, porsi ULN BUMN terhadap total ULN swasta pun terus meningkat. Pada akhir tahun 2018 sebesar 23,81%, dan kini mencapai 25,57% pada triwulan III 2019. Sebagai perbandingan, posisinya selama tahun 2014-2017 hanya di kisaran 19-20%. Dan jauh lebih rendah lagi pada era sebelumnya.  

Bank Indonesia mengatakan pula bahwa struktur ULN Indonesia tetap sehat didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Alasan yang dikemukakan antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan III 2019 sebesar 36,3%, membaik dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya.

Namun, perlu diketahui bahwa rasio itu termasuk yang tertinggi (baca terburuk) jika dilihat posisi pada triwulan III pada beberapa tahun terakhir. Hanya setara dengan posisi triwulan III 2016.

Bank Indonesia tidak mengedepankan rasio lain dalam rilis, namun ada dalam dokumen lengkapnya. Yaitu rasio ULN terhadap ekspor, yang pada triwulan III 2019 mencapai 178,44%. Selain meningkat dari triwulan II yang 173,59%, merupakan rasio tertinggi dalam 15 triwulan terakhir.

Argumen tambahan atas struktur yang sehat adalah karena tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 88,1% dari total ULN. Perlu diketahui pangsa itu jika dilihat dari ULN berdasar waktu asal. Jika memperhitungkan ULN jangka panjang, namun jatuh temponya kurang dari setahun ke depan, maka rasio turun menjadi 86%.

Terkait hal ini, yang kurang disampaikan adalah rincian dari yang berjangka panjang (dilihat dari waktu sisa). Pengertian waktu setahun atau lebih terlampau lebar cakupannya. Kita perlu diberitahu tentang nilainya pada satu hingga dua tahun. Karena dapat menjadi tekanan serius, jika ada resesi di pertengahan 2020.   

Sehubungan dengan ancaman resesi yang makin nyata ini pula, telah diketahui bahwa soalan ULN dapat menjadi faktor yang serius. Resesi yang berjalin berkelindan dengan gagal bayar utang, terutama ULN, dapat berlembang menjadi krisis ekonomi.

Kondisi utang luar negeri saat ini mungkin belum terlampau buruk. Akan tetapi, rilis BI yang mengedepankan opini sehat dan terkendali, jelas berlebihan. Kita mengerti bahwa BI tak boleh membuat pasar atau pelaku ekonomi menjadi panik. Cuma, apa mesti terus klaim berlebihan?

Chief Economist Institut Harkat Negeri*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

77  +    =  85