Bersiul, Jangan Ledakan Bom
Opini

Bersiul, Jangan Ledakan Bom

Oleh: Salman Hasky*

Channel9.id-Jakarta. Tarik nafas dalam. Pejamkan mata lalu bayangkan ini:
Pelaku bom bunuh diri menulis surat wasiat. Lalu mengalungkan bom di perut. Ditutup bom dengan Jaket tebal. Diraihnya tangan sang istri yang sedang hamil empat bulan, menuju motor, lalu tancap gas.
Dari rumah menuju lokasi target, kira-kira apa yang dipikirkan pelaku? Apa yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan? Mungkinkah mereka bicara soal sinar matahari yang hangat pagi itu sebagai waktu tepat mengakhiri hidup? Atau mereka bicara soal menu sarapan pagi yang baru saja masuk kerongkongan mereka? Atau mereka menebak-nebak angka korban bom yang sebentar lagi mereka letupkan?

Mungkinkah mereka berdiskusi soal dunia dan pemuka lintas agama yang mengutuk aksi mereka begitu bom meledak? Atau mereka berdiskusi soal gegernya publik karena bom yang sebentar lagi meledak? Soal tayangan televisi yang sehari, dua atau tiga hari penuh menyiarkan, membahasnya bersama para pakar, tentang asal sel jaringan mereka, soal penyebab mereka begitu tega melukai orang lain, soal kemarahan nasib menjadi miskin dan diperlakukan tak adil, soal program deradikalisasi pemerintah, soal salah tafsir nilai-nilai agama?

Atau mereka bicara santai soal aksi polisi yang akan menerkam teman mereka setelah bom dipantik? Atau mereka bicara bagaimana nanti keluarga mereka, orang tua, dan kerabat harus menanggung stigma? Apa mereka juga berdiskusi, saat stigma melekat ke orang tua, keluarga dan kerabat, pekan-pekan ke depan suasana akan normal seperti biasa: orang pergi ke tempat ibadah tanpa rasa takut, meski bom belum lama meledak?

Arus lalu lintas tak begitu ramai. Target lokasi sudah di depan mata. Satu..dua..tiga..bom dipantik. Kira-kira, apa kata terakhir mereka berdua ke satu sama lain?

Bom, Dejavu, dan Bersiul

Teroris di Indonesia sementara ini belum pernah menang, semoga tak akan pernah menang. Kecamuknya tak pernah lama. Intensitasnya pun tak begitu sering. Meski sebagian besar ada korban, baik jiwa maupun hanya luka.

Pelaku memakai simbol ajaran Islam saat beraksi. Karenanya, Islam dan umat muslim juga terkena imbas, meski tak menjadi korban aksi teror mereka.

Islamphobia kian marak bukan saja sejak ISIS mengguncang dunia di Timur Tengah, tapi jauh sebelum itu, saat ekstrimisme berkembang pesat di sana.

Pemikir Islam asal Amerika, Shadi Hamid, punya ulasan cukup realistis, saat membandingan Indonesia dengan negara-negara mayoritas muslim lain, seperti Mesir, Libanon, termasuk Turki.

Internalisasi nilai-nilai Islam di masyarakat lebih mengakar di Indonesia ketimbang negara-negara Timur Tengah. Yang lebih hebat, menurut Shadi, Indonesia berjalan tanpa dinamika terorisme yang begitu mengancam. Sayangnya, Shadi menilai, keberhasilan Indonesia menekan aksi terorisme kerap luput dari perhatian negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, hanya karena posisinya tidak begitu genting bagi kepentingan strategis negeri paman sam.

Bagi Shadi, umat Islam Indonesia tidak menjadikan kekerasan, termasuk teror terhadap kekuasaan negara atas respon ketidakpuasan. Menurutnya, Indonesia seharusnya menjadi pelajaran penting negara-negara barat bagaimana demokrasi bisa berjalan beriringan dengan Islam, tanpa perlu lagi menjejalinya dengan ajaran liberalisme.

Kalaupun ada satu dua aksi terorisme, itu hanya perkara negara kecolongan. Bukan kebiasaan, apalagi gaya hidup. Agak aneh sebenarnya jika saat ini masih saja ada sekelompok kecil di tanah air yang masih ambil jalan pintas memantik bom, apalagi ke tempat ibadah.

Karena, seperti dejavu, situasi akan biasa kembali: terorisme bom akan kalah lagi.

Dua dekade lalu, sastrawan Hamsad Rangkuti pernah mendongeng soal siulan. Ya, bersiul, yang kata Hamsad hampir punah di negeri ini.

Dalam dongeng berjudul, Untuk Siapa Kau Bersiul?, Hamsad bercerita soal kekuatan siulan yang bisa mengubah orang berbeda paham ideologi, antara yang pro-terorisme dan anti-terorisme. Siulan dalam bis yang tadinya begitu mengganggu, tak hanya menjadi penetral perbedaan paham ideologi. Malah lebih ekstrim, karena siulan, kedua pihak justru berganti ideologi. Kebencian berbuah simpati.

Maka kepada mereka yang punya niat meledakan bom, segera urungkan niat. Ganti bom dengan bersiul.

*Jurnalis iNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  55  =  62