Channel9.id – Jakarta. Bukber atau buka puasa bersama semakin membudaya di masyarakat perkotaan, terutama kalangan kelas menengah kota pekerja kantoran. Sebagai sarana silaturrahmi, bukber bagus saja. Apalagi orang perkotaan yang untuk ketemu teman/sahabat sangat sulit.
Terlebih lagi urusannya hanya remeh temeh, dipastikan semakin sulit ketemu, meski antar teman/sahabat itu jaraknya dekat saja. Orang kota hidupnya semakin memilih dan memilah urusan. Mungkin juga, karena pepatah yang sangat populer di bus kota zaman dahulu: “time is money”
Bukber itu salah satu solusinya. Ketemu, lalu makan-makan sambil buka puasa di mall atau resto tertentu. Saking dianggap pentingnya atau tidak mau kalah tren, bahkan tiap group sudah bikin jadwal bukber sebelum masuk bulan puasa. Bagi orang yang punya banyak group, bisa jadi bulan puasa penuh dengan jadwal bukber.
Fenomena bukber ini disebut oleh Theodor Adorno, filsuf Jerman, sebagai kebudayaan massa (mass culture). Kebudayaan yang dibentuk oleh masyarakat industri atas kebutuhan eksposur bersama. Karena dibentuk masyarakat industri, tentu bukber terkait dengan produk, konsumerisme, dan konsumtif.
Pada kalangan sosialita, bukber diadakan di resto-resto mewah atau di hotel-hotel mewah. Pilihan tempat bukber mewakili kelas masing-masing. Mosok para sosialita bukber di warteg, meskipun puasa mengajarkan kesederhanaan, bisa turun kelas mereka.
Nilai-nilai asketisme puasa, dalam pengamatan saya, kurang berlaku di bukber. Orang puasa disediakan makanan berlimpah yang menggugah selera dan membuat ngiler sebelum buka puasa. Masuk magrib, seolah tumpah ruah semua nafsu yang kita tahan dari subuh itu.
Belum lagi asyik ngobrol remeh temeh membuat banyak peserta bukber lupa untuk sembahyang magrib, yang jauh lebih esensial dari sekedar bukber. Sembahyang Isya dan tarawih di lokasi, apalagi bukber di mall atau hotel, sudah pasti terlewat.
Urusan mereka meng-qadha sembahyang magrib, lalu sembahyang Isya dan tarawih di rumahnya masing-masing tidak masuk dalam amatan saya. Itu urusan terlalu privat.
Dalam masyarakat, kebudayaan massa atau kebudayaan populer seringkali lebih dikedepankan daripada esensi nilai-nilai asketisme. Begitulah perubahan masyarakat. Dinamika yang selalu berubah sesuai zamannya.
Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI