Oleh: Petrus Selestinus*
Channel9.id-Jakarta. Saeful Bahri memegang peran penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun bagi Hasto Kristiyanto (HK) dalam mengungkap kemungkinan bukti baru terkait dugaan keterlibatan HK dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku (HM), Wahyu Setiawan (WS), dan Agustiani Tio Fridelina (ATF). Dalam kasus ini, WS dan ATF diduga sebagai penerima suap, sementara Saeful Bahri berperan sebagai pemberi suap.
Meskipun hingga saat ini tidak ditemukan bukti baru yang secara langsung mengaitkan HK, setiap pengungkapan bukti baru dalam kasus yang sudah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) hanya dapat diuji melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Pengembangan penyidikan oleh KPK tidak dapat dilakukan tanpa adanya putusan PK dari terpidana yang terlibat, yaitu SB, WS, atau ATF.
Dalam sistem peradilan, KPK tidak boleh memanipulasi atau mendaur ulang kesaksian SB, WS, dan ATF melalui mekanisme pengembangan penyidikan tanpa dasar hukum yang kuat. Jika hal itu terjadi, maka berpotensi menciptakan peradilan sesat dengan menghadirkan kesaksian yang tidak sah atau bahkan sumpah palsu.
Hal ini juga menjadi tantangan bagi institusi peradilan, termasuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA). Pertanyaannya, apakah lembaga peradilan akan menerima langkah-langkah yang dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum hanya demi memenuhi keinginan KPK?
Jalan Satu-Satunya: Putusan PK
KPK hanya dapat menjerat HK jika terdapat putusan PK yang menyatakan bahwa bukti baru menunjukkan adanya aliran dana dari HK dalam kasus suap ini. Namun, terdapat kendala yuridis mendasar, yaitu bahwa pengajuan PK hanya dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya, bukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau penyidik.
Dengan demikian, satu-satunya cara bagi KPK untuk menjerat HK adalah jika salah satu terpidana—SB, WS, atau ATF—mengajukan PK dengan bukti baru yang menunjukkan bahwa dana yang diberikan kepada WS dan ATF sebagian berasal dari HK.
Selain itu, secara hukum, KUHAP dan Peraturan MA tidak mengatur mekanisme pengembangan kasus setelah putusan inkracht. Pengembangan hanya dimungkinkan selama proses penyidikan masih berjalan berdasarkan Pasal 55 KUHP. Oleh karena itu, jika KPK mengklaim memiliki bukti baru, klaim tersebut harus diuji dalam proses hukum yang sah, bukan hanya melalui pengembangan penyidikan sepihak.
Karena itu, pernyataan HK bahwa kasus yang menimpa dirinya adalah kriminalisasi hukum atau produk dari penyalahgunaan wewenang oleh penyidik KPK, sangat mungkin benar, karena KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Membahayakan Negara Hukum
Jika benar KPK berupaya melakukan kriminalisasi hukum terhadap HK tanpa dasar yang sah, maka hal ini berpotensi membahayakan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, mekanisme praperadilan menjadi instrumen penting untuk mengawasi tindakan penyidik KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam menangani perkara pidana.
Mahkamah Agung (MA) juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga netralitas hakim, terutama hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang kerap menjadi tempat pengajuan gugatan praperadilan terhadap KPK. Netralitas peradilan harus dijaga agar hukum tidak dijadikan alat kepentingan politik.
Selain itu, MA harus menyadari bahwa banyak hakim yang menjadi korban Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kondisi yang membuat mereka tidak berdaya. Rekam jejak hakim-hakim Tipikor di seluruh Indonesia konon berada dalam pantauan KPK, meskipun mekanisme pengawasan tersebut tidak selalu transparan. Jika hal ini benar terjadi, maka ada kemungkinan bahwa tindakan intimidasi terhadap hakim dalam proses peradilan menjadi ancaman serius bagi independensi peradilan.
Dalam sistem hukum yang berpegang pada asas kepastian hukum, setiap proses hukum harus dijalankan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Jika memang terdapat bukti baru terkait dugaan keterlibatan HK, maka harus diuji melalui PK yang diajukan oleh terpidana, bukan melalui pengembangan penyidikan sepihak oleh KPK.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa setiap tindakan hukum dilakukan dengan dasar yang kuat dan tidak digunakan sebagai alat kriminalisasi politik. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum harus selalu dijaga.
Baca juga: Tolak Alasan Tunda Pemeriksaan, KPK Panggil Lagi Hasto Pekan Ini
* Advokat dan Koordinator TPDI