Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Burden sharing mungkin terdengar teknis dan kaku. Namun, sederhananya ini adalah cara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berbagi beban pembiayaan. Skemanya: BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp200 triliun di pasar sekunder. Uang itu lalu digunakan pemerintah untuk program-program prioritas, seperti pembangunan perumahan rakyat dan permodalan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) yang masuk dalam Asta Cita Presiden Prabowo.
Menariknya, bunga SBN ini ditanggung bersama, separuh oleh pemerintah dan separuh oleh BI. Jadi BI ikut menanggung biaya, tanpa harus mencetak uang baru. Model ini bukan hal baru—pada masa pandemi COVID-19, burden sharing juga dipakai. Bedanya, kini arahnya ke program sosial-ekonomi, bukan hanya penyelamatan krisis.
Tentu, kritik tetap muncul. Ada yang khawatir kebijakan ini melemahkan independensi BI, melonggarkan kebijakan moneter, bahkan memicu inflasi. Sebab, ketika uang besar masuk ke pasar, risiko harga melonjak atau nilai rupiah melemah selalu membayangi.
Hanya berselang beberapa hari dari pengumuman burden sharing, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menarik Rp200 triliun dari kas pemerintah di BI. Dana itu tidak didiamkan, melainkan ditempatkan dalam bentuk deposito “on call” di bank-bank Himbara (bank milik negara) dengan bunga kompetitif. Artinya, pemerintah menyalurkan dana murah agar bank lebih leluasa memberi kredit ke sektor swasta.
Logikanya sederhana: kalau bank punya likuiditas berlimpah, pinjaman ke pelaku usaha bisa tumbuh. Kredit bergerak, sektor riil ikut bergerak.
Sepintas, dua kebijakan ini—burden sharing dan penarikan dana dari BI—terlihat seperti “mainan timbal balik”. Pemerintah mengurangi kas di BI, lalu BI membeli SBN yang diterbitkan pemerintah. Nilainya sama-sama Rp200 triliun, waktunya pun berdekatan. Tidak heran jika ada yang curiga: ini jangan-jangan hanya rekayasa likuiditas.
Namun secara teknis, keduanya berbeda.
- Penarikan dana pemerintah dari BI adalah urusan fiskal murni. Itu uang pemerintah sendiri, dipindahkan ke bank untuk mendorong kredit.
- Burden sharing adalah kombinasi fiskal-moneter. BI membeli SBN di pasar sekunder untuk mendukung pembiayaan program spesifik.
Keduanya tetap dalam kerangka koordinasi. Pemerintah butuh likuiditas untuk menggerakkan ekonomi, BI menjaga stabilitas agar tidak kebablasan.
Lalu, apa dampaknya?
Di sisi pro, langkah ini bisa jadi katalis pertumbuhan. Program perumahan rakyat dan koperasi jelas menyerap tenaga kerja dan modal bagi UMKM. Koordinasi fiskal-moneter juga tampak solid, seperti masa pandemi ketika keduanya bahu-membahu. Terpenting, ini bukan pencetakan uang baru secara serampangan, melainkan injeksi terarah.
Namun sisi kontra tak bisa diabaikan. Likuiditas berlebih rawan memicu inflasi atau menekan rupiah. Publik juga bisa menilai BI terlalu jauh masuk ke ranah fiskal, mengikis independensinya. Timing yang berdekatan dengan nominal sama persis bisa menimbulkan kesan manipulatif, meski secara hukum sah.
Pada akhirnya, yang kita saksikan adalah strategi pemerintah dan BI untuk menggerakkan ekonomi di tengah tekanan global: inflasi tinggi, rupiah melemah, pertumbuhan melambat. Alih-alih mengandalkan utang luar negeri yang mahal, pemerintah memilih mengoptimalkan dana dalam negeri dengan koordinasi erat bersama bank sentral.
Apakah ini efektif? Bisa jadi ya, kalau likuiditas benar-benar mengalir ke sektor riil, bukan berhenti di neraca bank. Tapi kalau salah kelola, bukan mustahil justru berbalik menjadi bumerang: inflasi naik, kepercayaan pasar goyah.
Seperti biasa, kuncinya ada pada eksekusi. Strategi dana mengendap hanya akan berarti jika benar-benar menetes ke ekonomi rakyat.
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial
Baca juga: JORC: Revolusi SDA atau Jebakan Oligarki?