Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Langkah yang sudah dan akan dimbil otoritas ekonomi sebagai mitigasi dampak ekonomi pandemi COVID-19 dijelaskan bersama oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada tanggal 1 April lalu. Payung hukum juga telah ditetapkan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomer 1 tahun 2020.
Konsideran menimbang dari Perpu antara lain menyebut pandemi COVID-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Pemerintah merasa perlu melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Fokusnya pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan perekonomian.
Dalam beberapa pasalnya, Perppu memberi tambahan kekuasaan cara mengelola fiskal kepada Pemerintah. Baik untuk penanganan pandemi COVID-19, maupun untuk menghadapi ancaman yang dianggap membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
Ada beberapa “tambahan kekuasaan” fiskal atau kebijakan terkait anggaran. Pertama, melampaui batas defisit anggaran yang diatur Undang-undang No.17/2003 tentang keuangan negara. Batas yang diatur UU itu sebesar tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perppu membolehkan pelampauan sampai dengan tahun 2023, atau selama tiga tahun ke depan.
Kemenkeu memprakirakan defisit APBN 2020 akan mencapai 5,07%. Rasio itu diperoleh dari prakiraan defisit nominal sekitar Rp853 triliun. Namun, outlook itu masih berdasar prakiraan “skenario berat. Asumsinya, ekonomi masih tumbuh 2,3%, inflasi terkendali 3,9%, harga minyak USD 38 dan kurs rupiah Rp17.500.
Padahal, paparan Kemenkeu menyinggung pula skenario sangat berat. Asumsinya: pertumbuhan ekonomi (-0,4%), harga minyak (USD31), kurs rupiah (20.000), dan inflasi (5,1%). Jika terjadi, maka defisit dapat mencapai 7% dari PDB. Skenario ini yang berusaha dicegah agar tidak terjadi.
Kedua, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Salah satunya, tidak harus memenuhi aturan 20 persen untuk Pendidikan.
Ketiga, melakukan realokasi atau pergeseran anggaran. Termasuk pemotongan atau penghematan. Baik pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, maupun antarprogram. Sebelumnya hanya dimungkinkan dengan pesetujuan DPR, kini boleh dilakukan secara langsung.
Keempat, menambah alokasi anggaran, diluar yang sudah ditetapkan APBN. Diperkenankan melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia.
Salah satu aspek krusialnya adalah boleh menentukan proses dan metode pengadaan barang jasa dimaksud. Jika batasannya terlampau longgar, maka rawan penyalahgunaan oleh pihak tertentu.
Keenam, menambah dan menetapkan sumber-sumber pembiayaan. Baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Bahkan boleh menerbitkan SBN yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia di pasar perdana.
Bank Indonesia memang menjelaskan tentang pembelian SBN di pasar perdana dilakukan dalam hal pasar tidak bisa menyerap seluruh SBN. Perannya sebagai “last resort”. Bagaimanapun, tetap serupa dengan kebijakan “mencetak uang”. Sehingga mutlak perlunya pertimbangan atas kondisi pasar keuangan dan dampaknya terhadap inflasi.
Ketujuh, melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Dengan kata lain dapat melewatkan beberapa prosedur yang lazim pada kondisi normal.
Perppu bahkan merasa perlu menyatakan secara eksplist hal-hal yang sebenarnya tercakup dalam tujuh hal tadi. Ada soal sumber dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada BUMN). Memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah.
Ada pula tentang tambahan wewenang dalam kebijakan di bidang perpajakan. Diantaranya berupa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap; perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk.
Perlu diketahui bahwa berbeda dengan banyak Undang-Undang yang mencantumkan tentang ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Perppu ini, ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nya, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Menkeu menjadi memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bahkan bisa “memaksa” hal-hal tertentu pada otoritas ekonomi lainnya, seperti BI, OJK dan LPS.
Konsideran Perppu dan penjelasan bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 1 April lalu memang mencoba meyakinkan publik untuk dimengerti. Bahkan ditekankan sebagai dibutuhkan. Setidaknya, dapat dibenarkan (justified).
Bagaimanapun, konten pasal-pasal Perppu membuat kekuasaan Menteri Keuangan menjadi jauh lebih besar dibanding biasanya. Dan termasuk pihak yang memiliki imunitas (kekebalan hukum) dalam dalam rangka pelaksanaan Perppu. Tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Penulis setuju langkah pemerintah menghentikan pandemik COVID-19 boleh at all cost. Karena menyangkut keselamatan dan nyawa rakyat Indonesia. Namun, perhitungan dampak ekonomi serta mitigasinya perlu perbincangan terbuka yang melibatkan lebih banyak pihak.
Penulis percaya dengan iktikad baik para pejabat otoritas ekonomi, terutama Menteri Keuangan. Namun apa memang diperlukan memberi kuasa yang sedemikian besar itu?
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi petunjuk dan kekuatan pada para pengambil kebijakan untuk selalu mementingkan nasib seluruh rakyat. Termasuk generasi yang akan datang.
Chief Economist Institut Harkat Negeri*