Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Dalam untaian sejarah bangsa Indonesia, sosok guru telah menorehkan jejak-jejak emas pengabdian yang tak lekang oleh waktu. Dari masa penjajahan hingga era digital, mereka adalah pelita yang tak pernah padam, menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih baik. Setiap zaman membawa tantangan berbeda, namun semangat para guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetap membara.
Perjalanan transformasi peran guru di Indonesia adalah kisah tentang adaptabilitas, resiliensi, dan dedikasi tanpa batas. Dari mengajar di bawah bayang-bayang kolonialisme, melalui masa revolusi kemerdekaan, hingga berhadapan dengan revolusi teknologi, guru Indonesia telah membuktikan diri sebagai pilar utama dalam membangun fondasi peradaban bangsa. Jejak perjuangan para pencetak peradaban akan kita rekam dalam artikel ini. Harapanya, kajian ini menjadi penguatan dan refleksi kita bersama hari ini di momen penting memperingati Hari Guru Nasional.
Era Kolonial: Guru sebagai Agen Pencerdasan Terbatas
Pada masa penjajahan Belanda, sistem pendidikan dirancang dengan politik diskriminatif yang sangat kentara. Pemerintah kolonial membagi sekolah menjadi tiga tingkatan berdasarkan status sosial: ELS (Europeesche Lagere School) untuk anak-anak Eropa dan elite pribumi, HIS (Hollandsch Inlandsche School) untuk pribumi kelas menengah, dan Volksschool untuk rakyat biasa.
Guru pribumi yang dikenal sebagai “onderwijzer” harus menjalani pendidikan khusus di sekolah guru seperti Kweekschool dan HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool). Mereka dididik dengan standar Eropa namun dengan gaji dan status sosial yang jauh lebih rendah dibanding guru-guru Belanda. Para guru pribumi ini harus mengajar menggunakan bahasa Belanda dan mengikuti kurikulum yang dirancang untuk kepentingan kolonial.
Peran guru saat itu sangat kompleks. Di satu sisi, mereka menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam menanamkan nilai-nilai Barat. Di sisi lain, banyak guru yang diam-diam menjadi agen pergerakan nasional, menanamkan kesadaran kebangsaan melalui pengajaran sejarah dan budaya lokal. Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sekolah alternatif seperti Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.
Era Kemerdekaan: Guru sebagai Pejuang Pendidikan Bangsa
Pasca proklamasi kemerdekaan 1945, peran guru mengalami transformasi fundamental. Para guru tidak hanya bertugas mencerdaskan bangsa, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membangun identitas nasional Indonesia yang baru merdeka. Mereka menghadapi tantangan berat karena harus beralih dari sistem pendidikan kolonial ke sistem pendidikan nasional yang masih dalam tahap pembentukan.
Di masa revolusi fisik (1945-1949), banyak guru yang menjalankan peran ganda sebagai pendidik dan pejuang. Mereka mengajar di pagi hari dan bergabung dengan laskar pejuang di sore hari. Sekolah-sekolah sering harus berpindah lokasi untuk menghindari agresi militer Belanda, namun semangat mengajar tidak pernah padam.
Tantangan utama era ini mencakup pengembangan kurikulum nasional pertama (1947) yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan bangsa merdeka, perubahan bahasa pengantar dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Pada periode rekonstruksi ini, guru menghadapi situasi yang sangat berat karena keterbatasan infrastruktur pendidikan akibat perang dan pemberantasan buta huruf yang mencapai 95% dari populasi. Namun upaya mebangun pendidikan ini tetap harus diperjuangkan dengan pendirian sekolah-sekolah baru di berbagai pelosok tanah air.
Para guru di era ini dikenal dengan semangat “perjuangan tanpa pamrih”. Mereka sering mengajar dengan gaji minimal atau bahkan tanpa gaji, menggunakan peralatan seadanya, dan berpindah dari satu desa ke desa lain untuk memastikan pendidikan bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Era Orde Baru: Guru sebagai Aparatur dan Agen Pembangunan Nasional
Era Orde Baru (1966-1998) membawa perubahan signifikan dalam struktur dan peran guru di Indonesia. Periode ini ditandai dengan birokratisasi dan standardisasi profesi guru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintah Orde Baru melakukan langkah formalisasi status guru dengan pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tahun 1971 menjadikan guru negeri sebagai bagian integral dari birokrasi pemerintahan. Hal ini berimplikasi kepada kebijakan penggunaan seragam dan atribut formal KORPRI menjadi wajib serta penerapan sistem kepangkatan dan gaji yang terstruktur.
Peran guru menjadi sangat ideologis dan politis pada masa ini karena fokus pengajaran ditekankan pada pembangunan nasional dan stabilitas politik. Guru wajib mengajarkan dan menerapkan Pancasila sebagai ideologi tunggal, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) menjadi kewajiban. Guru berperan sebagai agen sosialisasi program-program pemerintah namun disatu sisi keterlibatan dalam organisasi politik dibatasi melalui kebijakan monoloyalitas.
Pada Era Soeharto ini mulai diterapkan standardisasi pendidikan dengan penerapan kurikulum nasional yang seragam (1975, 1984, 1994), pengembangan buku teks standar dan paket instruksional, penataran guru melalui program-program pemerintah dan penerapan model pembelajaran CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Untuk kesejahteraan dan profesionalisme guru juga mulai diperhatikan dengan penerapan sistem gaji dan tunjangan yang lebih teratur, program peningkatan kualifikasi guru melalui D2 dan D3, pembentukan organisasi profesi guru seperti PGRI yang terafiliasi dengan pemerintah dan pemberian penghargaan guru teladan dan berbagai insentif lainnya.
Tantangan dan kritik sistem pendidikan pada Era Soeharto ini terletak pada kebebasan akademik terbatas karena kurikulum yang kaku, kreativitas guru terhambat oleh sistem birokrasi yang hierarkis, guru lebih berperan sebagai administrator daripada pendidik, ketergantungan pada instruksi dari atas (top-down approach) dan politisasi profesi guru untuk kepentingan stabilitas rezim dengan cara indoktrinasi ideologi Negara.
Era Orde Baru meninggalkan warisan ganda dalam sejarah pendidikan Indonesia. Di satu sisi, periode ini berhasil membangun sistem pendidikan nasional yang terstruktur dan memperluas akses pendidikan dan pengembangan infrastruktur pendidikan secara masif. Namun di sisi lain, politisasi dan birokratisasi profesi guru menciptakan kultur yang hingga kini masih mempengaruhi dinamika pendidikan di Indonesia.
Era Reformasi: Guru sebagai Profesional Pendidik
Era Reformasi (1998-sekarang) membawa angin segar bagi profesionalisme guru di Indonesia. Momentum terpenting adalah disahkannya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengakui guru sebagai profesi dan memberikan perlindungan hukum yang kuat.
Perubahan fundamental di era reformasi meliputi implementasi program sertifikasi guru dengan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, standarisasi kualifikasi minimal guru menjadi S1/D4, pengembangan kompetensi guru dalam empat aspek: pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional dan otonomi pendidikan yang memberikan ruang kreativitas lebih luas bagi guru
Inovasi pembelajaran yang dikembangkan pada periode ini diantaranya: penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum 2013, pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), penilaian berbasis kelas dan penilaian autenti dan pengembangan pembelajaran kontekstual dan project-based learning
Tantangan era reformasi semakin meluas yang berdampak pada kesenjangan kualitas guru antar daerah, distribusi guru yang belum merata, beban administratif yang masih tinggi dan tuntutan peningkatan kompetensi yang berkelanjutan
Era Digital: Kompleksitas Peran dan Tantangan Baru
Di era digital saat ini, guru menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Dampak revolusi digital menghadirkan transformasi dramatis dalam peran guru di Indonesia. Pandemi COVID-19 menjadi katalis yang mempercepat adopsi teknologi dalam pendidikan, memaksa guru untuk beradaptasi dengan cepat dalam waktu singkat.
Beberapa tantangan utama yang dihadapi guru saat ini dengan semakin derasnya perkembangan digital mengharuskan guru beradaptasi dengan teknologi. Guru dituntut untuk menguasai berbagai platform digital dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Pandemi COVID-19 semakin mempercepat kebutuhan akan transformasi digital dalam pendidikan. Kemampuan mengelola kelas virtual dan menciptakan konten digital menjadi keterampilan wajib.
Selain itu guru dihadapkan pada persaingan dengan sumber informasi. Internet dan media sosial menyediakan akses tak terbatas terhadap informasi. Guru harus mampu memposisikan diri bukan hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai pemandu yang membantu siswa memilah informasi yang kredibel dan relevan.
Saat ini guru dituntut tidak hanya menguasai konten ilmunya, namun juga harus juga mengembangkan keterampilan Abad-21. Guru berperan penting dalam mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang semakin kompleks. Mereka harus memfasilitasi pengembangan keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi efektif.
Tidak hanya itu, tantangan terbesar di tengah arus digitalisasi, guru tetap harus menjaga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan penanaman nilai-nilai karakter. Mereka berperan penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cakap teknologi tetapi juga memiliki integritas dan empati.
Tantang kompleks inilah yang membuat guru harus terus berproses menggali ilmu, memperbaharui pengetahuan, keterampilan dan pengembangan kemampuan diri Perkembangan teknologi yang pesat, mau tidak mau mengharuskan guru untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat guna menghadapi perubahan zaman yang semakin kompleks.
Refleksi dan Harapan: Merajut Masa Depan Pendidikan Indonesia
Perjalanan panjang profesi guru di Indonesia, dari era kolonial hingga era digital, mencerminkan ketangguhan dan adaptabilitas para pendidik bangsa. Di setiap era, guru telah membuktikan diri sebagai pilar utama pembangunan peradaban, menghadapi setiap tantangan dengan keteguhan hati dan semangat pengabdian.
Menatap masa depan, profesi guru akan terus berevolusi, namun esensi mereka sebagai pencetak generasi berkualitas tidak akan tergantikan oleh teknologi apapun. Kehadiran mereka tetap menjadi mercusuar yang menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih cerdas, berkarakter, dan bermartabat. Tantangan boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi sentuhan kemanusiaan seorang guru akan selalu menjadi kunci dalam membentuk masa depan bangsa.
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia