Channel9.id-Jakarta. Puluhan serikat pekerja di Jawa Barat yang tergabung dalam Keluarga Besar KSPSI Provinsi Jawa Barat dan SP/SB Provinsi Jawa Barat melakukan aksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan Kantor Gubernur Jawa Barat.
Dalam aksinya para buruh tersebut menyampaikan 5 tuntutan, yaitu menolak Gugatan Pembatalan SK UMK Tahun 2020 yang diajukan oleh APINDO Jawa Barat; Cabut huruf D DIKTUM KETUJUH SK UMK Tahun 2020; menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja; meminta untuk segera diterbitkan SK UMSK Kab/Kota Tahun 2020 dan menolak UU TAPERA.
Ketua DPD KSPSI Provinsi Jawa Barat, Roy Jinto Ferianto beralasan, SK UMK Tahun 2020 yang diterbitkan Gubernur Jawa Barat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana diwajibkan untuk menetapkan upah minimum pasal 88 ayat (4) dan pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, produk hukum Pemerintah Daerah dalam membuat Penetapan yaitu melalui PERGUB dan SK.
“Keinginan APINDO Jawa Barat kembali ke Surat Edaran (SE) tidak mempunyai landasan hukum dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Roy, di PTUN Bandung, Selasa (28/07).
Sementara itu, lanjutnya, untuk alasan Pencabutan Huruf D Diktum Ketujuh SK UMK Tahun 2020 adalah Pengadilan TUN Bandung harus mencabut huruf D Diktum Ketujuh SK UMK Tahun 2020. Menurut Roy, huruf D Diktum Ketujuh tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 90 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan KEPMEN 231 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum.
Huruf D Diktum Ketujuh memberikan ruang kepada pengusaha untuk membayar upah buruh dibawah UMK Tahun 2020, tanpa harus mengajukan penangguhan sesuai KEPMEN 231 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum dan penambahan huruf D Diktum Ketujuh dalam SK UMK baru terjadi pada Tahun 2020.
Menurut Roy, alasan penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena Omnibus Law hanya untuk kepentingan kaum pemodal dengan mengorbankan pekerja atau buruh, dan bukan untuk mensejahterakan buruh.
“Aturan ini menyerahkan persoalan hubungan industrial hak dan kewajiban buruh dan pengusaha kepada mekanisme pasar (liberal) serta menghilangkan tanggung jawab negara kepada rakyatnya dalam memberikan perlindungan,”jelasnya.
Roy menilai, RUU ini memberikan setralisasi kekuasaan kepada Pemerintah Pusat yang pada akhirnya menghapus kewenangan otonomi daerah.
“RUU ini juga menghilangkan kepastian pekerjaan, kepastian penghasilan dan kepastian jaminan sosial bagi pekerja/buruh beberapa hak-hak fundamental buruh yang di hapus/dihilangkan,” lanjutnya.
Kemudian, alasan lain tuntutan Penerbitan SK UMSK Tahun 2020 karena telah membuat keresahan kaum buruh khususnya di beberapa kabupaten/kota. Selama ini upah minimum buruhnya berdasarkan UMSK, sementara sebelum adanya SK UMSK Tahun 2020 sejak Januari 2020 sebagian besar buruh di wilayah tersebut belum menerima kenaikkan upah.
Roy menilai, tidak ada alasan bagi Gubernur Jawa Barat tidak menerbitkan SK UMSK karena pada dasarnya usulan UMSK Kab/Kota tersebut pada umumnya didasarkan pada kesepakatan Serikat Pekerja/Buruh dengan Apindo di Kab/Kota dan telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk penolakan UU TAPERA, menurutnya UU ini sangat memberatkan kaum pekerja/buruh dengan beban iuran 2,5% dari upah buruh dan beban pengusaha hanya 0,5%. Disamping itu, lanjut Roy, selama ini untuk perumahan buruh telah dicover dalam program B.P. Jamsostek melalui Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP).
“Program ini hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang belum punya rumah. Sedangkan buruh yang sudah punya rumah program perumahan tidak berlaku tetapi ternyata tetap harus membayar iuran 2,5%. Jadi, pemerintah hanya mengumpulkan uang buruh yang dikelola oleh Badan Pengelola TAPERA,” pungkasnya.
IG