Channel9.id-Johor Bahru. Malaysia sepertinya kekurangan satu hal: kreativitas menyusun narasi untuk menjelaskan mengapa kota-kotanya dipenuhi burung gagak. Tak satu pun kisah rakyat mengabadikan burung hitam itu sebagai penjaga langit, pengantar arwah, atau simbol mistis kebijaksanaan seperti dalam mitologi Jepang atau Skandinavia.
Ketika Channel9.id berkunjung ke Johor Bahru, untuk meliput pentas Wayang Santri Tour Malaysia dengan Dalang Ki Haryo Enthus Susmono, 19 dan 20 Juli 2025, tampak burung-burung berisik ini asyik menghinggapi setiap kabel listrik, pohon taman, dan atap rumah—tanpa satupun narasi yang menyertainya. Mereka jelas penguasa langit di sana.
Johor Bahru menjadi salah satu kota yang paling terdampak polah si hitam. Populasi gagak di ujung selatan semenanjung Malaya telah berkembang secara signifikan dalam dua dekade terakhir. Menurut data dari Majlis Bandaraya Johor Bahru (MBJB), jumlah burung gagak rumah (Corvus splendens) yang terpantau di wilayah perkotaan meningkat dari sekitar 20.000 ekor pada 2005 menjadi lebih dari 60.000 pada 2023. Angka itu diperkirakan hanya mewakili sebagian kecil dari total populasi, karena tidak semua kawasan bisa dimonitor secara konsisten.
Betul, fenomena ini tidak hanya terjadi di Johor Bahru. Kota-kota besar lain seperti Kuala Lumpur, Shah Alam, dan George Town juga menghadapi masalah serupa. Namun, Johor Bahru menempati posisi unik. Urbanisasi yang masif, hilangnya hutan-hutan yang merupakan rumah hewan predator gagak–dan beralih menjadi kebun sawit, serta sistem pengelolaan sampah yang belum optimal, menjadikan kota ini surga yang sempurna bagi spesies burung oportunistik seperti gagak.
Gagak dikenal culas, adaptif, dan tidak pilih-pilih makanan. Mereka mampu membuka kantong plastik, mencuri makanan dari tangan manusia, dan bahkan mengganggu hewan lain untuk merebut makanan. Mereka berkembang biak cepat, membangun sarang di pohon rindang atau tiang listrik, dan menetap secara permanen. Tak heran jika Johor Bahru dianggap sebagai salah satu titik terpadat populasi gagak di Asia Tenggara.
Di kawasan Laman Damai, Puan Ros seorang ibu pemilik restoran, menyatakan, setiap pagi, halaman depan restorannya penuh dengan kotoran burung. Pelanggan terganggu. Bahkan pernah sekali gagak mencuri ayam goreng yang sedang dibawa keluar.
Keluhan serupa datang dari warga perumahan di sekitar Larkin. Seorang ibu rumah tangga mengungkapkan, anaknya pernah ketakutan karena seekor gagak mengepak terlalu rendah saat ia sedang bermain di halaman. “Suaranya keras, mukanya seram, dan membuat panik,” ujarnya.
Gangguan visual, bau, dan suara dari kawanan gagak telah memengaruhi kualitas hidup warga. Tak sedikit pula yang menyebut keberadaan burung ini sebagai noda di wajah kota. Dalam sebuah artikel, seorang kolumnis menulis, “gagak membuat kota ini tampak jorok dan tidak terurus. Mereka bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga masalah reputasi.”
Sebenarnya ada cara untuk membuat gagak tak lagi mengganggu. Singapura, misalnya, pernah mengalami invasi gagak pada era 1990-an. Namun pemerintah negeri singa itu satset. Mereka segera mengambil tindakan tegas. Melalui pendekatan ekologis dan kebijakan ketat, termasuk pengendalian sampah dan larangan memberi makan burung di tempat umum, populasi gagak berhasil ditekan drastis. Hari ini, Singapura nyaris bebas dari suara khas “kraak-kraak” di pagi hari.
Di sisi lain, kota-kota besar di Sumatera seperti Medan atau Pekanbaru tampaknya belum menunjukkan gejala serupa. Para ahli ekologi urban menjelaskan, gagak rumah tidak mudah menyeberangi ekosistem yang masih memiliki predator alami, seperti elang atau burung hantu.
Di Sumatera, meskipun urbanisasi tumbuh, integrasi dengan lingkungan alam masih lebih kuat daripada di kota-kota Malaysia barat. Masih banyak predator semacam Elang di langit Sumatera yang ditakuti para gagak.
Kegagalan Operasi Pemberantasan
Keberadaan gagak rumah juga berkaitan erat dengan pola hidup manusia. Di Johor Bahru, masih banyak pasar terbuka, warung makan di pinggir jalan, dan tempat pembuangan sampah terbuka. Semuanya menjadi buffet mewah bagi kawanan gagak. Kebiasaan warga yang sembarangan membuang makanan turut memperkuat siklus ekologis yang tidak sehat ini.
MBJB sebenarnya telah melakukan berbagai upaya pengendalian. Salah satunya adalah operasi penangkapan dan pemindahan gagak sejak 2016. Namun efektivitasnya dipertanyakan. Dalam beberapa kasus, burung-burung itu kembali dalam waktu kurang dari dua minggu. Upaya lain seperti pemasangan paku antipendaratan dan pengeras suara pengusir burung hanya memberikan efek sesaat.
Pada 2022, pemerintah lokal mencoba pendekatan edukatif melalui kampanye “Jangan Bagi Makan Burung,” namun dampaknya masih minim. Kurangnya koordinasi antara sektor kebersihan, perumahan, dan pertamanan membuat strategi ini tidak berkelanjutan.
Sebagian pihak bahkan menyerukan untuk berdamai saja. Gagak dianggap bagian dari lanskap kota. Alih-alih menyingkirkan mereka, sebagian mengusulkan agar desain kota diubah agar mereka tidak merasa nyaman untuk berkembang biak di tempat yang tidak seharusnya.
Pendapat ini mencerminkan pergeseran cara pandang dari eradikasi menuju koeksistensi. Namun tentu saja, koeksistensi butuh batasan dan tanggung jawab. Gagak tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka hanya mengambil peluang dari sistem kota yang cacat.
Celakanya lagi, absennya mitos atau legenda tentang gagak di Malaysia—berbeda dengan Jepang yang menjadikan gagak sebagai burung suci Yatagarasu—mungkin membuat kekesalan semakin tebal. Tanpa kisah-kisah pelipur lara, warga kota dipaksa menghadapi realita tanpa tabir romantisme. Warga harus mengakui, gagak menjadi masalah semata karena kesalahan manusia.
Jika suatu hari gagak-gagak itu pergi—bukan karena diburu, tetapi karena tidak lagi menemukan makanan di trotoar dan tong sampah terbuka—mungkin itulah saatnya Johor Bahru benar-benar naik kelas. Bukan sebagai kota yang bebas burung, tetapi kota yang berhasil berdamai dengan dirinya sendiri.
Baca juga: Lewat Tour Wayang Santri Malaysia 2025, Muzani Ajak Pererat Silaturahmi Indonesia-Malaysia