Opini

Dana Pusat ke Papua Hanya Memperkaya Elit Papua

Oleh: Ferdy Hasiman*

Channel9.id-Jakarta. Alokasi dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Papua sangat besar. Itu mencakup dana perimbangan (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) serta dana otonomi khusus.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Keuangan Negara (BPK) pada tahun fiskal 2017, total dana perimbangan untuk provinsi Papua mencapai Rp 3.7 triliun dan dana otonomi khusus sebesar Rp 8.2 triliun. Dengan demikian, total pendapatan pemerintah provinsi Papua dari transfer pusat tahun 2017 mencapai Rp 11.9 triliun. Namun, dana sebesar itu gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Papua.

Yang menikmati keuangan dari dana perimbangan dan otsus hanya elit-elit dan birokrat Papua. Angka kemiskinan Papua dalam lima tahun belakangan tidak pernah membaik siginfikan. Per September 2016, kemiskinan di sana mencapai 28.54%. Akhir tahun 2017 menurun sedikit menjadi 27, 62% dan tahun 2018 tercatat 27.74% (BPS: 2019). Data-data itu menunjukan bahwa angka kemiskinan di provinsi Papua paling tinggi dari 34 provinsi di Indonesia, di belakang Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Pejalnya angka kemiskinan itu juga tak berbeda dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua. Terhitung sejak tahun 2013-2019, IPM Papua tidak bergerak dan selalu konsisten di angka 34. Angka IPM ini mencerminkan buruknya angka kesehatan, pendidikan, buta huruf dan standar hidup. Ketimpangan itu bisa dilihat dari Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) per Septermber 2017 sebesar 1.93% dan 2018 sebesar 1.82 % dari rata-rata nasional sebesar 0.43 (2017) dan 0,41 % (2018).

Rendahnya kesejahteraan orang Papua, di tengah derasnya transfer dana pusat ke wilayah itu, menimbulkan dugaan bahwa dana transfer tadi hanya memperkaya segelintir elit dan birokrat Papua. Cuma porsi terkecil dana transfer yang diperuntukan bagi rakyat miskin.

Berdasarkan laporan Audit BPK 2017, misalnya, dari total pendapatan pemerintah provinsi Papua dari pusat yang sebesar Rp 11.9 triliun, hanya Rp 1.2 triliun yang dialokasikan untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan (gas, listrik). Cuma 10%-nya saja. Padahal, infrastruktur publik, irigasi untuk sektor pertanian Papua memerlukan anggaran yang besar.

Di saat yang sama, dana operasional pemerintahan provinsi Papua ternyata sangatlah besar. Nilainya mencapai Rp 5.59 triliun atau 53.6 % dari total transfer pusat ke daerah.

Perilaku elit Papua yang gemar hilir-mudik Jakarta-Papua, Papua-Luar Negeri, bisa terlihat dari beban perjalan pemerintah provinsi Papua. Beban perjalan dinas sebesar Rp374.4 miliar tahun 2017. Perjalan ke luar daerah sebesar Rp 189 miliar, perjalan ke luar negeri Rp 7.1 miliar dan dalam daerah Rp176.5 miliar. Sementara realisasi anggaran pendidikan hanya Rp 269 miliar dan beasiswa pendidikan untuk non-PNS hanya sebesar Rp 235 juta.

Data neraca pendidikan daerah tahun 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudaya mengokonfirmasi alokasi anggaran pendidikan Papua. Berdasarkan data Kemendikbud, APBD untuk pendidikan di Papua hanya sebesar 1.4 %, paling rendah untuk seluruh Indonesia. Padahal, UU N0.20/2003, mengamantkan alokasi dana untuk pendidikan dari APBN/APBD sebesar 20 %.

Alokasi anggaran memang dinilai efisien, tetapi tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak produktif. Dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi Papua tahun 2017 sangat besar, mencapai Rp 1.038 triliun. Namun, dana hibah terbesar bukan untuk masyarakat Papua, tetapi untuk organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mencapai angka Rp 247.159 miliar. Sementara untuk kelompok masyarakat hanya sebesar Rp 7,655 miliar. Lalu, hibah kepada pemerintah tercatat Rp 128,21 miliar. Betapa pelitnya pemerintah provinsi Papua mengeluarkan dana hibah untuk kepentingan masyarakat kecil.

Masih ada lagi yang aneh. Belanja jasa kantor tahun 2017 sebesar Rp 223 miliar, belanja sewa sarana mobilitas Rp 100 miliar (tiket, penginapan, hotel), makan dan minuman Rp 697 miliar dan belanja kepada pihak ketiga Rp 733 miliar. Masih banyak deretan kejanggalan lain yang harus diperiksa dalam laporan keuangan Provinsi Papua.

Pemerintah Provinsi Papua memang seakan tidak peduli terhadap rakyatnya. Lalu tokoh masyarakat Papua meminta kepada presiden untuk melakukan pemekaran menjadi 5 provinsi di Papua. Ini jadi tidak realistis mengingat pemerintah daerah di Papua belum mampu mengolah anggaran daerah dengban baik. Dana alokasi pusat, hanya membuat elit Papua menjadi kaya, sementara rakyat kecil tetap miskin”

Itulah sebabnya, Otonomi Khusus (otsus) yang diamanatkan UU No. 21/2001 cenderung gagal. Kebijakan khusus untuk melindungi dan memberdayakan warga asli, miskin implementatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Pemerintah juga gagal mendesain pendidikan bagi anak Papua, sehingga Otsus gagal memberi peluang kerja bagi putra-putri daerah.

Intervensi pemerintah pusat melalui dana perimbangan dan dana Otonomi Khusus tak pernah menyentuh rakyat kecil. Seberapapun besarnya alokasi dana dari pusat ke daerah, tak tidak akan berfaedah di tengah amburadulnya manajemen otonomi daerah seperti di Papua.

Pemerintah pusat wajib membangun struktur otoritas birokrasi yang sehat di Papua agar uang rakyat tidak dihabiskan dalam perjalanan menuju Papua. Agar masalah kemiskinan dan penderitaan di Papua teratasi. Elit-elit Papua jangan menunjuk-tunjuk ke pusat, seolah-olah hanya pusat yang bertanggung jawab terhadap masalah Papua. Padahal, masalah yang sangat besar di Papua adalah gagalnya pemerintah daerah membangun struktur pemerintah kuat dan struktur birokrasi yang bersih di pulau surga itu.

*Peneliti Alpha Research Database dan penulis buku: “Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  8  =