Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Di tengah gemerlap istana Majapahit pada abad ke-14, seorang patih bernama Gajah Mada sedang merancang sebuah gagasan yang akan bertahan hingga ratusan tahun kemudian. Ia membentuk pasukan khusus yang diberi nama “Bhayangkara” untuk menjaga keamanan kerajaan dan melindungi rakyat. Siapa sangka, nama yang dipilih Gajah Mada ini akan menjadi identitas kepolisian Indonesia hingga hari ini.
Kata “Bhayangkara” terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Sansekerta: “bhaya” yang berarti bahaya atau ketakutan, dan “kara” yang berarti pembuat atau pelaku. Jika digabungkan, Bhayangkara bermakna “penghilang ketakutan” atau “pembuat rasa aman”. Makna filosofis ini sangat mendalam, karena menggambarkan esensi sejati dari tugas seorang penjaga keamanan.
Jejak Sejarah Kepolisian Indonesia
Setelah kejatuhan Majapahit, konsep Bhayangkara seolah tenggelam dalam pusaran sejarah. Masa kolonial Belanda membawa sistem keamanan yang sama sekali berbeda, yang lebih mengutamakan kepentingan penguasa asing ketimbang perlindungan terhadap rakyat pribumi.
Pemerintah Belanda memang membentuk pasukan keamanan dari kalangan pribumi, namun tujuannya bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa. Pada 1867, sebanyak 78 orang pribumi direkrut oleh warga Eropa di Semarang khusus untuk menjaga keamanan mereka. Sistem kepolisian kolonial sangat terspesialisasi dengan berbagai jenis seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), dan cultur politie (polisi pertanian) dan bestuurs politie yang bekerja sama dengan pamong praja. Namun, pribumi hanya diizinkan menduduki posisi rendah seperti mantri polisi atau wedana polisi. Posisi-posisi strategis dan pengambilan keputusan tetap dikuasai penuh oleh orang-orang Eropa.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang terbentuk antara 1897-1920 inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kepolisian Indonesia saat ini. Meski sistemnya diskriminatif, struktur dan pengalaman organisasi yang terbentuk menjadi fondasi penting bagi perkembangan kepolisian Indonesia di masa depan.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, mereka mengubah struktur kepolisian menjadi lebih terpusat dengan membagi wilayah menjadi empat bagian besar: Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera di Bukittinggi, Kepolisian Indonesia Timur di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan di Banjarmasin. Pembagian wilayah ini mencerminkan strategi militer Jepang untuk mengendalikan seluruh nusantara.
Yang menarik, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan membubarkan organisasi militer seperti Peta dan Gyu-Gun, institusi kepolisian tetap berfungsi. Bahkan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, polisi-polisi pribumi sudah mulai mengambil inisiatif. Inspektur Kelas I Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, dengan berani memproklamasikan berdirinya Pasukan Polisi Republik Indonesia. Langkah ini bukan hanya simbolis, tetapi juga praktis untuk memulai proses pelucutan senjata tentara Jepang dan mengambil alih kendali keamanan.
Kelahiran Kembali: 1 Juli 1946
Hampir setahun setelah kemerdekaan, pada 1 Juli 1946, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946. Dokumen ini menyatukan berbagai korps kepolisian daerah menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terpadu.
Saat itu, kondisi kepolisian Indonesia sangat terpecah-pecah. Di Jawa ada Polisi Republik Indonesia (PRI), di Sumatera ada Polisi Rakyat Indonesia (Polri), dan masih banyak korps daerah lainnya. Keputusan penyatuan ini bukan hanya masalah teknis, melainkan pernyataan politik bahwa Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas sistem keamanannya.
Para pendiri bangsa memilih menghidupkan kembali nama “Bhayangkara” sebagai identitas kepolisian Indonesia. Pilihan ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya menghubungkan masa depan Indonesia dengan akar sejarah dan budayanya yang kaya.
Perjalanan Polri setelah 1946 tidaklah mulus. Pada 1962, di masa Orde Baru, Polri diintegrasikan ke dalam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan menjadi bagian dari struktur militer. Periode ini berlangsung selama 37 tahun, hingga era Reformasi membawa angin perubahan.
Tahun 1999 menjadi titik balik penting ketika Polri kembali menjadi institusi sipil yang terpisah dari TNI melalui Ketetapan MPR No. VI dan VII/MPR/2000. Pemisahan ini mengembalikan Polri ke fungsi aslinya sebagai penegak hukum sipil yang melayani masyarakat, bukan sebagai alat politik penguasa.
Refleksi untuk Masa Kini
Hari Bhayangkara 2025 mengajak kita merenungkan perjalanan panjang dari Majapahit hingga kini. Dalam rentang waktu hampir 700 tahun, makna Bhayangkara telah mengalami evolusi yang luar biasa, namun esensinya tetap sama: melindungi dan mengayomi masyarakat.
Tantangan yang dihadapi Polri hari ini jauh lebih kompleks dibandingkan era Gajah Mada. Kejahatan tidak lagi hanya bersifat konvensional, tetapi telah merambah ke dunia digital dengan munculnya cybercrime, penipuan online, dan terorisme virtual. Ancaman tidak lagi datang dari musuh yang terlihat mata, tetapi juga dari jejaring kejahatan transnasional yang beroperasi tanpa mengenal batas negara.
Namun, prinsip dasar Bhayangkara tetap relevan. Seperti halnya pasukan Gajah Mada yang bertugas “menghilangkan ketakutan” rakyat Majapahit, Polri hari ini juga harus mampu menciptakan rasa aman bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bedanya, definisi “rasa aman” kini telah meluas mencakup keamanan fisik, digital, ekonomi, dan sosial.
Hari Bhayangkara mengingatkan kita bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga setiap warga negara. Gajah Mada berhasil membangun Majapahit yang besar karena mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Demikian pula, Polri hari ini membutuhkan partisipasi aktif masyarakat untuk menciptakan Indonesia yang aman dan sejahtera.
Makna sejati Bhayangkara bukan sekadar tentang penegakan hukum, tetapi tentang membangun kepercayaan, melayani dengan hati, dan menjadi pelindung sejati bagi bangsa. Inilah warisan mulia yang harus terus kita jaga dan kembangkan untuk generasi mendatang.
Baca juga: Sekolah Pribumi: Sebuah Perlawanan dan Fondasi Kemerdekaan Melalui Pendidikan
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah – Rafflesia Institute