Oleh: Reza Fahlevi*
Channel9.id-Jakarta. Parade pelanggaran protokol kesehatan sejumlah pasangan calon (Paslon) Kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 saat pendaftaran ke KPU menjadi bahan evaluasi para pemangku kebijakan.
KPU RI, atas usulan Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI, untuk memperbaiki Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur aturan main dalam Pilkasa 2020. Salah satu regulasi yang diperbaiki ialah metode kampanye, yakni Paslon, partai politik dan tim sukses tidak diperbolehkan sama sekali menggelar kampanye dalam bentuk Rapat Umum atau bentuk kampanye lain sejenis yang berpotensi mengumpulkan kerumunan massa.
Hal tersebut sesuai Pasal 88C pada PKPU 13 Tahun 2020, yang berbunyi: Bahwa “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon, Tim Kampanye, dan/atau pihak lain dilarang melaksanakan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g dalam bentuk: a. rapat umum; b. kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; c. kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; d. perlombaan; e. kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; dan/atau f. peringatan hari ulang tahun Partai Politik.”
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan menegaskan, penyelenggaraan rapat umum pada masa kampanye dalam tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020 tidak diperkenankan.
Menurut Benni, ketentuan itu diatur secara tegas melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). “Rapat umum dilarang, dengan demikian kampanye via daring (online) mesti didorong,” tegas Benni.
Lebih lanjut, Benni menjelaskan, melalui revisi ini ketentuan pada Pasal 63 yang semula membolehkan pelaksanaan rapat umum diubah, sehingga Pasal 63 pada PKPU 13 Tahun 2020 berbunyi, “Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g dilaksanakan dalam bentuk Kampanye melalui Media Sosial dan Media Daring.”
Mantan Direktur di Ditjen Bina Pemerintahan Desa itu menjelaskan bagi daerah yang tidak bisa mengakses atau di luar jangkauan media sosial dan media daring dapat memanfaat pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog dapat dilakukan dalam ruangan atau gedung dengan mengikuti ketentuan protokol kesehatan Covid-19.
Menurutnya, para Paslon yang daerahnya memiliki keterbatasan jaringan internet, bisa memanfaatkan pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka atau dialog yang dilakukan dalam ruangan atau gedung yang dihadiri peserta secara keseluruhan maksimal 50 orang dan memperhatikan protokol kesehatan yaitu menjaga jarak paling kurang 1 meter. Selain itu, para peserta kampanye harus menggunakan APD paling kurang berupa masker yang menutupi hidung, mulut hingga dagu; menyediakan sarana sanitasi fasilitas cuci tangan dengan perlengkapannya dan wajib mematuhi ketentuan protokol kesehatan lainnya.
Kemendagri meminta agar PKPU Nomor 13 Tahun 2020 yang baru saja diterbitkan KPU pada Rabu (23/9), harus benar-benar dipatuhi dan dijalankan dengan konsisten oleh seluruh pihak, terutama para paslon, partai politik pengusung, tim sukses, dan seluruh pendukung di daerah.
Karena aturan tersebut adalah upaya serius dari pihak penyelenggara bersama pemerintah dan DPR untuk mewujudkan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang aman dari Covid-19 dan tidak menjadi kluster penyebaran.
Sebelumnya, dalam PKPU No.10/2020 yang mengizinkan menggelar konser musik dalam rangka kampanye Pilkada 2020 telah meresahkan banyak pihak. Salah satunya dari Mendagri Muhammad Tito Karnavian yang akhirnya mengusulkan KPU untuk memperbaiki PKPU-nya.
Sebagai informasi, sesuai PKPU terbaru, yang diperbolehkan dalam Pilkada 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 57 PKPU 13/2020:
Kampanye Pemilihan Serentak Lanjutan dapat dilaksanakan dengan metode:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik atau debat terbuka antar-Pasangan Calon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan Alat Peraga Kampanye;
f. penayangan Iklan Kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, Media Sosial, dan/atau Media Daring; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara larangan dan sanksi Pilkada 2020 menurut PKPU No.13/2020, jika partai politik, pasangan calon kepala daerah atau tim kampanye melanggar ketentuan tersebut, maka akan dijatuhi sanksi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 88C Ayat (2) PKPU 13/2020.
Sanksi bisa berupa peringatan tertulis oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota pada saat terjadinya pelanggaran.
Namun, apabila peringatan tertulis tak diindahkan, Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota berhak melakukan penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran.
Dalam hal pihak yang bersangkutan telah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak mematuhi protokol kesehatan COVID-19, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, atau Panwaslu Kelurahan/Desa menyampaikan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19 kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah setempat untuk diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Nah, jadi buat para Paslon Kandidat, Parpol, dan Timsesnya yang masih pada mbalelo, nakal dan tidak taat aturan protokol kesehatan sesuai PKPU No.13/2020, maka berlaku penegakan disiplin dan sanksi hukum yang tegas, dimana dalam PKPU itu didasarkan sesuai dengan sejumlah UU yang bersinggungan dengan Pilkada maupun pandemi Covid-19.
Sekali lagi penulis kutip ulang Pasal 88A, Ayat (3): Panwaslu Kecamatan, atau Panwaslu Kelurahan/Desa menyampaikan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19 kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah setempat untuk diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi, sesuai aturan Perundang-Undangan, berlaku secara hukum sesuai sara Mendagri Tito Karnavian ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, khususnya Pasal 69 huruf e dan huruf j dan 187 ayat (2) dan ayat (3) dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular khususnya Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)”, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan khususnya Pasal 93.
Saran lain dari Mendagri terkait penegakan hukum pelanggar protokol kesehatan dalam Pilkada, yaitu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bisa dilakukan bagi pihak yang melanggar protokol kesehatan selama penyelenggaraan pilkada. Pasal KUHP yang bisa digunakan ialah pasal 212, 214, 216 ayat (1), dan 218 KUHP yang pada intinya apabila melakukan perlawanan dan tidak berkenan dibubarkan saat berkerumun, dapat dikenakan sanksi pidana.
Jadi, jelas ya tidak ada satu pun pemerintah di dunia ini yang ingin mengorbankan rakyatnya.
Nah, jangan lagi ada narasi Pilkada hanya akan menjadikan rakyat sebagai korban karena Pilkada berpotensi menjadi kluster penyebaran Covid-19. Karena, dengan sejumlah aturan dan regulasi yang sudah diformulasikan bersama antara DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu, hal tersebut merupakan perwujudan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
*Direktur Eksekutif The Jakarta Institute