Deradikalisasi Cum Literasi
Opini

Deradikalisasi Cum Literasi

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Eks napiter sebagai sekumpulan orang yang pernah terlibat dalam tindak pidana terorisme, dipenjara lalu bebas, memunculkan beberapa pertanyaan. Kemana mereka akan pergi setelah bebas dari penjara?. Akankah mereka mengulangi perbuatan teror lagi? Dapatkah mereka dijauhkan dari terorisme selama pembinaan di penjara? Apakah mereka akan diterima oleh masyarakat sekembalinya di lingkungannya?

Menangani persoalan eks napiter menjadi masalah besar bagi penanggulangan terorisme di Indonesia. Kembalinya mereka ke masyarakat bukan berarti tanpa risiko. Salah satu risiko yang sangat penting adalah keyakinan akan ideologi radikal yang tertanam sejak berada di jaringannya. Akibatnya, eks napiter menjadi rentan untuk kembali bergabung dengan kelompok teroris, hingga melakukan aksi serupa.

Selama ini, masih barangkali ada kelemahan pengetahuan ilmiah tentang terorisme di lingkungan akademisi. Fakta ini justru menjadi alasan kurang memadainya upaya deradikalisasi terkhusus pada eks napiter. Konsep dan pendekatan tentang deradikalisasi seperti pendekatan psikologi belum banyak menyumbang kejituan deradikalisasi. Kali saja hal ini disebabkan rumusan teoritis dari pendekatan tersebut belum matang. Bahkan pula, bisa dinyatakan bahwa rumusan pendekatan deradikalisasi seperti ini berasal dari paradigma dan teori yang kurang tepat. Sepatutnyalah di kalangan akademisi maupun juga pegiat bersama mengembangkan pendekatan yang tidak konvensional tentang deradikalisasi.

Baca juga: Infrastruktur dan Peradaban

Menimang Deradikalisasi

Dalam kajian terorisme, lazim dibedakan dua pendekatan yaitu deradikalisasi dan disengagement. Dua istilah ini menggambarkan proses dimana individu atau kelompok menghentikan keterlibatan mereka dari kekerasan. Disengagement adalah proses dimana anggota kelompok teror, gerakan radikal, geng, atau sekte memilih untuk menghentikan partisipasi dalam tindakan kekerasan. Mereka dapat melakukannya baik dengan meninggalkan gerakan atau dengan bermigrasi dari kekerasan ke nir-kekerasan. Dengan begitu, istilah tersebut berkonotasi perubahan perilaku. Berbeda dengan deradikalisasi ideologis, yang menunjukkan delegitimasi ideologi yang mendasari penggunaan kekerasan. Dengan kata lain, deradikalisasi menunjukkan perubahan dalam nilai dan sikap. Hasil penelitian Julie Chernov Hwang dalam,. Why They Join: Pathways into Indonesian Jihadist Organizations (2015), pada kelompok teror atau gerakan radikal, pandangan individu terhadap kekerasan dapat bervariasi secara signifikan antar faksi dan anggota. Seseorang dapat melepaskan diri misalnya, mengubah perilaku mereka, tanpa sepenuhnya ter-deradikalisasi misalnya, mengubah keyakinan inti..

Pada dasarnya, bila mengacu John Horgan dalam Leaving terrorism behind: Disengagement from political violence (2009), deradikalisasi bekerja di tingkat ideologi, dengan tujuan mengubah doktrin dan interpretasi pemahaman keagamaan teroris. Karena sifatnya yang abstrak ini, keberhasilan program deradikalisasi menjadi sulit untuk diukur. Kekhawatiran ini dapat membesar jika berhadapan dengan elit teroris yang memang sulit untuk di-deradikalisasi lagi. Karena sifat efektivitasnya yang tidak terukur, mungkin lebih tepat menyebut program deradikalisasi sebagai “risk reduction initiatives”. Dari penelitian John Horgan di lima negara yaitu Arab Saudi, Yaman, Indonesia, Irlandia Utara, dan Kolombia, ada simpulan bahwa program-program itu justru tidak diarahkan untuk mencapai titik deradikalisasi, tetapi lebih fokus pada upaya pengurangan risiko dari para teroris.

Memang seperti diungkap James Lutz dan Brenda Lutz yang dituangkan dalam Global Terrorism (2004), dalam menangani terorisme tidak ada teknik atau pendekatan counterterrorist yang tunggal karena terorisme jauh lebih kompleks dari sekedar satu pendekatan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan inovasi teknik yang tepat guna dalam mencari solusi terhadap penanggulangan terorisme. Tantangan lain adalah peristiwa, lingkungan dan isu yang memenuhi terorisme tidak lagi jelas, sehingga tidak bisa dipecahkan dalam tempo seketika. Tidak ada program yang secara formal telah mengidentifikasi indikator yang valid dan dapat diandalkan mengenai deradikalisasi yang berhasil atau bahkan disangagement, baik dalam budaya, psikologis, atau istilah lainnya. Akibatnya, setiap upaya untuk mengevaluasi keefektifan program semacam itu diliputi dengan banyak sekali tantangan yang bersifat konseptual oleh karena sifatnya yang praktis.

Deradikalisasi memang tetap harus terus menjadi tujuan akhir, jika hanya karena alasan praktis bahwa teroris yang mulai melepaskan diri dapat mengulang kembali. Para jihadis ini dengan beberapa tipologisnya tetap mempertahankan keyakinan mereka meskipun telah menghabiskan bertahun-tahun di penjara. Kita ambil contoh para residivis, yaitu Aman Abdurrachman, Abdullah Sonata, Abdul Rauf, Ismarwan, Juhanda, Isnaini Romdhoni, Sunakim dan Yayad Cahdiyat.

Nah, residivisme tetap merupakan kemungkinan nyata jika individu dalam kategori ini dilepaskan. Namun keterlibatan kembali semacam itu bukanlah pola umum, karena paling sering memang mengarah pada deradikalisasi. Karenanya, baik disengament atau deradikalisasi perlu dilakukan secara tersistematis. Para jihadis lagi-lagi dalam penelitian Ian Chalmer dalam Countering Violent Extremism in Indonesia: Bringing Back the Jihadists, (2017) menunjukkan masih kuatnya radikalnya. Mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinlan mereka terjun, maka sangat mudah dilakukan.

Mencairkan kebekuan Idiologis

Hal yang memungkinkan seseorang menjadi teroris adalah ideologi bukan patologi. Sistem kepercayaan ini yang pada akhirnya menginspirasi tindakan teroris. menurut tilikan Ranya Ahmad dalam Terrorist Ideologies and Target Selection (2018), ideologi memiliki pengaruh kuat yang dapat menjelaskan tindakan individu dan kelompok, “ideologi menetapkan siapa musuh” dan memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Menyitir lagi amatan Kruglanski dalam Inside the terrorist mind: The relevance of ideology (2014), ideologi adalah kumpulan keyakinan terkoordinasi tentang bagaimana hal-hal itu versus bagaimana mereka seharusnya dari sudut pandang kelompok, atau kategori orang. Ideologi mengacu pada tujuan kolektivis daripada individualis yang mengatur kesejahteraan kelompok di atas kesejahteraan pribadi individu. Ini sangat kontras dengan egoisme, hedonisme, atau keserakahan. Orang mungkin termotivasi untuk membunuh demi keserakahan, bahkan mempertaruhkan nyawa seseorang atau kebebasan pribadi untuk keserakahan, tetapi seseorang tidak akan melakukan bunuh diri karena keserakahan. Orang akan melakukannya untuk alasan-alasan ideologis.

Nah, deradikalisasi perlu inovasi baru yang dapat menurunkan risiko teroris bergabung kembali dengan kelompoknya dan bersifat berkelanjutan. Upaya penanggulangan terorisme secara lebih efektif dan tepat sasaran, mengingat selama ini deradikalisasi lebih terlihat dilakukan parsial dan belum terpadu serta belum inovatif. Deradikalisasi saatnya dilakukan dengan pendekatan yang out of the box. Semua ini menuntut perubahan terencana dan berkesinambungan guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas deradikalisasi. Salah satu program alternatif yang bisa ditawarkan adalah deradikalisasi dengan menggunakan pendekatan literasi (literacy approach).

Menarik mucul gerakan literasi untuk deradikalisasi terorisme yang diwujudkan melalui program pendirian Rumah Daulat Buku (Rudalku) yang berkedudukan di Jakarta sejak 2017. Rudalku didirikan oleh sekelompok peneliti yang sudah lama bergelut dalam penelitian radikalisme dan terorisme. Mereka mendirikan Rudalku berangkat dari penelitian bahwa kegiatan membaca ternyata sangat terkait dengan fluktuasi radikalisme dan terorisme. Rudalku mengusung tagline “Banyak Baca Jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran”. Dalam operasionalnya, pengelola Rudalku mendorong eks napiter yang didekati secara perkawanan (friendship). Pengelola mengirimkan buku-buku yang beragam topik ke rumah eks napiter. Selanjutnya mereka akan melakukan pendampingan dan mentoring dengan mengadakan kegiatan di rumah eks napiter yang diikuti oleh anak anak atau remaja sekitar rumah. Materi yang diajarkan mulai dorongan minat baca, membaca buku yang baik, membangun perpustakaan rumah hingga pengajaran wawasan keagamaan moderat, kebangsaan sebagai bagian dari pencegahan terhadap radikalisme. Model kegiatan literasi ini tidak hanya dapat digunakan sebagai bentuk deradikalisasi bagi eks napiter, tetapi juga upaya pencegahan masyarakat sekitar rumah eks napiter dari paham radikal. Hal ini diperkuat oleh pandangan bahwa seseorang bisa terpengaruh oleh radikalisme dan terorisme disebabkan faktor kurang membaca. Sebaliknya, banyak membaca akan menjadikan seseorang semakin terbuka wawasan dan pengetahuannya, sehingga menjadi kritis dan tidak mudah terbawa oleh pemikiran radikal. Dalam kata-kata seorang ulama, ‘jika seseorang bertambah ilmunya, maka akan sedikit keluhannya terhadap manusia’ (idza tasa’a ilmu rajulin, qalla i’tirodhuhu ala nas).

Para eks napiter didorong mendirikan perpustakaan pribadi dan keluarga (model usroh) di rumah mereka masing-masing. Dengan cara ini, mereka diharapkan mau membaca buku-buku dengan topik bervariasi, sehingga pemahaman radikal yang masih mengendap dalam benaknya bisa terbuka dengan wawasan yang lebih luas. Cara ini juga dapat merangsang eks napiter untuk bisa menerima kemajemukan, di luar identitas yang selama ini didoktrinkan oleh mentor radikal bahwa identitas kelompok radikal bersifat mutlak dan paling benar. Dalam pandangan Amartya Sen (2006), pemenang hadiah nobel ekonomi dari India yang masa kecil melihat betapa ngerinya pertikaian antar agama, para perekrut aksi teror menghendaki agar kaum muslim lupa bahwa mereka sesungguhnya memiliki berbagai identitas lain dan bahwa mereka harus memutuskan sendiri berbagai persoalan politik dan moral yang penting serta bertanggung jawab atas keputusan itu dan bukan diarahkan oleh tuntunan para perekrut tersebut yang dilandasi oleh pemahaman tak lazim tentang Islam yang dapat dicermati dan dikritisi.

Perpustakaan pribadi dan keluarga eks napiter tersebut kemudian dijadikan sebagai taman baca (TBM) bagi masyarakat sekitar. Upaya ini dapat menjadi bentuk penguatan pendampingan bagi eks napiter dalam reintegrasi sosial. Dari sinilah, para eks napiter tersebut diharapkan dapat menjadi agen perubahan (agent of social change) atau ‘jihadis literasi’ untuk masyarakat, keluarga, hingga kelompoknya melalui upaya menebarkan pemahaman yang moderat dan damai. Mana dalilnya? Mari simak penelitian Speckhard dalam Prison and Community Based Disengagement and Deradicalization Programs (2011) mengungkapkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk melepaskan individu atau kelompok dari terorisme, bahkan untuk menderadikalisasi atau mengubah keyakinan mereka adalah dengan memahami strategi yang dilakukan untuk memotivasi calon-calon anggota, seperti rekrutmen secara tatap muka, melalui meda, internet, bahkan buku,

Tampak bahwa buku-buku radikal merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk menyebarkan paham yang diyakini agar dapat merekrut anggota baru dengan cara diberikan secara cuma-cuma atau dijual dengan harga sangat murah. Demi menandingi itu, dibutuhkan upaya untuk membalik pemahaman tersebut melalui pendirian rumah buku dengan penyediaan literasi yang variatif dan bermuatan moderat dalam rangka merubah pemahaman radikal. Hasil penelitian Horgan dalam Rehabilitating the Terrorists?: Challenges in Assessing the Effectiveness of Deradicalization (2010), menunjukkan bahwa interaksi yang positif terjadi antara eks napiter dan orang-orang moderat dapat menjadi salah satu faktor yang membuat individu meninggalkan kelompoknya

Di Indonesia, model pendekatan literasi yang dilakukan Rudalku merupakan upaya yang jauh berbeda dari program yang selama ini diberlakukan. Jika selama ini aktor deradikalisasi adalah negara, BNPT ataupun petugas dari Lembaga Pemasyarakatan, Rudalku menjadikan eks napiter sebagai aktor yang aktif berperan dalam upaya deradikalisasi sekaligus pencegahan masyarakat dari radikalisme. Apa yang dilakukan Rudalku ini selaras hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017) mengungkapkan bahwa deradikalisasi yang sukses menekankan pada langkah-langkah berbasis komunitas karena aparat keamanan yang lebih efisien dan kuat tidak berarti pada rehabilitasi jika tidak disertai perubahan sosial dan budaya yang lebih luas. Deradikalisasi yang sukses lebih mungkin dimana penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ‘bertaring’ dibanding aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat akan bisa lebih mudah mendekati eks jihadis dan kemudian mengajak mereka berkawan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat.

Pendekatan literasi berbasis masyarakat saat ini baru dilakukan oleh Rudalku yang kini telah menghimpun 38 eksnapiter, istri napiter, deportan dan returnis di berbagai daerah. Inilah apa yang dinamakan Pro-Integration Model oleh Kate Barrelle dalam Pro-integration: disengagement from and life after extremism, Behavioral Sciences of Terrorism and Political Aggression (2015) dimana kunci dari temuan penelitiannya adalah bahwa pelepasan diri dari kelompok teroris adalah transisi identitas dan bertahannya pelepasan tersebut adalah tentang keterlibatan secara proaktif, holistik, dan harmonis dengan masyarakat luas.

Demi menunjang efektivitas strategi deradikalisasi melalui literasi ini, Rudalku menyelenggarakan pengajian atau ta’lim setiap bulan. Pengajian tersebut mengundang eks napiter yang sudah mendirikan Rudalku. Kegiatan pengajian ini juga menjadi strategi merekrut eks napiter untuk mendirikan Rudalku sekaligus koordinasi dalam pengelolaannya. Pengajian ini menggunakan kitab kuning dengan disiplin ilmu keislaman yaitu ushul fikih (metodologi hukum Islam). Saat ini pengajian menggunakan kitab ushul fikih yaitu al-Waroqot karya Jalaluddin al-Mahalli dan al-Mustasyfa karya al-Ghazali. Dua kitab kuning level babon ini selama ini dikaji di pesantren-pesantren dengan sistem sorogan dan bandongan. Fakta membuktikan santri keluaran pesantren yang biasa disebut ‘pesantren tradisional’ ini dengan bekal kajian ushul fikih telah melahirkan santri yang berwawasan luas, terbuka, moderat dan pluralis sehingga banyak santri ini yang lalu berkecipung dalam penguatan kebangsaan dan bela negara NKRI dalam berbagai profesi. Bahkan tidak sedikit santri-santri ini yang meneruskan kuliah di luar negeri baik di Barat maupun Timur Tengah dengan berbagai jurusan yang tidak hanya jurusan agama, tetapi juga banyak yang jurusan ilmu-ilmu moderen dan tehnologi. Ini agaknya beda dengan keluaran ‘murni’ kampus yang ternyata tidak sedikit melahirkan orang-orang yang mudah terpapar idiologi ekstrem, bahkan ada yang melakukan aksi teror.

Kajian bidang ushul fikih sejauh ini masih sangat langka dilakukan untuk deradikalisasi terhadap napiter dan eksnapiter. Padahal disiplin ilmu yang pertama dirumuskan Imam Syafi’i ini sangat ampuh untuk ‘mengaduk-aduk’ pola pikir dan lalu menata ulang pemikiran dalam memahami nash-nash keislaman. Untuk memahami nash, tidak boleh harfiah apalagi sembarangan, harus memiliki ‘alat’ yaitu ushul fikih yang merupakan metode untuk menggali nash-nash (istinbath al-hukm). Ushul fikih menjadikan orang untuk berfikir secara metodologis (manhaji). Dengan kajian Ushul fikih ini telah dibuktikan Rudalku sejauh ini mampu meredam dan mencairkan kebekuan idiologis para ‘Rudaller’, sebutan bagi eks napiter yang sudah bergabung di Rudalku.

Mana ‘dalil akademik’ untuk pengajian? Mari kita baca hasil penelitian Hwang dan Kirsten Schulze (2018), yang meneliti pengajian dikalangan kelompok radikal teroris. Mereka ini ternyata menggunakan pengajian untuk rekruitmen dan indoktrinasi idiologi radikalnya. Pengajian (Islamic study session) menjadi sarana efektif untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin radikal. Hasil penelitian ini menunjukkan 87 dari 106 militan muslim bergabung dengan kelompok radikal melalui pengajian radikal. Mereka telah menjadi komponen kunci dalam perekrutan muslim ke dalam gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) sejak 1980-an serta Jemaah Islamiyah (JI) sejak 1993, hingga mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia sejak 2013. Pengajian bagi kelompok radikal berfungsi secara mandiri serta bersama dengan jalur-jalur lain seperti sekolah dan konflik lokal. Dalam bentuk pengajian mereka yang lebih eksklusif, mempersiapkan seorang calon anggota untuk diindoktrinasi. Disamping itu, ikatan sosial yang terbentuk kuat dalam pengajian yang lebih eksklusif menjamin kesetiaan para ikhwan terhadap organisasi militan Islamis.

Berseiring penelitian ini, pengajian di komunitas Rudalku diharapkan mampu meredam pemikiran radikal serta menghentikan aktivitas yang mengarah terorisme. Rudalku tak henti disini dalam kegiatannya. Cukup banyak program yang dirancang. Saat ini, kegiatan kontinyu selain pengajian adalah program ‘silaturahmi literasi’ dan lalu ‘amaliyat literasi’ dengan mengunjungi ikhwan-ikhwan baru bebas atau yang belum sempat diajak. Ini dilakukan setiap bulan.

Tak pelak, apa yang telah dilakukan oleh Rudalku bisa menjadi strategi yang efektif dalam deradikalisasi dengan jalan yang lebih inovatif. Pendekatan literasi yang dilakukan oleh Rudalku sesungguhnya muncul sebagai kritik atas pendekatan yang selama ini digunakan untuk deradikalisasi, yang cenderung mengabaikan peran eks napiter sebagai penggeraknya. Kalau toh sebagai penggerak, eks napiter lebih banyak diberikan kewirausahaan alias ‘urusan perut’ semata. Cara disangegement dengan menggelontorkan dana kewirausahaan yang jor-joran untuk eks napiter ternyata melahirkan ‘homo economicus’ yang rakus dan terbukti terjadi saling sikut dan juga penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh oknum eksnapiter yang diserahi sebagai pengelola. Ada juga bantuan usaha yang akhirnya terbengkelalai karena oknum eksnapiter yang tidak punya ‘semangat jihad’ untuk berwirausaha. Artinya, tidak terlampau efektif model pemberdayaan yang lebih pada ekonomi seperti ini.

Maka sudah saatnya, para eksnapiter dibombardir dengan ‘isi otak’ melalui penanaman pengetahuan dan penguatan literasi secara lebih terstruktur, sistematif dan masif. Mereka mesti digenjot untuk ‘rakus’ membaca buku dan literasi dengan bacaan yang beragam, tidak hanya bacaan keagamaan saja, tetapi juga buku-buku ilmu sosial, tehnologi, filsafat dan lainnya. Sejak menjadi napiter, mereka perlu dipaksa untuk mau membaca dan ikut pelatihan literasi. Setelah mereka bebas, diharapkan akan menjadi ‘eksnapiter intelektual’ yang luas wawasan, mendalam pengetahuan dan akhirnya bersikap bijak, moderat dan pluralis. Dan juga pendekatan literasi ini bisa menjadi ‘syarat’ bagi eksnapiter yang baru bebas untuk mendapatkan bantuan wirausaha. Sebelum punya perpustakaan di rumah mereka dan melakukan giat literasi di rumahnya atau diuji misal dengan review buku yang dibacanya dengan baik atau cara-cara kreatif lain berbasis literasi yang bisa digunakan, maka mereka belum layak menerima bantuan wirausaha. Tim assesment yang akan menilai secara cermat.

Nah, model pendekatan literasi yang hendak diwujudkan oleh Rudalku bertujuan menumbuhkan kesadaran pada eks napiter untuk membuka wawasan keilmuan yang berpusparagam dan ini dibangun dengan makna yang lebih mendalam dan holistik, menyentuh sisi-sisi kesadaran individual dan kolektif.

Peneliti dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  4  =