Oleh: Soffa Ihsan*
Channel9.id – Jaķarta. Kebudayaan, menyitir Malik Bennabi, cendikiawan Aljazair dalam bukunya Musykilah al-Tsaqafah (1959), ibarat jaringan darah yang mensuplai darah kepada organ-organ tubuh. Orientasi budaya manusia adalah untuk membangun peradaban dengan muatan etis, estetis, logika pragmatik, dan muatan industri (shina’ah – aspek rekayasa industrial). Sedangkan peradaban sebagai keseluruhan sarana moral dan material adalah hal yang membuat masyarakat memberikan jaminan sosial (al-dhamamat al-ijtima’iyah) yang diperlukan oleh anggotanya untuk kemajuan.
Kemajuan kemudian selalu dicangkangkan pada apa yang disebut dengan pembangunan. Peradaban suatu bangsa, misalnya, dapat dilihat dari teknik-teknik bangunan maupun infrastruktur yang dibuat ataupun ditinggalkan oleh manusia dalam perjalanan sejarahnya. Penggunaan trigonometri dalam matematika, sebagai contoh, berkaitan dengan bangunan yang diduga digunakan pada masa Mesir kuno dalam membangun piramida. Pada masa sekarang, infrastruktur berupa gedung tinggi dianggap merupakan ciri kemajuan peradaban manusia.
Pada awalnya, manusia hanya memanfaatkan apa yang ada di alam sebagai infrastruktur dalam kehidupannya, seperti memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal. Lalu, memanfaatkan apa yang ada di alam sebagai bahan untuk membuat infrastruktur, seperti batu, tanah, dan kayu. Dalam perkembangannya, manusia membuat bahan-bahan bangunan dari hasil industri atau buatan manusia yang bahan-bahan bakunya diambil dari alam.
Pembangunan infrastruktur di beberapa negara sesungguhnya sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan negara tersebut. Di Amerika Serikat, umpamanya, pola perkembangan infrastruktur mencerminkan bentuk lain dari pembangunan nasional, seperti munculnya bangsa, perang sipil, revolusi industri, mobilisasi, Perang Dunia II, suburbanisasi, dan lain-lain. Di kota-kota besar Eropa, terlihat bentuk infrastruktur yang mencerminkan masa sejarah dan kesulitan semasa perang.
Universalisasi Ide
Masyarakat dunia, terutama yang disebut-sebut sebagai dunia ketiga pada dekade 1970-an, dilanda sebuah sistem pembangunan yang dikenal dengan modernisasi. Modernitas adalah rasionalisasi dalam pertumbuhan ekonomi secara makro. Memasuki 1960-an, seluruh keruwetan nilai dan tujuan sosial pembangunan, meminjam kata-kata Gunnar Myrdal, disebut sebagai “cita-cita modernisasi”, telah menjadi “iman resmi” di banyak negara berkembang. Dalam bahasa Jan Nederveen (1992), pembangunan tidak lain dari pencerahan yang diterapkan atau modernisasi yang dioperasionalkan.
Istilah spesifik “pembangunan” (development) sendiri merupakan fenomena yang muncul pasca-Perang Dunia II. Namun, istilah pembangunan yang merujuk baik kepada kemajuan, modernisasi, teknologi, maupun pertumbuhan, sebenarnya telah berlangsung di Barat sejak abad ketujuh belas. Seperti ditulis Walt Rostow (1975), fenomena pembangunan dapat dilihat dalam pengertian yang sederhana dan jelas. Yang membedakan dunia pascarevolusi industri dari dunia sebelumnya adalah diterapkannya ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistematis, regular, dan progresif pada sistem produksi barang dan jasa.
Walt Rostow mencatat bahwa melewati abad kedelapan belas, modernisasi secara luas merupakan urusan “dari atas ke bawah” (top down), seperti penelitian teknik dan penciptaan pabrik-pabrik serta pasar dengan penuh ketekunan dan sungguh-sungguh dipromosikan oleh pemerintahan nasional yang secara gradual membentuk suatu perasaan kebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, berkembangnya proses modernitas sejak kemerdekaan, perlahan-perlahan mulai mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Proses modernisasi di Indonesia dapat secara langsung diamati lewat geliat kehidupan masyarakat perkotaan. Proses pembangunan infrastruktur yang berkembang pesat, pertumbuhan moda-moda tranportasi yang memenuhi jalanan, menjamurnya industri hiburan yang bergeliat di malam hari, atau perkembangan fashion yang selalu berubah-berubah mengikuti perkembangan dunia. Semua ini selalu dianggap menjadi indikator modernisasi di Indonesia.
Modernitas ditunjang oleh tiga faktor, yaitu kapitalisme dengan teknik modern yang memungkinkan industrialisasi, penemuan subyektifitas manusia modern, dan rasionalisme (Widyanta, 2002). Berkaitan dengan faktor-faktor modernitas tersebut, maka secara normatif ketiga faktor tersebut sudah menjadi hawa spirit perkembangan modernitas di Indonesia yang mengandalkan rasionalitas ekonomi sebagai landasan bagi perkembangan industrialisasi.
Arah Baru
Infrastruktur berfungsi sebagai generator ekonomi baru maupun menyaturagakan pertumbuhan ekonomi setakat dengan strategi pembangunan nasional. Ketiadaan atau tidaktepatan konsep dan kebijakan infrastruktur akan berakibat teralienasinya kita dari persaingan dunia, bahkan nantinya dari peradaban dunia.
Infrastruktur telah menjadi menu utama terkait dengan pembangunan ekonomi nasional di negeri kita. Lebih dari kesadaran akan arti penting infrastruktur, semangat untuk membangun sudah sangat menggebu. Yang kurang adalah konsistensi pelaksanaannya. Faktanya, ia sering mengidap kesenjangan antara semangat, rencana, dan implementasi.
Akibatnya, infrastruktur selalu dalam posisi untuk mengatasi kemacetan pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur jadi selalu tertinggal dan menjadi pelambat pertumbuhan. Posisi itu membuat pembangunan infrastruktur menjadi parsial, tidak terkoordinasi, tanpa strategi jangka panjang.
Kesadaran ekologis telah menandaskan bahwa barometer keberhasilan sebuah pembangunan adalah dikotomi antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan, di sisi lain, adanya pembangunan berkesinambungan yang berciri tidak terjadinya kerusakan sosial dan kerusakan alam. Hal ini agar tidak menyebabkan terjadinya gangguan sosial dan konflik-konflik dalam pembangunan infrastruktur. Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan infrastruktur demi keberlanjutan kehidupan, karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi.
Setakat itu, pembangunan infrastruktur tidak lagi hanya berorientasi pada tujuan fungsional yang sempit dan berjangka pendek. Sebaliknya, harus berdasar pada perencanaan yang lebih holistik dengan memperhatikan keselarasan antara lingkungan terbangun dengan lingkungan alami, menjaga harmoni antara humanosphere, biosphere, dan ecosphere. Dalam pembangunan infrastruktur, konsep keselarasan dengan lingkungan dan pengurangan risiko bencana harus menjadi tujuan.
Tak pelak, terobosan dan loncatan pembangunan infrastruktur perlu dirancang dan direalisasikan dengan sangat serius untuk tujuan yang jauh lebih bermakna. Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Akhirnya, modernisasi tidaklah berharga mati. Kuncinya, perbaikan-perbaikan konsep modernisasi yang diselaraskan dengan cita-cita peradaban yang adiluhung akan menjadi sebuah konsep pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.
*Penulis adalah Pemerhati budaya dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)