Channel9.id, Jakarta. Industri tekstil dan garmen Indonesia tengah memasuki fase transformasi besar untuk memastikan ketahanan dan daya saing di tengah tekanan ekonomi global. Di saat banyak sektor manufaktur menghadapi pelemahan akibat fluktuasi permintaan dan arus impor, pelaku tekstil nasional justru berbenah melalui investasi pada efisiensi energi, digitalisasi, dan keberlanjutan.
Ketua Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menegaskan bahwa industri tekstil Tanah Air bukan sedang surut, melainkan beradaptasi terhadap dinamika baru perdagangan dunia.
“Kami ingin menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia bukan sedang melemah, tetapi sedang beradaptasi. Kami terus berinvestasi dalam efisiensi energi, digitalisasi, dan sustainability agar produk Indonesia tetap kompetitif di pasar global,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (28/10/2025).
Meski menghadapi tekanan dari kenaikan impor dan perubahan kebijakan perdagangan internasional, sektor tekstil nasional tetap menunjukkan performa positif. Hingga akhir 2024, nilai ekspor tekstil dan garmen Indonesia mencapai US$11,9 miliar, menjadikannya salah satu penyumbang terbesar bagi ekspor nonmigas nasional.
Angka tersebut mencerminkan ketahanan sektor ini di tengah perlambatan ekonomi global. “Fakta bahwa ekspor masih tinggi menunjukkan industri ini tetap tangguh dan menjadi tulang punggung ekonomi nasional,” tambah Anne.
Selain menopang ekspor, industri tekstil juga berperan penting sebagai penyerap tenaga kerja dalam skala besar. Jutaan pekerja di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur bergantung pada keberlanjutan industri ini.
“Industri tekstil tidak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga sosial. Ini adalah industri yang memberi kehidupan bagi banyak keluarga,” ujar Anne.
AGTI menilai, kekuatan industri tekstil ke depan bergantung pada kemampuan berinovasi — baik melalui penerapan teknologi produksi yang lebih efisien maupun pengembangan bahan ramah lingkungan. Anne menekankan, penguatan sumber daya manusia (SDM), pengelolaan energi yang lebih baik, dan perbaikan rantai pasok merupakan prioritas utama untuk menjaga daya saing jangka panjang.
“Kami yakin bahwa dengan peningkatan daya saing dari sisi SDM, teknologi, dan energi, industri tekstil nasional mampu bertahan tanpa perlu bergantung pada kebijakan yang terlalu protektif,” tegasnya.
Terkait dengan tudingan adanya praktik impor ilegal yang merugikan pelaku industri dalam negeri, Anne mengimbau agar pihak yang menuduh memberikan bukti konkret kepada otoritas berwenang. Ia menilai, penyelesaian isu ini penting untuk menjaga citra positif industri tekstil nasional.
“Penting bagi kita untuk memastikan industri ini tidak dibebani oleh persepsi negatif. Kami ingin semua isu diselesaikan dengan transparan agar pelaku usaha dapat fokus pada penguatan daya saing,” ujarnya.
Para pelaku usaha tekstil optimistis terhadap masa depan industri ini. Dengan dukungan kebijakan pemerintah yang berpihak pada produktivitas, serta kolaborasi erat antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat, AGTI yakin Indonesia dapat menjadi salah satu pusat produksi tekstil berkelanjutan di kawasan Asia.
“Kami percaya masa depan industri tekstil Indonesia adalah masa depan yang berkelanjutan, inovatif, dan inklusif. Tantangan hari ini justru menjadi momentum memperkuat kolaborasi lintas sektor,” tandas Anne.





