Channel9.id-Jakarta. Belakangan ini, stunting menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Pasalnya, masalah ini bisa memperburuk kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Adapun masalah ini disebabkan oleh beberapa faktor, di mana kekurangan gizi menjadi faktor utamanya.
Menurut Safriati Syafrizal, Ketua Bidang IV Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Kelurahan (TP PKK) Pusat, asupan gizi ibu di masa kehamilan dan asupan gizi anak di seribu hari pertama kehidupannya sangat menentukan potensi stunting.
“23% dari 27,6% masalah stunting di Indonesia pada 2019 karena ibu kekurangan gizi selama masa kehamilan. Anak yang lahir jadi berpotensi stunting. Sementara, sisanya sekitar 4% lebih, bisa jadi dikarenakan anak tak mendapat asupan gizi yang baik, bahkan ASI juga tidak—terutama di seribu hari pertama kehidupan si anak,” ujarnya, di acara ObraS KaINPKK, Kamis (9/9).
Baca juga: Pentingnya Cegah Stunting di Indonesia
Adapun yang dimaksud dengan stunting ialah kondisi gagal tumbuh pada anak-anak. Anak-anak dengan stunting tumbuh lebih lambat dari anak lain yang normal seusianya.
Sementara itu, Co-Founder @KlinikMPASI dan @AhliGiziID Qonita Rachmah menambahkan bahwa ada beberapa hal yang bisa menyebabkan stunting, entah itu langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung stunting yaitu, selain yang sudah disebutkan oleh Safriati, infeksi pada anak juga berpotensi menyebabkan stunting. “Ini karena saat infeksi, asupan dari makanan fokus untuk melawan infeksi. Hal ini membuat asupan untuk tumbuh dan berkembang jadi berkurang,” jelas dia.
Sementara, penyebab tidak langsung di antaranya yaitu sulitnya akses mendapat makanan bergizi, kurangnya penghasilan, dan distribusi pengeluaran tidak fokus untuk hal esensial seperti makanan bergizi. “Selain itu, pengetahuan soal gizi, faktor lingkungan, dan cakupan imunisasi yang rendah juga termasuk penyebab tidak langsung stunting,” lanjut Qonita.
Ia melanjutkan bahwa anak dengan stunting akan mengalami penurunan kognitif atau kecerdasan, yang bisa berujung pada kemiskinan. Selain itu, lanjutnya, mereka juga berisiko terkena penyakit degeneratif, seperti diabetes, stroke, dan jantung koroner. Dampak-dampak ini tak hanya buruk bagi individu, tetapi juga akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depannya.
“Maka dari itu, kita harus putuskan siklusnya supaya bisa mengurangi angka stunting,” pungkas Qonita.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil survey Status Gizi Balita pada 2019, prevalensi stunting Indonesia mencapai 27,6%. Adapun angka ini melewati standard WHO—yang menetapkan stunting suatu negara tak boleh melewati 20%. Selain itu, didapati bahwa kasus stunting Indonesia saat ini ada di urutan keempat secara global dan ada di urutan kedua se-Asia Tenggara.
Berangkat dari hal itu, pemerintah Indonesia saat ini kian menyoroti masalah stunting. Pada Agustus lalu, Presiden Joko Widodo telah merilis Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting. Ia juga menargetkan stunting di Indonesia bisa menurun menjadi 14% di 2024 nanti.
(LH)