Oleh: Yudi Latif*
Channel9.id-Jakarta. Saudaraku, dunia retak di banyak sudutnya. Di Amerika, kerusuhan meletup dari polarisasi, ketidakadilan, dan kebijakan keras yang menyesakkan rakyat. Di Nepal, generasi muda memenuhi jalanan, menolak korupsi dan sensor, menantang warisan politik usang yang merampas masa depan mereka. Di Jakarta, suara protes menggema, menuding elite yang dimanjakan tunjangan, sementara rakyat dicekik pajak dan kesulitan hidup.
Di Gaza, dentum senjata tak henti mengoyak langit, gaungnya menjalar hingga ruang diplomasi di Doha. Eropa pun resah: petani, pekerja, dan mahasiswa turun ke jalan, menolak krisis ekonomi, pajak, dan kebijakan imigrasi yang menghimpit. Dan bahkan Jepang, negeri yang biasanya tenang, berguncang oleh gelombang demonstrasi menolak aturan imigrasi baru.
Apakah manusia terlalu percaya pada senjata dan pasar, hingga lupa bahwa bumi adalah rahim, bukan medan perang? Apakah kita terlampau sibuk menumpuk laba, hingga tanah, air, dan udara tak lagi sanggup menanggung kerakusan kita? Apakah kita larut dalam amarah dan kecurigaan, hingga lupa bahwa nasib kita satu: dihubungkan oleh langit yang sama, ditopang oleh bumi yang sama?
Semua kegaduhan ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah arus balik dari luka yang dibiarkan: ketimpangan yang menganga antara yang kenyang dan yang lapar, tata dunia yang tak adil, hukum internasional yang kehilangan taring. Selama luka itu tak dirawat, dunia akan terus berguncang, dan suara protes tak akan pernah padam.
Namun selalu ada kemungkinan untuk pulang. Kita bisa memilih jalan meruwat bumi: menambal luka dengan keadilan, mengubah kuasa menjadi pengabdian, menjadikan kasih sebagai hukum yang lebih tinggi daripada laba. Kita harus belajar kembali menjadi murid bumi: mendengar bisikan tanah yang lapar, menyapa air yang tercemar, menghirup kembali udara dengan syukur.
Hanya bila kita menundukkan diri, menanam benih cinta di hati dan di ladang, kita dapat menenun kembali harmoni yang tercerai. Sebab dunia tidak menunggu; ia hanya akan selamat jika kita memilih untuk menyelamatkannya bersama.
Baca juga: Ngujo Roso, Politik Poliglenik
*Cendikiawan Muslim