Nasional

Eka Simanjuntak: Tidak Elok Mengundurkan Diri Karena Merasa Lebih Berkualitas

Channel9.id – Jakarta. Pemerhati pendidikan dari Yayasan Nusantara Sejati, Eka T. P. Simanjutak menanggapi pengunduran diri NU, Muhammadiyah, dan PGRI dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud.

Menurut Eka, tidak baik bila sejumlah ormas tersebut, mengundurkan diri dengan alasan jauh lebih berkualitas dibanding ormas lain yang sudah lolos seleksi POP.

“Kalau NU dan Muhammadiyah merasa kurang ‘sreg’ dengan proses yang dilaksanakan oleh Kemedikbud dan memutuskan untuk mengundurkan diri, silakan saja. Tapi menjadi tidak elok bila alasan yang dipakai untuk mengundurkan diri adalah karena mereka merasa jauh lebih pantas/ lebih berkualitas dibanding ormas-ormas lain yang sudah lolos tahap seleksi,” kata Eka dalam keterangannya, Minggu (26/7).

Eka mengingatkan, ormas yang bekerja di sektor pendidikan di Indonesia tidak hanya NU, Muhammadiyah, dan PGRI. Masih banyak ormas lain yang selama sepuluh tahun ini, sulit mendapatkan bantuan dana dari kemendikbud. Lantaran, mekanisme bantuan dana tidak jelas dan terbuka.

Karena itu, Eka menilai POP menjadi kesempatan ormas-ormas kecil dan sedang, mendapat dana bantuan dari kemendikbud.

“Selama bertahun-tahun pula ormas-ormas ini bekerja dengan dana yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan susah payah. Selama ini hanya ormas-ormas besar yang memiliki ‘power’ (baik politik maupun massa) saja yang dapat ikut ‘kecipratan’ dana dari Kemendikbud. POP ini adalah untuk pertama kalinya ormas-ormas kecil dan sedang, mendapat kesempatan untuk dapat melanjutkan pekerjaannya dengan bantuan dana hibah dari Kemdikbud. Untuk hal ini wajar kalau mas Mentri Nadiem dan timnya diberi apresiasi,” ujarnya.

Eka menjelaskan, ada 156 ormas yang dinyatakan lolos seleksi POP. 156 ormas tersebut terbagi dalam 3 kategori yaitu kategori GAJAH (bisa mendapatkan maksimal 20 milyar), kategori MACAN (bisa mendapatkan maksimal 5 milyar) dan KIJANG (boleh mendapatkan maksimal 1 milyar). Ormas-ormas ini lolos seleksi dengan melalui tahapan-tahapan yang rumit.

“Jadi ini bukan program ‘bagi-bagi duit’, karena selain prosesnya cukup rumit, proses seleksi ini juga melibatkan pihak di luar Kemdikbud (SMERU). Kalaupun ada satu atau dua ormas yang dianggap tidak kompeten dan lolos, tentu ini resiko dari sebuah program yang baru pertama kali dilaksanakan,” kata Eka.

Proses seleksinya terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap I adalah seleksi administrasi (legalitas dan keuangan). Tahap 2 adalah seleksi proposal (usulan program dan Anggaran). Kriteria untuk masing-masing kategori ini berbeda.

“Untuk ormas kategori GAJAH, harus bisa menunjukkan Akta Pendirian, Akta Perubahan dan Surat Pengesahan dari Kemenhumkam. Menunjukkan laporan keuangan 3 tahun terakhir yang dibuat oleh lembaga auditor eksternal, laporan pembayaran pajak 3 tahun terakhir,” ujarnya.

Untuk Proposal, selain menjelaskan detail program (termasuk theory of change), ormas juga harus bisa menunjukkan hasil laporan penelitian yang membuktikan bahwa program yang dilaksanakan telah memberi manfaat positif bagi siswa, guru, sekolah dan stakeholder pendidikan lainnya. Hasil penelitian ini harus dilaksanakan oleh pihak ke 3 (bukan hasil penelitian internal).

Eka pun menyoroti polemik lolosnya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation dalam POP kemendikbud.

Menurut Eka, kedua ormas berbentuk yayasan tersebut juga berhak mengelola dana hibah pemerintah. Namun, yang perlu dikritisi adalah etika kedua yayasan tersebut.

“Kalaupun ada hal yang perlu dikritisi, bukan soal sah atau tidak sahnya, tetapi lebih ke soal etis atau tidak etisnya. Sebagai lembaga yang mengelola dana CSR keluarga atau perusahaan tertentu, sangat tidak etis bila kedua lembaga itu ikut mendapatkan dana hibah dari Pemerintah,” kata Eka.

Terlebih, kedua yayasan tersebut sudah melakukan klarifikasi bahwa keikutsertaan dalam POP menggunakan dana sendiri.

“Keikutsertaan mereka dalam program POP ini menggunakan dana sendiri atau diluar dana hibah dari Kemdikbud,” tegasnya.

Di samping itu, Eka mengingatkan, selama bertahun-tahun posisi pimpinan di Kemdikbud diisi oleh kader NU dan Muhammadiyah secara bergantian. Jadi, bila saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih belum sesuai dengan harapan, tentu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan atau kegagalan pimpinan Kemendikbud sekarang yang notabene baru bekerja lebih kurang 1 tahun.

“Kalau kita semua memang sepakat bahwa urusan pendidikan ini adalah tanggungjawab bersama dari seluruh eleman bangsa, tentu akan lebih bermanfaat bila semua pihak (termasuk ormas yang selama ini kadernya sudah diberi kepercayaan memimpin Kemdikbud) untuk saling mendukung dan bukan saling menjatuhkan. Ini adalah bentuk pengamalan Pancasila yang konkrit yang harusnya bisa diteladani dari ormas-ormas besar yang ada di Indonesia,” pungkasnya.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  4  =