Channel9.id – Jakarta. Rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum dalam Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) memandang laporan tersebut cenderung berorientasi pada isu-isu daratan dan mengabaikan isu-isu perikanan. Selain itu, isu perlindungan nelayan juga terabaikan, padahal sangat penting bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
Koordinator Nasional Ekomarin Marthin Hadiwinata mengatakan, rekomendasi tersebut tidak membahas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Marthin menganggap, meskipun UU ini telah ada, implementasinya masih belum optimal, terutama dalam aspek perlindungan nelayan. Mulai dari aspek perencanaan hingga sarana dan prasarana usaha perikanan.
“Sebagai contoh, data dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menunjukkan bahwa 82,8 persen nelayan kecil mengalami kesulitan dalam mengakses BBM bersubsidi, belum lagi penyediaan akses terhadap prasarana dan sarana perikanan skala kecil seperti cold storage untuk nelayan kecil dan nelayan tradisional,” kata Marthin dalam keterangan tertulis, Minggu (17/9/2023).
Ia mengatakan masalah tata kelola sumber daya perikanan juga tidak mendapatkan perhatian Tim Percepatan Reformasi Hukum. Hal ini berkaitan dengan konflik alat tangkap yang telah ada sejak era 1970-an dan hingga kini belum mendapat solusi.
Marthin mencontohkan, alat tangkap trawl saat inimasih beroperasi di berbagai wilayah, termasuk Sumatera dan Kalimantan.
Ia juga menyoroti kecenderungan untuk memprivatisasi sumber daya perikanan dengan skema Perikanan Terukur. Di tambah lagi, pengawasan sumber daya kelautan Indonesia, menurut Marthin, masih lemah.
“Masuknya kapal asing untuk menangkap ikan tanpa izin (illegal fishin) ke laut Indonesia masih terjadi berdasarkan laporan di lapangan dari nelayan,” terangnya.
Masalah selanjutnya menurut Marthin yaitu nelayan kecil dan nelayan tradisional di wilayah pesisir yang seringkali tidak mendapatkan perlindungan hak tenurial yang layak. Hal ini, lanjutnya, menjadi akar konflik pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perikanan yang semakin meningkat.
Ia menilai UU Nomor 7 Tahun 2016 seharusnya menjamin perlindungan nelayan dengan pemberian hak akses dan ruang penghidupan yang meliputi zona tangkap ikan atau budidaya ikan, tempat melabuhkan kapal perikanan, dan tempat tinggal nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudi daya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Marthin menilai Tim Percepatan Reformasi Hukum mengabaikan isu-isu krusial terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan pantai serta pulau kecil. Dekriminalisasi Pasal 72 UU Penataan Ruang serta perubahan Pasal 26A UU Pesisir melalui Perppu Cipta Kerja, kata Marthin, menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk memberikan kemudahan investasi di wilayah pesisir dan pulau kecil yang bisa mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut.
“Deregulasi ini menunjukkan intensi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mendorong investasi atas wilayah dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dimana barang milik publik dapat diprivatisasi untuk kepentingan investasi di pesisir pantai,” tutur Marthin.
Selanjutnya, Marthin menilai adanya indikasi dorongan untuk memprivatisasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil melalui skema hak atas tanah di wilayah perairan pesisir.
Pemberian hak tersebut serupa dengan hak pengusahaan perairan pesisir yang sebelumnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, kata Marthin, pemberian hak ini harus didasarkan pada undang-undang, bukan hanya peraturan pemerintah, yakni Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021.
“Jika tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat adat, Ekomarin berpendapat seharusnya pendekatannya berorientasi pada hak komunal, bukan hak privat individual yang dapat mengarah pada pendekatan pasar atas hak tersebut,” tegasnya.
Di balik kritik itu, Ekomarin mengapresiasi dedikasi dan semangat Tim Percepatan Reformasi Hukum dalam upaya reformasi hukum di Indonesia untuk bekerja secara optimal dalam waktu sesingkatnya. Namun, Marthin berpendapat bahwa isu-isu kelautan dan perikanan adalah bagian integral dari identitas bangsa dan harus mendapatkan perhatian yang setara dalam reformasi hukum.
“Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi kekayaan alamnya dan rakyat yang bergantung pada sumber daya tersebut,” pungkas Marthin.
Baca juga: Ekomarin Sebut PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut Timbulkan Celah- Korupsi Baru
HT