Channel9.id – Jakarta. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengatakan kekerasan termasuk kekerasan seksual di satuan pendidikan baik umum maupun berbasis agama dipicu oleh empat faktor.
Pertama, perspektif regulasi. Satriwan menuturkan saat ini sekolah sudah memiliki regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan, termasuk perlindungan bagi siswa dan guru. Regulasi ini berupa Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan adalah aturan yang detail menjelaskan langkah dan strategi yang wajib dilakukan sebagai upaya preventif sekaligus kuratif terhadap kekerasan di sekolah.
Sayangnya, para guru, orang tua, siswa bahkan pengawas sekolah termasuk dinas pendidikan (disdik) tidak banyak mengetahui dan memahami aturan ini.
“Bisa dibuktikan, bagaimana implementasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 di sekolah. sangat jarang sekolah bentuk Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan. Padahal lembaga tersebut perintah Pasal 8 huruf I dari permendikbud tersebut,” kata Satriwan, Rabu 13 Juli, 2022.
Baca juga: Perempuan dan Anak-Anak Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual
Ia menegaskan dalam Permendikbud tersebut menyebutkan sekolah wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan, terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa, dan perwakilan orang tua/wali.
Selain itu, setiap sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses masyarakat.
“Mana ada sekolah di Indonesia memasang papan layanan pengaduan kekerasan di sekolahnya? Yang ada sebaliknya, jika terjadi kasus kekerasan, manajemen sekolah berupaya sekuat tenaga merahasiakan agar tak tercium sampai ke luar, demi nama baik institusi,” tegas Satriwan.
Satriwan mengatakan sekolah belum menjalankan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 karena minimnya sosialisasi dari pemerintah pusat ke daerah yakni sekolah, sehingga ketidakcermatan birokrasi pendidikan daerah seperti pengawas dan disdik melanggengkan keadaan.
“Setiap tahun dokumen kurikulum operasional sekolah atau kurikulum tingkat satuan pendidikan diajukan kepala sekolah kepada disdik untuk dipelajari dan ditandatangani. Dokumen kurikulum mendapat legitimasi pasti disetujui menjadi program resmi sekolah. Terkesan administratif belaka. Dokumen tebal itu tak dipelajari, dicermati, dan dinilai secara utuh,” papar Satriwan.
Dikatakan Satiwan, hampir setiap minggu pengawas mengunjungi sekolah, memantau pelaksanaan pembelajaran, tetapi kekerasan sering terjadi, bahkan oleh oknum guru.
Menurutnya, kinerja pengawas yang memedulikan aspek administrasi pembelajaran belaka ini, patut dipertanyakan. Tinggalkan aktivitas yang berkutat pada formalitas. Seharusnya lakukan pembinaan, pembimbingan, pelatihan, penilaian, pemantauan, dan evaluasi kepada kepala sekolah, guru, dan program sekolah.
Pengawas sekolah dan disdik semestinya menolak jika dokumen kurikulum operasional sekolah, tidak memuat upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah.
Sementara terkait aturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan termasuk kekerasan seksual di madrasah atau satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag), Satriwan menuturkan hingga hari ini Kemenag belum kunjung mengeluarkan regulasi tersebut.
Menurutnya, Kemenag sangat tertinggal dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam hal regulasi ini.
“Sangat disayangkan, setiap hari potensi kekerasan terus terjadi, tetapi Kemenag lambat dalam meresponnya secara regulasi,” ucapnya.
Oleh karena itu, P2G mendesak agar Kemenag segera membuat peraturan menteri agama mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan termasuk kekerasan seksual di madrasah atau satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kemenag.
“Kemenag mestinya menyadari bahwa kita tengah menghadapi darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan. Jika selesai diundangkan, mendesak kemudian sosialisasi dan pelatihan bagaimana strategi satuan pendidikan berbasis agama mencegah dan menanggulangi kekerasan tersebut, bagaimana peran guru, majelis masyaikh (kiai), pastor, pendeta, pengawas, siswa, orang tua, dan lainnya,” ucapnya.
Kedua, perspektif profesi. Satriwan mengatakan guru merupakan profesi yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Begitu pula UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Oleh karena itu, kata Satriwan, dalam undang-undang tersebut mengatur empat syarat kompetensi guru meliputi pertama pedagogik yakni kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kedua, kepribadian yakni kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Ketiga, profesional yakni kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Keempat, sosial yakni kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Dikatakan Satriwan, guru yang menggunakan instrumen kekerasan dalam berinteraksi dengan siswa, jelas tak profesional. Pasalnya, kepala sekolah dan guru berperan sentral menumbuhkembangkan disiplin positif sebagai upaya pemberian konsekuensi yang mendidik kepada siswa tanpa teriakan, kekerasan, dan hukuman.
“Membangun kesadaran tentang kepercayaan, komitmen, dan tanggung jawab, bukan ketakutan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Satriwan menuturkan guru mestinya lebih memusatkan perhatian pada kegiatan belajar-mengajar ketimbang menghukum, serta saling menghormati dan bekerja dengan anak-anak, bukan melawan mereka.
“Ringkasnya, mendisiplinkan siswa tanpa hukuman kekerasan,” ujarnya.
Ketiga, perspektif pendidikan demokrasi. Satriwan menuturkan, sekolah menjadi laboratorium mengenali, memahami, dan mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi Pancasila bagi siswa.
Untuk itu, desain pembelajaran demokratis menitikberatkan pada terbukanya partisipasi, membangun otonomi, pengakuan kesetaraan, memegang komitmen, bernalar kritis, dan menghargai keberagaman atau inklusif termasuk perbedaan pendapat.
Menurutnya, kekerasan terjadi karena minim atau mandeknya ruang partisipasi dan absennya kesetaraan dalam pembelajaran, sehingga yang terbangun relasi kuasa.
“Keterlibatan siswa dikendalikan sedemikian rupa, alih-alih mengatur, yang terjadi malah pembatasan dengan seperangkat larangan-larangan. Siswa berada dalam posisi inferior sedangkan guru superior. Hal ini juga terjadi di satuan pendidikan berbasis agama,” ujarnya.
Satriwan menuturkan guru menyalahgunakan doktrin agama bagi santri atau siswa mengenai kewajiban menghormati guru dan keluarganya.
“Sehingga dengan iming-iming pahala atau ancaman dosa, guru bertindak semaunya kepada siswa, padahal oknum guru tersebut telah menyimpangkan doktrin tersebut,” ujarnya.
Satriwan juga menerangkan bahwa kondisi demikian makin subur, sebab metode pembelajaran terpusat pada guru, siswa menjadi objek bukan subjek.
Keempat, perspektif ekosistem dan budaya sekolah. Satriwan menuturkan sekolah merupakan arena perjumpaan. Titik temu semua unsur perbedaan, menuju persatuan dalam kemajemukan, sehingga terbentuk perasaan saling memiliki satu sama lain.
Dalam hal ini, guru hendaknya menciptakan suasana pembelajaran yang mengundang, yakni suatu praktik pembelajaran yang membangun hasrat, keterlibatan, dan keterikatan.
Untuk itu, lingkungan belajar diciptakan untuk mempromosikan pengajaran dan pembelajaran berkualitas.
“Siswa didorong secara positif atau diundang oleh guru ke dalam pengalaman pendidikan. Sejatinya semua orang adalah guru dan semua tempat adalah taman belajar (sekolah),” paparnya.
“Sebuah taman takdirnya ditumbuhi bunga dan tumbuhan aneka warna, ruang bermain nan semerbak, dan jangan sekali-kali merusak tanaman apalagi sedang bermekaran. Begitu pula hendaknya lingkungan sekolah, menjadi tempat aman, sehat, dan nyaman bagi tumbuh kembang anak sesuai kodratnya,” tambah Satriwan.
Ia mendorong agar lembaga pendidikan baik itu sekolah/madrasah/pesantren dan seminari seharusnya tidak melarang siswa menggunakan gawai pintar di sekolah/asrama seperti yang umumnya masih terjadi sekarang.
Menurutnya, dengan memiliki gawai sudah menjadi kebutuhan dalam pembelajaran serta media berkomunikasi antara anak dan orang tua secara intens khususnya bagi satuan pendidikan sistem berasrama.
“Jadi ketika terjadi indikasi kekerasan di satuan pendidikan, anak bisa langsung melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua, sehingga terjadi pengawasan timbal balik,” pungkasnya.
HY