Hot Topic

Enam Alasan Asesmen Nasional Harus Ditunda, Kurang Sosialisasi Hingga PJJ Masih Bermasalah

Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) berbelasungkawa atas meninggalnya seorang siswa SMA di Goa, Sulawesi Selatan. Siswa tersebut bunuh diri karena diduga stres dan terbebani tugas belajar selama Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid-19.

“Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) sangat berbelasungkawa atas kejadian ini. Mengingat beberapa bulan lalu masih segar diingatan kita, seorang siswa SD meninggal, karena mendapatkan perlakukan kekerasan dari orang tua di rumah, yang tak sabar mendampingi anak selama PJJ,” kata Koordinator P2G Satriwan Salim, Senin (19/10).

Di sisi lain, Kemendikbud saat ini sedang fokus menyiapkan pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).

“Perlu dipahami jika fungsi, kedudukan, dan format AN jauh berbeda dari UN sebelumnya. AN berisi tiga komponen: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) berisi penilaian siswa terkait Literasi dan Numerasi; Survei Karakter; dan Survei Lingkungan Belajar. Kemendikbud merencanakan AN diselenggarakan pada Maret 2021 secara nasional.

Secara substansi, P2G memberikan apresiasi kepada Mendikbud Nadiem Makarim, sudah berani menghapus UN yang selalu menjadi beban dan momok bagi siswa selama belasan tahun.

“Namun, P2G menilai kebijakan Kemendikbud melaksanakan AN yang dijadwalkan Maret 2021 nanti dirasa: sangat tidak bijak, terkesan tergesa-gesa, dan tidak tepat momentumnya di masa pandemi dan PJJ yang masih banyak kendala,” ujarnya.

Setidaknya ada enam (6) alasan P2G meminta Mas Menteri menunda pelaksanaan AN Maret 2021.

Pertama, meski AN sudah menjadi kebijakan resmi Kemendikbud, faktanya di kalangan guru, siswa, dan orang tua masih banyak yang belum memahami format dan esensi dari AN. Bahkan masih ada guru dan orang tua yang menganggap sama saja antara UN dengan AN. Menurut P2G, hal itu karena kurangnya sosialisasi.

“Dalam hal waktu, memang terlihat terburu-buru, sekarang sudah bulan Oktober, sedangkan AN dijadwalkan Maret 2021, persiapannya singkat. Dan yang mesti diinsafi adalah kondisi siswa masih dalam pembelajaran metode PJJ, yang pelaksanaannya jauh dari kata optimal dalam konteks kualitas pembelajarannya,” ujarnya.

Kedua, anggaran yang diajukan Mendikbud dalam Raker dengan DPR untuk program AN ini sekitar Rp 1,49 triliun. Rinciannya, Pendampingan Kurikulum Guru dan Tenaga Kependidikan sebesar Rp. 518,8 miliar); pengembangan kurikulum dan perbukuan (Rp137,8 miliar); implementasi kurikulum pada satuan pendidikan dan daerah (Rp346,9 miliar); Asesmen Kompetensi Minimum dan Akreditasi (Rp358,2 miliar); dan kegiatan pendampingan pemerintah daerah terkait AKM; serta tindak lanjut hasil AKM (Rp120,2 miliar).

“Ini angka yang sangat fantastis, melampui angka Dana POP yang menjadi polemik beberapa waktu lalu. Bagi P2G lebih baik anggaran yang jumbo ini sementara dialokasikan untuk membantu siswa dan guru selama PJJ, baik yang PJJ Daring maupun yang PJJ Luring,” kata Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Z Haeri.

Ketiga, Iman menambahkan, persoalan PJJ yang sudah 8 bulan berjalan masih relatif sama. Belum ada perbaikan signifikan, bantuan solusi khususnya PJJ Luring juga belum dirasakan kecuali tayangan pembelajaran TVRI dan RRI.

“Persoalan siswa dan guru tak punya gawai, susahnya sinyal internet, akses ke rumah siswa (home visit) yang sulit dijangkau guru/faktor jarak dan transportasi, keterbatasan waktu tatap muka, biaya ekstra, menjadi tumpukan persoalan PJJ Luring yang berakibat makin menurunnya kualitas pembelajaran dan pendidikan secara umum, khususnya di daerah yang melaksanakan PJJ Luring,” jelasnya.

“Lebih baik Kemendikbud fokus menyelesaikan ini dulu, anggarannya dimanfaatkan membenahi PJJ Luring, ketimbang memaksakan AN yang berbiaya besar,” lanjutnya.

Keempat, Satriwan melanjutkan, program AN terlalu dipaksakan karena tidak sesuai kebutuhan siswa yang masih terkendala melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kebutuhan siswa selama PJJ Daring dan Luring itu berbeda.

Terlebih, meski pemerintah sudah menganggarkan subsidi pulsa selama PJJ sebesar Rp 7,2 Triliun, namun ini hanya membantu untuk PJJ Daring, bukan PJJ Luring.

“Bahkan masih banyak guru dan siswa yang tidak dapat bantuan kuota internet pada bulan pertama September lalu. P2G mendata laporan guru dari 14 Provinsi yang tidak menerima bantuan kuota internet bulan September,” ujarnya.

Kelima, semestinya kebijakan Kemendikbud pada saat pandemi Covid-19 hendaknya berlandaskan ‘sense of crisis’. Sebab selama pandemi ini, pembelajaran yang dilakukan guru masih belum maksimal dan mengalami berbagai macam kendala baik yang menggunakan PJJ Daring maupun PJJ Luring.

“Peristiwa siswa bunuh diri karena bebab belajar PJJ, harus dijadikan momentum reflektif Kemendikbud untuk mengevaluasi secara komprehensif pelaksanaan PJJ selama 8 bulan ini. Bagaimana pelaksanaan berbagi macam regulasi termasuk Kurikulum Darurat yang sudah ditelurkan Kemendikbud. Ini sangat mendesak dan penting dilakukan ketimbang AN,” ujarnya.

P2G juga berpandangan, evaluasi PJJ harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum evaluasi dan penilaian berbentuk AN yang dirancang saat pandemi. Program ini justru berpotensi besar menambah beban baru bagi sekolah, guru, siswa dan orang tua.

“Jadi sebelum menjalankan program AN, Kemendikbud bersama Pemda hendaknya melakukan pembenahan dan evaluasi terhadap kualitas penyelenggaraan PJJ. Sebab AN akan sukses terlaksana, apabila PJJ bisa dilaksanakan dengan baik dan berkualitas. Bagaimana siswa akan nyaman dan tak terbebani mengisi soal-soal AN, sementara mereka sudah terbebani belajar dengan ragam kendala selama PJJ selama berbulan-bulan, tentu ini sangat tidak adil,” ujarnya.

Terakhir, P2G menilai kondisi semua ini merupakan akibat langsung dari pandemi yang masih belum bisa dipastikan akan berakhir kapan. Pendekatan “sense of crisis” harus diutamakan, karena PJJ adalah infrasturktur utama ketika AN akan dilaksanakan.

Apabila AN dijalankan, hanya akan menambah persoalan baru, di atas masalah PJJ yang juga belum tertangani dengan baik. Siswa, guru, dan orang tua sangat berpotensi terbebani kembali. Sehingga ada beban yang double, sudahlah PJJ membebani ditambah AN pula.

“Cukup siswa di Tangerang dan di Goa yang menjadi “korban” PJJ ke depan. Dua nyawa anak Indonesia terlalu berharga,” pungkasnya.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =