Opini

Etika Dakwah dan Persatuan Bangsa

Oleh: M.S. Ridho*

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan (1) hikmah dan (2) pelajaran yang baik dan (3) bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. “ (QS. An-Nahl: 125)

Sejak dua hari terakhir, situasi sosial masyarakat kita lagi-lagi terlibat pada kegaduhan, apalagi realitas media sosial makin riuh akibat dari pernyataan seorang Abdul Shomad yang dianggap sebagai ustaz yang dalam ilmunya.

Unggahan video pendek dari ceramah Abdul Shomad, meskipun itu pernyataan yang disampaikan pada tiga tahun lalu namun bukan berarti tidak mengganggu keharmonisan antarumat beragama di Indonesia. Pernyataan yang disampaikan di dalam Masjid, dan ditujukan untuk konsumsi internal umat Islam namun tetap saja melukai perasaan umat Kristiani khususnya di Indonesia.

Pasca pilpres dan pileg hingga penetapan oleh KPU beberapa waktu lalu tidak kurang dari 10 bulan polarisasi kehidupan sosial masyarakat sangat nyata terasa dan membuat ketidaknyamanan relasi sosial akibat dari adanya dua kandidat capres-cawapres.

Hal tersebut mengakibatkan harmonisasi kehidupan masyarakat Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Suasana kebatinan lantas mereda dan lebih adem pada saat terjadi beberapa peristiwa politik antarelite dari kedua kubu bahkan antar kandidat capres yang sudah bertemu.

Sebuah peristiwa politik bukanlah tanpa desain. Pertemuan demi pertemuan terjadi untuk meredakan suasana kebatinan yang menciderai pendukung antar dua kubu yang berseteru dalam hajatan demokrasi.

Di sinilah pentingnya sebagai alim ulama, yang dijadikan panutan/teladan oleh umat perlu berperan lebih aktif untuk menciptakan suasana damai. Karena sebagaimana disampaikan oleh Djohan Effendi dengan mengacu pada surat At-Taubah, bahwa mestinya sebagai umat Muslim lebih mengutamakan sikap damai, “Perdamaian mestinya mengatasi segala kepentingan”. Bukan lagi mementingkan umat Islam saja, meskipun secara jumlah sangat dominan.     

Ulama dan Dasar Negara Indonesia

Peristiwa masa lalu pada saat penentuan ideologi bangsa dan falsafah hidup bangsa, yakni pada saat perumusan dan bahkan penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu merupakan sumbangsih dari para alim-ulama Muslim, yang sungguh luar biasa. Hal ini mesti diteladani secara konsisten oleh generasi penerus hari ini dan di masa mendatang. 

Ulama seperti K.H Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, H. Agus Salim, K.H. Kahar Moezakkir, R. Abikoesno Tjokrosoejoso yang terlibat aktif dalam panitia delapan dan sembilan sebagai representasi Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana umat Muslim berkiprah dalam membangun bangsa dan negara. Tidak lagi berpikir secara sempit, hanya bagi umat Islam, namun untuk semua anak bangsa yang lahir dan tumbuh di Indonesia tanpa pandang latar belakang agama, keyakinan, etnis, bahasa, gender, sosial dan lainnya.

Pancasila sebagai karya para alim ulama merupakan dasar negara yang sudah final sampai kapan pun. Hal ini bukan tanpa argumen yang kuat, di dalam Pancasila yang berdasar pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”  itu “menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945, pasal 29).   Dari sini dapat diambil pelajaran bahwasanya meskipun kita berbeda agama maupun keyakinan, yang didahulukan adalah kebersamaan seluruh bangsa.

Tidak boleh ada yang melukai warga hanya berbeda agama, keyakinan, etnis, ras dan lainnya.  Demikian pula Abdul Shomad, yang dianggap ulama dengan kapasitas intelektual tinggi tidak semestinya melontarkan yang merendahkan keyakinan umat Kristiani, meskipun itu tidak dimaksudkan untuk menyakiti.

Apakah tidak ada kalimat yang lebih bijak demi kedamaian bangsa? Toh Rasulullah Muhammad SAW telah mengajarkan, pun di dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125 dengan sangat terang benderang supaya menyampaikan sesuatu dengan hikmah dan kalimat-kalimat yang bijak, sebagaimana saya kutip di atas. 

Persatuan dan Konten Dakwah Hari Ini

Tugas alim ulama saat ini hemat saya yakni mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia yang memasuki usia ke-74 dengan mendukung penguatan ideologi bangsa, dengan tidak perlu lagi mengotak-atik soal ideologi Pancasila. Kemudian dalam bidang politik supaya bangsa ini semakin memiliki kedaulatan politik atas bangsa-bangsa lain. Selalu memberi masukan maupun kritik yang konstruktif-bijak terhadap siapapun pemerintahnya.

Berikutnya dalam bidang ekonomi, yang mana masih dihantui krisis global, saling bahu membahu antara ulama, pemerintah, pebisnis, pelaku usaha, generasi millenial dan masyarakat luas untuk bersama memikirkan peluang-peluang ekonomi yang dapat meningkatkan ekonomi umat dan bangsa secara keseluruhan. Tidak sekadar menyalahkan pemerintah.

Pemerintah akan dapat bekerja secara maksimal jika didukung oleh seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali, sembari tetap mengawasi jalannya pemerintahan dalam koridor hukum dan demokrasi serta menekankan etika berjalan dengan baik dalam pengawasannya.      

Selanjutnya dalam bidang pendidikan, senantiasa melakukan dakwahnya demi meningkatkan kualitas keimanan dan pendidikan yang mencerahkan, bukan pendidikan yang membuat segregasi bangsa makin menguat.

Pendidikan kita sampai hari ini masih tertinggal dengan negara-negara maju, termasuk dengan negara tetangga terdekat, Malaysia misalnya. Menyampaikan sesuatu berdasarkan pada data dan fakta-fakta konkrit, bukan sekadar asumsi apalagi yang berujung hoax maupun fitnah belaka.   

Adapun dalam bidang sosial-budaya, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan. Perbedaan yang ada di masyarakat itu dijadikan sebagai bahan kompetisi yang baik, tidak perlu memeruncing perbedaan yang sudah merupakan sunnatullah dan hukum alam. Justru menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, karena antara satu dengan yang lain justru saling mengisi kekurangan masing-masing.

Perbedaan bukan dijadikan sarana perselisihan yang tiada ujungnya. Sebagai umat beriman, tugas kita adalah mengajak pada kebaikan kepada seluruh manusia tanpa kecuali dan seluruh makhluk hidup yang ada.  

Etika Dakwah

Di era digital yang makin terbuka ini perlu kiranya menyepakati rambu-rambu dakwah. Apapun isi dakwah kita, yang paling utama adalah etika. “Sesungguhnya saya di utus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak mulia”, demikian ajaran Rasulullah SAW kepada umat Muslim.  

Etika berdakwah perlu mengedepankan hikmah, melihat konteks dan situasi masyarakatnya. Kedua, memberikan nasihat yang baik, positif, optimis, memudahkan dan menggembirakan umat. Bukan yang mengancam, apalagi kalimat-kalimat provokatif yang membuat emosi umat terbakar dan memancing kericuhan. Ketiga, melakukan debat dengan kalimat yang baik, tidak bermaksud merendahkan apalagi menghina lawan debat.  Tidak mencerca sesembahan lawan, Al-Quran surat Al-An’am 108. Tidak melakukan tindakan diskriminatif. Serta tidak menyampaikan sesuatu yang tidak tidak ketahuinya, alias tidak berbohong, hal ini berdasar al-Quran surat al-Isra: 36.

Bangsa Indonesia akan semakin unggul dan maju tatkala seluruh komponen masyarakat saling bekerjasama mewujudkannya. Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai mitra utama untuk menggerakkan optimisme bangsa dengan para alim-ulama, akademisi, partai politik, pengusaha, pebisnis, generasi muda millenial, sektor-sektor swasta lainnya.  Apalagi ulama itu disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya) sudah seyogyanya memberikan keteladanan kepada umat bukan memperkeruh suasana dengan dalih dakwah Islam.

Intelektual Muhammadiyah dan pengamat keamanan publik*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  45  =  53